JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tata kelola pangan pemerintah dinilai masih amburadul. Pasalnya, setiap kali menghadapi momen hari besar seperti bulan Ramadan dan hari raya Idul Fitri harga-harga kebutuhan pokok selalu melambung. Upaya pemerintah untuk menjungkirbalikkan harga pun dinilai gagal karena harga-harga kebutuhan pokok di hari pertama puasa ini masih tinggi.

Harga daging sapi lokal misalnya, masih bertahan di angka Rp120 ribu per kilogram di Pasar Jatinegara. Sementara daging beku impor dibanderol antara Rp70 ribu-Rp90 ribu per kilogram. Harga bawang merah juga masih berada di kisaran Rp40 ribu per kg. Sementara untuk daging ayam masih berada di kisaran Rp37 ribu-Rp38 ribu per kilogram.

Masih tingginya harga-harga kebutuhan pokok memasuki bulan puasa ini terbilang luar biasa karena pemerintah sendiri sudah berupaya melakukan impor dan melaksanakan operasi pasar di sejumlah titik sejak Mei 2016.

Terkait hal ini, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit mengatakan, persoalan utama melonjaknya harga pangan setiap memasuki hari besar keagamaan adalah karena lemahnya data pemerintah terkait tingkat permintaan dan ketersediaan barang. Pemerintah dinilai terlalu percaya diri mengatakan produksi pangan surplus meski harga-harga naik.

"Persoalannya ada di data, kayak dalam militer data intelijen paling penting, tak mungkin menang kalau datanya salah. Makanya data pangan ini paling sensitif, berapa banyak pemerintah sebelumnya jatuh karena pangan," katanya di acara Sengkarut Tata Kelola Pangan, di Veteran Coffee, Jakarta, Senin (6/6).

Menurut Anton, data yang kurang akurat disajikan Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi, karena sebagian besar sumber datanya berasal dari data sekunder. "Data BPS kebanyakan juga dari sekunder, dari Dinas Pertanian. Padahal Kepala Dinas, Bupati, dan pemerintah itu punya kepentingan dengan anggaran," jelasnya.

Anton mencontohkan, data produksi padi yang selama ini diklaim surplus, namun pada kenyataannya harus tetap impor. Yakni produksi pada tahun 2015. "Kalau mau data besar anggarkan lebih besar buat BPS agar bisa dapatkan data primer, agar tidak tergantung lagi dengan data sekunder," kata Anton.

Juga soal stok sapi yang ternyata tak memadai. Anton mengatakan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 untuk pangan yang mencapai Rp17 triliun tetapi, sapi masih harus impor.

"Soal hilangnya stok sapi saat memasuki bulan puasa, dana APBN Rp17 triliun sapinya dimana? Kenapa tidak bisa memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia?" kata Anton.

Dia mengaku, selain sapi terdapat komoditas jagung yang memiliki anggaran besar misalnya jagung yang sebesar Rp2,4 triliun. Angka sebesar tersebut untuk benih jagung menambah produksi petani. "Untuk jagung Rp2,4 triliun untuk benih, anggarannya di luar pupuk," jelasnya.

Toh pada akhirnya harga jagung juga melonjak yang berimbas pada tingginya harga pakan unggas. Naiknya harga pakan unggas berimbas pada kenaikan harga daging ayam dan telur.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Intitute for Development Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, naiknya harga kebutuhan pokok menjelang hari raya keagamaan seperti bulan puasa dan lebaran merupakan sebuah anomali khas Indonesia.

"Kalau di negara lain, setiap mau Natal ada diskon, atau di Brunei Darussalam, Malaysia, yang mayoritas muslim tidak mengalami kenaikan harga pangan, tidak seperti di Indonesia," kata Enny kepada gresnews.com, Senin (6/6).

Dia menilai alasan fenomena sale menjelang Natal di negara lain, dilakukan dengan cara diskon besar-besaran guna meningkatkan pangsa pasar melalui momentum tingginya permintaan. Strategi tersebut dilakukan akibat persaingan yang ketat antara para pelaku usaha di negara-negara lain.

Karena itu pelaku bisnis melakukan penetrasi pasar dengan upaya keras. "Setiap hari besar keagamaan ada peningkatan permintaan, hanya masyarakat di Indonesia unik setiap perayaaan keagamaan, permintaan jauh lebih banyak," ujarnya.

RANTAI DISTRIBUSI PANJANG - Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf mengatakan, melambungnya harga-harga kebutuhan pokok terutama menjelang hari daya keagamaan terjadi karena ada masalah di rantai distribusi. "Persoalannya itu di tingkat tengah, didistribusinya. Ke depan, ini yang menjadi pekerjaan beratnya pemerintah," ujar Syarkawi Rauf di Istana Negara, Senin (6/6).

Dia mencontohkan, di Jambi KPPU menemukan harga daging ayam naik di tingkat pedagang. Padahal, permintaan tidak bertambah dan harga di peternak juga tak naik.

Contoh lain, harga bawang merah di Nganjuk, Jawa Timur, naik. Padahal, pasokan bawang merah banyak karena sedang panen.

"Di Nganjuk, bawang merah sedang panen. Tapi di pasar malah ada kenaikan. Ini yang rantai distribusinya bermasalah," tutur Syarkawi.

Hal yang sama juga terjadi dengan rantai distribusi daging sapi. "Selama ini kan, sapi masuk ke feedloter, lalu ke RPH (Rumah Potong Hewan), ke ritel, baru masuk ke end user. Ternyata, dari feedloter ke RPH itu ada perantaranya, dan dari RPH ke ritel juga ada perantaranya," tutur Syarkawi.

Syarkawi menambahkan, permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar harga daging di bawah Rp80.000/kg seharusnya bisa tercapai. Salah satu upayanya adalah dengan membuat kapal ternak untuk mengangkut sapi dari NTT dan NTB ke Jakarta.

Riset Badan Pusat Statistik juga menyimpulkan demikian terkait sering melambungnya harga cabai. Dalam kesimpulannya, BPS mengungkapkan, untuk komoditas cabai, rantai distribusi terpanjang berada di Jawa Tengah dan terpendek ada di Sulawesi Utara.

Untuk yang terpanjang, ada 8 titik harus dilewati. "Kita lihat yang terpanjang rantainya ada di Jawa Tengah," ungkap Kepala BPS Suryamin di Kantor Pusat BPS, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Dari petani, cabai merah dibawa ke pedagang pengepul. Kemudian, disalurkan ke distributor dan berlanjut ke sub distributor. Titik seterusnya adalah agen yang bisa diteruskan ke sub agen dan pedagang grosir.

Sampai ke pedagang grosir maka diteruskan ke pengecer. Baru kemudian disebar ke rumah tangga dan kegiatan usaha lainnya. Dari pedagang grosir, juga bisa ke supermarket untuk dijual ke rumah tangga.

"Sebenarnya, kalau titik itu dipotong maka besar kemungkinan bisa mengurangi penarikan margin dan harga bisa lebih murah," jelas Suryamin.

Terkait masih tingginya harga pangan ini, DPR pun turun tangan melakukan peninjauan harga kebutuhan pokok ke pasar-pasar.

Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengatakan, kenaikan harga kebutuhan bahan-bahan pokok harus menjadi perhatian pemerintah. "Sebenarnya kenaikan harga itu pada bulan-bulan Ramadan yang dulu pun naik tapi tidak sehebat ini kenaikannya, karena memang ini sesuatu yang unpredictable," kata Agus.

"Pemerintah harus sangat serius memperhatikan ini, terutama Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN, dan juga Kementerian Pertanian," sambungnya.

Menanggulangi kenaikan harga kebutuhan hidup sehari-hari, dikatakan Agus, harus dilakukan secara bersama-sama. Bulog disebut Agus belum mampu menunjukkan kinerja terbaiknya.

"Dalam hal ini pangan ada institusi kita, BUMN Bulog yang diharapkan bisa menyangga kebutuhan pangan, namun memang Bulog kenyataannya tidak bisa bekerja secara maksimal," tutur Agus.

Untuk itu DPR meminta agar kementerian-kementerian terkait agar bisa bekerja seoptimal mungkin. Dengan begitu kenaikan harga bahan pokok dapat ditekan.
"Harus betul didorong dan diperlukan kapabilitas yang tinggi dari masing-masing kementerian," ujar Agus.

"Kementerian-kementerian ini sangat diperlukan mempunyai kapabilitas yang tinggi untuk bagaimana menghadapi masalah kenaikan-kenaikan harga," tutupnya.

OPERASI PASAR - Untuk menstabilkan harga pangan, Kementerian Pertanian sendiri saat ini tengah melakukan operasi pasar (OP). secara besar-besaran hingga H+6 Lebaran. Bahkan, hingga mencapai Desember 2016. "Saya minta OP dilakukan tidak hanya sampai H+6 Lebaran tapi sampai Desember," ujar Menteri Pertanian Amran Sulaiman saat meninjau pasar murah di Lapangan Blok S, Jakarta Selatan, Minggu (5/6).

Amran mengaku heran ada harga minyak goreng saat ini masih tinggi. Padahal, kata dia, stok minyak goreng saat ini mencapai 1,6 juta ton sementara kebutuhan hanya 400.000 ton.

"Ayam, kita stoknya 2 kali lipat tapi tetap naik. Minyak goreng itu 1,6 juta ton stok Juni, kebutuhan hanya 400 ribu ton, tapi tetap naik jadi saya minta OP besar-besaran," tegas dia.

Selain itu, harga daging sapi juga masih mahal padahal sudah ada pasokan dari beberapa sentra produksi seperti dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Melihat mahalnya harga daging sapi, pihaknya melakukan OP. Alhasil, harga daging bisa ditekan Rp75.000/kg.

"Yang penting kita sudah memulai, dulu banyak yang nggak percaya daging lokal bisa di bawah Rp85.000/kg. Sekarang sudah ada daging dari NTT yang diangkut dari kapal, walaupun cuma 2 kali dalam sebulan yang penting itu sudah lancar. Kemudian Bulog jual daging Rp80.000, artinya kami menjual di angka rendah walaupun belum skala luas," katanya.

Pedagang, kata Amran sudah mendapatkan untung dengan menjual di harga tersebut. "Untung. Untungnya Rp5.000/kg, kalau nggak untung nggak sustain dong," ucap dia.

Contoh lain adalah bawang. Bulan Juni dan Juli merupakan waktu panen bawang sehingga dipastikan harganya akan stabil. "Contohnya bawang, Juni dan Juli sudah mulai panen, di petani harganya Rp15.000/kg dan pasti itu akan terus," katanya. (dtc)

BACA JUGA: