-
Usulan Demokrat Revisi Pasal di UU Ormas
Senin, 30/10/2017 18:30 WIBPartai Demokrat merampungkan naskah akademik terkait revisi UU Ormas. Sejumlah pasal disoroti Demokrat yang menginginkan revisi segera dilakukan.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Demokrat Fandi Utomo membacakan soal pasal-pasal yang harus direvisi itu. Pembacaan dilakukan di kantor DPP PD, Jl Proklamasi 41, Jakarta Pusat, Senin (30/10).
Pasal pertama yang disoroti Demokrat ialah terkait sanksi administratif hingga pidana kepada ormas yang melanggar ketentuan. Pasal itu merupakan pasal 60 UU Ormas yang baru disahkan, bunyinya seperti ini:
Pasal 60
1. Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) dijatuhi sanksi administratif.
2. Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 dan pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana.
Demokrat hanya ingin ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21, pasal 51, pasal 52, dan pasal 59 dijatuhi sanksi administratif. Berikut bunyi rancangan revisi UU Ormas Demokrat:
Pasal 60
Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 51, Pasal 52 dan Pasal 59 dijatuhi sanksi administratif.
Selain itu, Demokrat juga menyoroti pasal 63 hingga pasal 69, yang sebelumnya tertuang di UU 17/2013, dihilangkan di UU Ormas yang baru disahkan. Pasal-pasal yang dihilangkan dalam UU baru ini mengatur tentang peringatan, penghentian sementara, penjatuhan sanksi, hingga pencabutan status badan hukum ormas yang melanggar.
"Ketentuan pasal 63 sampai dengan pasal 69, ini yang merupakan implementasi dari nilai-nilai demokrasi, adanya pemisahan kekuasaan yang menghendaki adanya check and balances atau saling kontrol dan saling mengawasi serta memenuhi prinsip negara hukum, supremasi hukum di atas kekuasaan dengan kita usulkan pasal 63 sampai dengan 69 sehingga dengan demikian kritik terhadap tidak berjalannya prinsip-prinsip yang dijelaskan di depan itu tidak perlu terjadi dan terjawab dengan diusulkan kembali pada pasal 63," ujar Fandi.
Demokrat juga menyoroti pasal 70 dan pasal 71 UU 17/2013 yang dihilangkan di UU Ormas yang baru. Pasal-pasal tersebut sebelumnya mengatur mekanisme permohonan pembubaran ormas.
"Demokrat menegaskan pentingnya pengaturan pengembalian proses hukum pengadilan sebelum pembubaran ormas secara permanen," tegas Fandi.
Demokrat segera mengirim naskah akademik revisi UU Ormas ke pemerintah, yakni Kemendagri dan Kemenkum HAM besok (31/10). Naskah akademik juga akan dikirimkan ke Sekretariat Jenderal DPR. (dtc/mfb)SBY Dukung soal UU Ormas ke Jokowi
Sabtu, 28/10/2017 17:19 WIBSusilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan dukungan Partai Demokrat (PD) soal UU Ormas yang baru saja disahkan DPR ke Presiden Jokowi. Hal tersebut disampaikan Mensesneg Pratikno.
"(SBY menyampaikan) ´Pak, kemarin kita sudah mendukung´, ya kita harus menjaga hubungan baik," kata Pratikno di Istana Bogor, Jl Ir H Juanda, Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu (28/10).
Pratikno sempat mendampingi Jokowi saat pertemuan dengan SBY, kemarin (27/10). Tetapi tak lama setelah itu Jokowi dan SBY melakukan pertemuan empat mata sehingga ia tak tahu apa masukan SBY terkait UU Ormas.
"Ini kan namanya dialog dua arah selebihnya saya nggak ikut di dalam," ujar Pratikno.
Menurut Pratikno, SBY hanya didampingi stafnya saja dalam pertemuan itu. Tetapi stafnya pun tak ikut pertemuan empat mata.
"Tidak ada sesuatu yang spesifik disampaikan, ya ini pertemuan dua pemimpin cerita isu-isu politik, ekonomi, baik global maupun nasional," ujar Pratikno.
PD memang menyatakan dukungannya terhadap UU Ormas. Namun, PD menyoroti pasal tentang pemberian sanksi dan pembubaran ormas.
Pertemuan antara Presiden Jokowi dengan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) rupanya sudah lama direncanakan. Adalah putra sulung SBY, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang melobi agar pertemuan ini bisa terjadi.
"Mas AHY juga menghubungi saya, ´Pak, ada memungkinkan Pak Presiden pertemuan´, saya bilang, ´oh iya, diatur saja´," kata Pratikno.
Namun Pratikno mengatakan bahwa inisiator pertemuan adalah kedua pihak, yakni Jokowi dan SBY. Meski kala itu sudah dihubungi oleh AHY, tetapi sulit mencari waktu yang pas untuk melakukan pertemuan.
"Ini pertemuan yang sudah diatur cukup lama ya jadi awalnya kita sudah komunikasi tapi Pak SBY nggak bisa karena Pak SBY ke mana itu, ke Thailand, ke ASEAN, setelah itu pulang sebentar, Pak Presiden nggak ada waktu gantian, setelah itu Pak SBY pergi lagi ke Darwin," ujar Pratikno.
SBY kembali ke tanah air dari Darwin, Australia, pada Kamis (26/10). Keesokan harinya atau kemarin siang (27/10) SBY menemui Jokowi di Istana Merdeka, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. (dtc/mfb)Perppu Ormas, Teror Pemerintah Terhadap Gerakan Sipil
Jum'at, 14/07/2017 14:00 WIBJAKARTA GRESNEWS.COM - Serikat Kerakyatan Indonesia (SAKTI) menilai, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, merupakan bentuk teror terhadap gerakan masyarakat sipil. Pasalnya Perppu tersebut memberikan kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah untuk membubarkan ormas.
"Dalam Perpu baru tersebut pemerintah dapat membubarkan ormas tanpa melalui jalur lembaga peradilan. Menteri Hukum dan HAM memiliki kewenangan langsung membubarkan ormas yang bertentangan Pancasila tanpa jalur pengadilan," kata Sekretaris Jenderal SAKTI Girindra Sandino, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Jumat (14/7).
Untuk mencabut status badan hukum ormas tersebut, Menteri Hukum dan HAM hanya perlu mengeluarkan dua sanksi admnistratif, yakni peringatan tertulis satu kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari dan penghentian kegiatan. Sementara sanksi pencabutan status badan hukum yang dahulu diatur UU No 17/2003 tentang Ormas harus melalui lembaga peradilan, yang didahulukan dengan mengajukan permohonan pembubaran ormas berbadan hukum ke pengadilan negeri oleh kejaksaan.
Girindra menegaskan, Perpu Perppu No. 2/2017 tentang Ormas merupakan langkah mundur dalam pencapaian kehidupan demokrasi yang sudah terkonsolidasi di Republik Indonesia. "Bahkan cenderung mengarah pada bentuk teror pemerintah terhadap gerakan sipil di Indonesia, khususnya gerakan sipil yang berbasis Islam," katanya.Kedua, penghapusan delapan belas pasal dalam UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas, yang salah satunya adalah pembubaran ormas tanpa jalur lembaga peradilan dan prosedur berjenjang, jelas menunjukkan watak otoriter dan paranoid pemerintah dalam menangani ormas yang diduga bertentangan dengan Pancasila. Ketiga, tindakan pemerintah juga jelas bertentangan dengan Pasal 28E Ayat (3) UUD 1945. Pasal tersebut menegaskan: "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat".
Dengan demikian UUD 1945 secara langsung dan tegas memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression). Yang kita ketahui kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan buah perjuangan yang direbut dengan darah, keringat dan air mata (Blood, Sweat and Tears).
Keempat, pemerintah harus sangat berhati-hati dalam menangani masalah pembubaran ormas, karena dampak berantainya akan sangat fatal terhadap demokrasi serta kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping itu, tidak tertutup kemungkinan pembubaran ormas dengan adanya revisi melalui Perpu No. 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan akan menjadi yurisprudensi pembubaran Ormas lain yang dianggap atau diduga anti-Pancasila.
"Padahal selama ini tidak jelas parameter anti-Pancasila itu apa? Seperti mengulang zaman Rezim Orde Baru, yakni penerapan Asas Tunggal," kata Girindra.
Kelima, dengan tetap menjunjung tinggi Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara, SAKTI menolak tegas penerbitan Perppu tersebut dan meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menolak Perppu tersebut. SAKTI juga meminta pemerintah meninjau kembali Perpu 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
"Tidak ada hal genting yang mendesak dalam penerbitan Perpu tersebut, sebaliknya kami menilai hal ini akan membawa krisis kewibawaan (crisis gezag) yang serius pusat kekuasaan. Para aktor di lembaga-lembaga negara diharapkan tidak terjebak membangun narasi politik untuk kepentingan jangka pendek," pungkasnya. (mag)
Tak Setuju Perppu Ormas, Silakan Gugat ke MK
Jum'at, 14/07/2017 12:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi mengatakan, jika ada pihak yang tidak setuju dengan keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, bisa mengajukan gugatan lewat prosedur hukum yang berlaku.
"Perppu kan di DPR, harus pakai mekanisme hukum juga. Melalui apa? Ya misalnya dengan judicial review di MK. Siapapun kalau tidak setuju ada mekanismenya," kata Johan, di Hotel Santika, Semarang usai menjadi pembicara dalam seminar Manajemen Komunikasi Pemerintahan di Era Digital, Kamis (13/7)
Johan mengatakan banyak yang salah paham menyebut peraturan Perppu itu sebagai Pembubaran Ormas. "Banyak yang salah sebut Perppu pembubaran ormas. Saya ingin meluruskan persepsi yang salah. Ini bukan Perppu pembubaran Ormas," kata Johan.
Dia juga menegaskan, Perppu tersebut bukan hal baru, melainkan koreksi dari Undang-undang Nomor 17 tahun 2013 tentang keormasan. Johan menjelaskan, salah jika menganggap Perppu itu merupakan hal baru. Sebab Perppu yang baru dikeluarkan tersebut mengoreksi Undang-undang 17/2013 tentang Keormasan yang sebelumnya sudah ada.
"Ada beberapa hal yang tertuang dalam Perppu Nomor 2 tahun 2017 ini yang kemudian menambah atau mengoreksi UU Nomor 17 tahun 2013. Sudah diumumkan pak Wiranto," sebut Johan.
Menurutnya Perppu itu ada karena awalnya muncul dari reaksi publik karena adanya ormas anti-Pancasila. Kemudian presiden memerintahkan Menko Polhukam Wiranto untuk melakukan kajian.
"Kalau mengikuti prosesnya, nggak ujug-ujug (tiba-tiba). Sebelumnya reaksi publik terhadap ormas-ormas anti-Pancasila. Presiden kemudian memerintahkan Menko Polhukam untuk melakukan kajian, dibuatlah Perppu. Setuju tidak setuju, itu hal lumrah," jelas Johan.
Sementara itu Menteri Komunikasi dan Informasi, Rudiantara mengatakan sosialisasi soal Perppu ormas ini terus dilakukan. Pihaknya bersama Kemenko Polhukam juga bergerak cepat agar masyarakat tahu. "Sekarang sosialiasi di pusat, karena baru kemarin diumumkan. Saya juga mau sosialisasi dengan Menko Polhukam," terang Rudiantara di lokasi yang sama.
Seperti diketahui, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berencana menggugat Perppu ini ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dibatalkan. Sejumlah fraksi di DPR pun mengkritik diterbitkannya Perppu itu, seperti PKS dan Gerindra.
