JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pasca putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) mengulirkan lima rekomendasi. Rekomendasi yang ditujukan kepada  DPR dan sejumlah menteri (pemerintah) itu untuk mencegah berlakunya pasal-pasal yang telah dibatalkan MK.

Pertama, mendesak Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), serta Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk menghentikan penyusunan maupun harmonisasi Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)  dari UU Ormas. Kedua, menghentikan implementasi Permendagri Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendaftaran Ormas di Lingkungan Kemendagri dan pemerintah daerah dan menyatakan tidak berlaku.

Ketiga,  menarik kembali Surat Edaran Dirjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri Nomor 220/1328 D.III tertanggal 24 April 2012 perihal Penertiban Aktivitas Ormas dan menyatakan tidak berlaku. Keempat, menginformasikan kepada pemerintah daerah khususnya Badan Kesbangpol terkait putusan MK tentang UU Ormas dan menghentikan seluruh kegiatan sosialisasi UU Ormas. Kelima, mendorong DPR dan Pemerintah memasukkan RUU Perkumpulan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 dan menjadikannya prioritas Prolegnas 2015.

"Rekomendasi itu untuk menghindari berlakunya pasal-pasal penting yang telah dibakan MK," kata Koordinator KKB Fransisca Fitri kepada Gresnews.com, Kamis (25/12).

Sebab, lanjutnya, sejak awal KKB sudah mengidentifikasi norma-norma itu bermasalah. Diantaranya soal tujuan, ruang lingkup, registrasi, dan pemberdayaan Ormas. Pasal-pasal ini bermasalah sejak akar pemikirannya, di mana sektor masyarakat yang terorganisasi dianggap sebagai ancaman bagi negara. Amar putusan MK, jelas Fransisca  menyebutkan, Ormas yang tidak berbadan hukum dan ingin mendaftarkan diri kini dapat melakukan pendaftaran Ormasnya di tempat kedudukan Ormas yang bersangkutan. Tanpa perlu ada surat keterangan terdaftar baik dari bupati, walikota, gubernur maupun menteri.
 
Fransisca mencontohkan, Pasal 5 UU ormas dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa tujuan dimaksud bersifat kumulatif atau alternatif. Pasal ini, terang Fransisca mengatur tujuan ormas. MK menilai Ormas harus diberikan kebebasan untuk menentukan tujuannya masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan dasar negara dan UUD 1945, tanpa memaksakan untuk merumuskan tujuan secara kumulatif sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 UU Ormas. Terkait pengujian konstitusionalitas pembedaan Ormas yang lingkup nasional, provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8, Pasal 23, Pasal 24, dan Pasal 25 UU Ormas. "Mahkamah menilai pembedaan lingkup Ormas tersebut dapat mengekang prinsip kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh konstitusi," jelasnya.

Sedangkan Pasal 8, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 34, Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) huruf a UU Ormas bertentangan dengan UUD 1945. Khusus ketentuan yang mengatur pendaftaran Ormas diatur dalam Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18 UU Ormas. Pasal-pasal ini tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena ketentuan mengenai pendaftaran Ormas yang dikaitkan dengan lingkup suatu Ormas harus dinyatakan inkonstitusioal pula.

Disebutkan, Ormas yang tidak berbadan hukum, dan telah mendaftarkan diri harus diakui keberadaannya sebagai Ormas yang dapat melakukan kegiatan organisasi dalam lingkup daerah maupun secara nasional. Suatu Ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi pemerintah yang berwenang untuk itu.

Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum.

Seperti diketahui uji materi UU Ormas yang dimohonkan dua pemohon berbeda telah diputus MK pada Rabu (23/12) lalu. Pemohon pertama adalah KKB yang terdiri dari Yayasan FITRA Sumatera Utara, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI),  dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Serta pemohon perorangan ada nama Said Iqbal selaku Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Choirul Anam selaku Wakil Direktur Human Rights Working Group (HRWG), dan Poengky Indarti selaku Direktur Eksekutif Imparsial.

Pada hari yang sama, MK mengabulkan sebagian uji materi yang domohonkan PP Muhammadiyah. Pasal yang dikabulkan adalah Pasal 5, Pasal 8, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 34, Pasal 40 ayat (1), dan Pasal 59 ayat (1) huruf a.
 
Sementara pasal-pasal yang dimohonkan Pasal 1 Angka 1, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 21, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 30 ayat (2), Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 35, Pasal 36, Pasal 38, Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 58, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3).

BACA JUGA: