-
Komnas HAM Komplain atas Kesimpulan Ombudsman Terkait Kasus Talangsari
Senin, 16/12/2019 19:15 WIBOmbudsman Republik Indonesia Temukan Maladministrasi dalam Deklarasi Damai Talangsari
Sabtu, 14/12/2019 16:23 WIBTiga Solusi LPSK untuk Selesaikan Kasus HAM
Selasa, 10/12/2019 19:45 WIBKebebasan Beragama dan Berekspresi jadi Catatan untuk Presiden Joko Widodo
Selasa, 10/12/2019 18:16 WIBPeninjauan Kembali oleh PKS Kemungkinan Besar Ditolak
Selasa, 13/08/2019 17:54 WIBPihak Fahri Hamzah Khawatir Ada Pengamanan Aset Pimpinan PKS
Selasa, 13/08/2019 16:23 WIBSelangkah Lagi Fahri Hamzah Kuasai Aset PKS
Selasa, 13/08/2019 09:33 WIBRespons DPP PKS Terhadap Eksekusi Putusan Rp30 Miliar
Senin, 12/08/2019 22:02 WIBPN Jakarta Selatan Telaah Aset Pimpinan PKS yang Bisa Dieksekusi
Senin, 12/08/2019 16:31 WIBAhli Hukum: Eksekusi Rp30 Miliar Fahri vs PKS Bisa Dilaksanakan
Senin, 12/08/2019 11:17 WIBMenanti Freeport Hengkang dari Indonesia
Senin, 16/07/2018 22:01 WIBPolemik tentang PT Freeport Indonesia kembali mencuat beberapa waktu belakangan ini. Muaranya adalah keputusan apakah Pemerintah Indonesia akan memperpanjang izin Freeport yang akan berakhir pada tahun 2021. Ini adalah babak penting dalam sejarah bangsa Indonesia.
Namun, ada perkembangan baru. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melansir temuan bahwa Freeport Indonesia diduga merusak lingkungan dengan nilai kerugian Rp185 triliun. Bagaimana ini? Lalu bagaimana pula nasib divestasi saham untuk Indonesia?
Video ini mengulas secara jelas dan lengkap tentang kasus tersebut.
Indonesia Surplus MOU, Mabuk Koordinasi, Sarat Korupsi
Selasa, 13/03/2018 07:30 WIBLembaga Negara tengah gencar membuat Nota Kesepahaman dalam penanganan perkara korupsi. Di sisi lain, korupsi masih marak. Di tengah rencana kenaikan gaji pejabat dan PNS, apakah Nota Kesepahaman itu masih layak?
Simak ulasan lengkapnya dalam video ini.
Tiga Tahun Qanun Jinayat Aceh
Senin, 23/10/2017 09:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Pelaksanaan qanun jinayat (pidana) di Aceh sudah berjalan tiga tahun. Dalam pelaksanaannya, penghukuman pidana yang berlandaskan syariat Islam ini banyak mengundang sorotan dunia. Qanun jinayat yang berlaku di Provinsi Aceh dilihat oleh pemerhati-pemerhati HAM dan Perempuan sebagai aturan yang mendiskriminasikan perempuan dalam penerapannya.
Tak heran jika dalam siklus ke-2 Universal Periodic Review (UPR) dari Badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Indonesia, Spanyol merekomendasikan Indonesia untuk menghapus legislasi yang mengkriminalisasi dengan alasan hubungan sesama jenis, dan juga yang bersifat diskriminatif berdasarakan orientasi seks seseorang. "Khususnya setelah pembentukan hukum syariah atau qanun qanun tahun 2002 di Aceh," kata peneliti dari Institut for Criminal Justice Reform (ICJR) Adhigama A. Budiman, dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Senin (23/10).
Respons dari Indonesia untuk rekomendasi dari Spanyol di dalam UPR Indonesia siklus ke-2 hanyalah mencatat/noted, dengan jawaban dari pihak Indonesia bahwa rekomendasi yang disebutkan oleh Spanyol tidaklah sesuai dengan situasi yang terjadi di Provinsi yang disebutkan, dalam hal ini di Aceh. Kemudian, dalam UPR siklus ke-3 terhadap Indonesia, laporan dari Non-Governmental Organizations (NGOs) yang merupakan laporan paralel / shadow report terhadap proses UPR Indonesia, Solidaritas Perempuan (SP) menyoroti bahwa pemberlakuan Qanun Jinayat sebagai diskriminasi terhadap perempuan dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Demikian juga laporan dari Christian Solidarity Worldwide (CSW) mengenai adanya praktik hukum cambuk terhadap wanita non-muslim dan terhadap adanya aturan bagi anak dibawah 18 untuk dihukum cambuk. Submisi gabungan dari beberapa NGO juga menggarisbawahkan akan adanya tindak pidana baru yang diatur di dalam Qanun Jinayat yang dimana tidak diatur didalam perundang-undangan pidana nasional Indonesia, yaitu Liwath (hubungan sex antar laki-laki sesama jenis) dan Musahaqah (perbuatan bersifat sensual secara fisik antar dua orang wanita) dengan ancaman pidana cambuk 100 cambukan atau denda 1.000 gr emas atau 100 bulan kurungan badan.
"Kedua hal di atas menjadikan Qanun Jinayat masuk kedalam isu yang bertalian dengan kesetaraan gender dan non-diskriminasi, kerangka konstitusi dan legislasi, dan hak sipil dan politik di Indonesia, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan," terang Adhigama.
Walaupun di dalam submisi dari Badan HAM Nasional (National Human Rights Institutions), Komnas HAM gagal dalam memberikan perhatian bagi situasi di Aceh, Komnas Perempuan di dalam laporannya menyatakan khawatir akan adanya kemungkinan bagi perempuan korban pemerkosaan untuk dihukum melanggar Zina di bawah Qanun Jinayat. "Satu-satunya yang menjadi perhatian Komnas HAM dari Aceh adalah Truth and Reconciliation Commission (TRC) yang merupakan sebuah tindakan standar dari post-konflik di Aceh," ujar Adhigama.
Di dalam UPR siklus ke-3, diluar shadow reports dari lembaga-lembaga sipil mengenai pemberlakuan Qanun Jinayat, tidak ada negara yang memberikan rekomendasi secara langsung mengenai Qanun Jinayat. Namun, seperti disebutkan diatas, Qanun Jinayat merupakan isu yang bertalian dengan kesetaraan gender dan non-diskriminasi, kerangka konstitusi dan legislasi, dan mengenai hak sipil dan politik di Indonesia, khususnya hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan, maka ada beberapa rekomendasi yang harus diaplikasikan oleh Indonesia setelah mengidentifikasi dampak dari pemberlakuan Qanun Jinayat.
Seperti misalnya, Kanada dalam rekomendasinya mendorong Indonesia untuk melindungi hak perempuan dan untuk memastikan setiap peraturan daerah dan semua peraturan perundang-undangan untuk sejalan dengan Konstitusi Indonesia. Selain itu, konsisten dengan kewajiban HAM dibawah Kovenan Internasional mengenai Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR) dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW). "Untuk rekomendasi ini, Indonesia memilih untuk mendukung," kata Adhigama.
Melihat dari proses UPR siklus ke-2 dan jawaban defensif Indonesia terhadap perhatian masyarakat nasional dan internasional bagi pemberlakuan Qanun Jinayat di Aceh, hal ini menunjukkan secara terbuka keengganan Indonesia untuk menerima kenyataan situasi HAM yang menjadi perhatian orang banyak. Walaupun pada siklus ke-3 isu Qanun Jinayat dalam laporan paralel dari NGO-NGO tidak masuk dalam rekomendasi negara-negara, ada titik terang dari langkah Indonesia dalam mendukung beberapa rekomendasi mengenai kesetaraan gender, perlindungan perempuan, dan juga komitmen politiknya untuk mempertimbangkan ratifikasi Protokol Opsional Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat (OP CAT).
"Ketiga hal utama diataslah merupakan akar dan jawaban dari ketidaksetujuan dan keprihatinan masyarakat terhadap pemberlakuan Qanun Jinayat yang melegalisasikan corporal punishment, hukuman cambuk," pungkas Adhigama. (mag)Komisi III Telah Memilih 7 Komisioner Komnas HAM Baru
Rabu, 04/10/2017 19:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi III DPR RI akhirnya memilih tujuh calon Anggota Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk periode 2017-2022. Ketujuh nama yang terpilih itu adalah Mohammad Choirul Anam (Advokat), Beka Ulung Hapsara (Pegiat LSM), Ahmad Taufan Damanik (Mantan Komisioner ACWC), Munafrizal Manan (Akademisi), Sandrayati Moniaga (Petahana Komnas HAM), Hairansyah (Akademisi), dan Amiruddin Al Rahab (Pegiat LSM).
Ketujuh orang tersebut terseleksi dari 14 calon yang sebelumnya diajukan ke Komisi III DPR oleh Panitia Seleksi. Mereka terpilih setelah melalui serangkain fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan) selama beberapa hari oleh Komisi III.
Menurut Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond Junaidi Mahesa penentuan 7 anggota Komisi Komnas HAM sempat memperoleh catatan dari sejumlah partai politik. Diantara dari F-PKS.
PKS semula hanya menyetujui lima dari 7 nama tersebut. Namun karena kesepakatan dan musyawarah Komisi III menghendaki dipilihnya 7 anggota, maka PKS bersedia menerimannya.
"PKS menghormati musyawarah mufakat,” kata Desmond di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (3/10).
Desmond mengakui dari hasil pemilihan 7 nama tersebut kelihatan ada yang punya kapasitas dan tidak mempunyai kapasitas. "Berdasarkan kapasitas-kapasitas itu lah, kami nilai orang ini layak," tutur politisi dari Fraksi Gerindra ini, seperti dikutip dpr.go.id.
Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil membenarkan bahwa F-PKS memberikan catatan terhadap dua orang calon anggota Komisioner terpilih. Fraksinya mempertimbangkan terkait integritas dan kompetensi calon. Nasir mengatakan berdasar penilaian fraksinya, ada anggota petahana, yang mencalonkan kembali, yang kinerjanya tidak bagus ketika memimpin.
Disebutkan Nasir, diketahui selama ini Komnas HAM tidak ada keberhasilan-keberhasilan, dalam arti tidak mendapatkan apresiasi. Kinerja yang kurang tersebut ditunjukkan lewat kegiatan yang monoton, menerima laporan dan kemudian mempublikasikannya. Hal itu sering terjadi pada komisioner yang berasal dari kandidat petahana.
Namun Nasir berharap Komisioner Komnas HAM kali ini bisa diisi orang-orang yang memiliki kompetensi di bidangnya. Orang-orang baru, yang memahami advokasi hak asasi manusia serta punya rekam jejak yang baik.
"Saya berharap catatan ini nantinya dibacakan saat rapat paripurna," ujar politisi asal dapil Aceh itu. (rm)Pengepungan Kantor LBH Jakarta Ancaman bagi HAM
Selasa, 19/09/2017 10:00 WIBJAKARTA, GRESNEWS.COM - Direktur Eksekutif Yayasan SatuDunia Firdaus Cahyadi mengatakan, pengepungan kantor YLBHI-LBH Jakarta oleh sekelompok orang adalah ancaman serius bagi hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. "Pengepungan dan pembubaran seminar tentang sejarah peristiwa 1965 itu mengingatkan kita pada tindakan represif di era kegelapan Orde Baru," kata Firdaus dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Selasa (19/9).
Peristiwa 1965, menurut Firdaus Cahyadi, hingga kini masih misteri. "Di negeri demokrasi seperti di Indonesia, seharusnya orang bebas berdiskusi untuk melihat peristiwa itu dari berbagai sisi dan prespektif. Tidak seperti di era Orde Baru yang menampilkan peristiwa 1965 dari satu sisi saja, yaitu sisi penguasa saat itu," terangnya.
Lebih jauh, Firdaus, menambahkan kondisi ekonomi-politik di nasional dan internasional sudah berubah pesat dibandingkan tahun 1965. "Jadi tidak relevan lagi kemudian isu bangkitnya komunisme dihidupkan lagi. Hal yang menjadi kekuatiran kita semua adalah isu komunisme ini digunakan untuk membungkam warga yang sedang berjuang agar hak-haknya tidak dirampas," ujarnya.Di Banyuwangi, Jawa Timur, lanjut Firdaus, ada aktivis lingkungan hidup yang menolak tambang ditahan karena tuduhan komunis. "Cara-cara pembungkaman warga dengan tuduhan komunis mengingatkan kita pada Orde Baru. Namun, selain itu, bukan tidak mungkin pula insiden di LBH YLBHI Jakarta terkait dengan agenda elite jelang pemilu 2019," terangnya.
Jika benar insiden di LBH Jakarta terkait dengan agenda politik elite di 2019, lanjut Firdaus Cahyadi, itu sangat disayangkan. "Ongkos sosial berupa ancaman terhadap hak asasi manusia lebih besar daripada agenda elite jangka pendek jelang pemilu 2019. Kita sudah hidup di bawah kegelapan rejim otoritarian Orde Baru selama 32 tahun, alangkah naifnya kita bila kemudian jarum jam diputar lagi ke era kegelapan itu," tegasnya.
Lebih jauh, Firdaus Cahyadi, meminta Negara untuk menjamin hak asasi manusia warganya. "Termasuk hak dalam berekespresi, berkumpul dan mengeluarkan pendapat setiap warga Negara. Negara harus hadir melindungi, menghormati dan memenuhi hak-hak warganya," ujarnya.
Untuk itulah, SatuDunia mengimbau semua pihak berpikir jernih dan tetap menjujung tinggi hak asasi manusia. "Jangan sampai persoalan hak asasi manusia ini dikalahkan oleh agenda politik jangka pendek segelintir orang. Pengepungan dan pembubaran seminar seperti di LBH Jakarta tidak boleh terulang lagi, bila kita semua menghormati hak asasi manusia," pungkasnya. (mag)