Kuasa hukum HTI Yusril Ihza Mahendra mempertanyakan salah satu pasal dalam Perppu tersebut. Menurutnya, ada pasal karet dalam Perppu itu. "Yang sangat mengkhawatirkan kami adalah Pasal 59 Ayat (4) bahwa dikatakan ormas dilarang untuk menganut, menyebarkan faham yang bertentangan dengan Pancasila," ucap Yusril, Rabu (12/7). (dtc/mag)
Tindak saja Ormas Penyimpang Nilai Pancasila
Selasa, 13/12/2016 09:00 WIBWacana Pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dinilai tak tepat sasaran.
Ini Rekomendasi KKB Usai Pembatalan UU Ormas
Sabtu, 27/12/2014 05:00 WIBRekomendasi yang ditujukan kepada DPR dan sejumlah menteri (pemerintah) itu untuk mencegah berlakunya pasal-pasal yang telah dibatalkan MK.
UU Ormas Lumpuh, Gugatan Uji Materi Dikabulkan
Jum'at, 26/12/2014 03:00 WIBUndang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) dinilai telah lumpuh keberadaannya menyusul dikabulkannya sebagian gugatan atas UU tersebut.
Ini Alasan KKB Kekeuh Menghadang UU Ormas
Jum'at, 01/08/2014 09:01 WIBKini Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) menempuh langkah yang sama dengan mengajukan uji materi Undang Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) ke Mahkamah Konstitusi (MK), akhir tahun lalu.
Dinyatakan Merepresi Masyarakat Sipil, Akankah UU Ormas Dicabut MK?
Senin, 28/07/2014 11:00 WIBKewajiban ini dinilai KKB menjadi benih represi atau pengekangan bagi kebebasan masyarakat sipil untuk berperan dan berkontribusi dalam bangunan demokrasi Indonesia.
Dicari: Presiden yang Berani Cabut UU Ormas
Kamis, 03/07/2014 16:00 WIBPangkal soal kekhawatiran itu muncul karena dalam beleid itu ada aturan semua organisasi dilarang mendiskusikan hal-hal yang bertentangan dengan Pancasila.
Kerangka Pikir UU Ormas Dinilai Keliru, Diminta untuk Dicabut
Selasa, 18/03/2014 09:57 WIBSejak disahkan pada Juli 2013 lalu, penolakan terhadap UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) terus tak pernah surut.
UU Ormas Bisa Mengancam Kebebasan Pers
Kamis, 13/03/2014 16:00 WIBAlasannya, selama ini organisasi pers dan wartawan seringkali menyebarkan ideologi lain yang kadangkala tidak sesuai dengan Pancasila. Padahal tugas wartawan dan media adalah menyajikan informasi yang lengkap dari berbagai macam sudut pandang termasuk pandangan dan ajaran yang bisa saja bertentangan dengan Pancasila.
Maria dan Patrialis Ikut Menyidang Perkara, YLBHI Walk Out
Rabu, 29/01/2014 11:00 WIBYLBHI menilai kedua hakim konstitusi itu tidak menghormati sidang tersebut. Pasalnya, menurut YLBHI Kepres No. 87/T/2013 yang menjadi dasar pengangkatan Patrialis dan Maria telah dibatalkan pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada tanggal 23 Desember 2013 lalu.
Hindari Penyusupan, Ormas Asing Diatur Secara Khusus
Rabu, 29/01/2014 10:30 WIBPemerintah mengakui melakukan pengaturan secara khusus terhadap keberadaan organisasi masyarakat (Ormas) asing.
Gugatan UU Ormas Makin Kencang
Senin, 27/01/2014 16:45 WIBKoalisi Kebebasan Berserikat mengatakan latar belakang dibentuknya UU Ormas pada awalnya adalah semangat kekhawatiran pada ormas-ormas yang anarkis dan sering melakukan tindak kekerasan. Terkait hal ini, Koalisi Kebebasan Berorganisasi menilai pembentukan UU Ormas ini tidak lebih perpanjangan bentuk represi negara era Orde Baru.