JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan komplain dan sekaligus akan memberikan surat jawaban kepada Ombudsman Republik Indonesia yang menyimpulkan telah terjadi maladministrasi dalam Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Dusun Talangsari, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur, pada 20 Februari 2019. Komnas HAM sejak awal tidak terlibat dalam deklarasi tersebut karena menolak langkah keliru dari Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (saat itu) Wiranto.

"Semua sudah dijelaskan ke Ombudsman, tapi aneh masih membuat kesimpulan keliru kayak begitu," kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik kepada Gresnews.com, Senin (16/12).

Ia menegaskan tidak benar berita yang mengatakan bahwa Komnas HAM terlibat dalam deklarasi tersebut. Komnas HAM telah mengajukan komplain ke Ombudsman dan pihak Ombudsman, kata dia, tidak berkesimpulan seperti itu. Komnas HAM sejak awal menolak langkah keliru dari Wiranto karena tidak ada dasar hukumnya dan tidak berbasis keadilan.

"Kami merujuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang mengamanatkan langkah ke pengadilan. Kalau ingin selain langkah pengadilan dapat merujuk Pasal 47 UU Pengadilan HAM yang menjelaskan soal Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), tetapi mesti melalui undang-undang. Nah, sekarang Menko baru mau buat UU KKR. Kami apresiasi, dengan syarat mesti mendengarkan suara korban dan keluarga korban. Kedua, mesti memastikan keadilan dan menjelaskan fakta kebenaran. Baru rekonsiliasi," urainya.

Menurutnya, apa yang dikerjakan Tim Terpadu Deklarasi Damai sejak awal mengabaikan semua syarat tersebut dan karenanya Komnas HAM menolak.

Soal Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPHAM), Ahmad Taufan mengaku sudah menjelaskan ke komisioner Ombudsman bahwa prosedurnya memang keluarga korban atau korban mesti mengajukan permohonan. Korban adalah mereka yang berdasarkan berkas penyelidikan sudah dinyatakan korban pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM.

"Itu regulasinya berdasarkan PP yang merupakan turunan UU LPSK. Kalau mau diubah ya minta pemerintah mengubah UU-nya, bukan minta Perkom (Peraturan Komnas HAM) kami yang diubah," katanya.

Ia menambahkan kalau Ombudsman tahu apa yang terjadi, saat ini sudah ada ribuan surat yang dikeluarkan oleh Komnas HAM dan keluarga korban tidak menganggap ada masalah. Mereka, didampingi organisasi atau tanpa pendampingan, meminta surat itu ke Komnas HAM dan dilayani dengan baik. Ribuan surat itu kebanyakan dari korban peristiwa tahun 1965-1966, sementara dari Talangsari sudah ada 15 orang. "Tim kami juga sudah bertemu mereka beberapa kali," ujarnya.

Sebelumnya Ombudsman Republik Indonesia menemukan maladministrasi dalam Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM Berat di Dusun Talangsari, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur pada 20 Februari 2019. Ombudsman menerbitkan rekomendasi tindakan korektif untuk DPRD Lampung Timur, Pemerintah Kabupaten Lampung Timur, Komnas HAM, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Deklarasi tersebut dilakukan oleh Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat. "Deklarasi damai yang dikeluarkan oleh DPRD Lampung Timur itu mengandung maladministrasi karena meniadakan persyaratan pokok, keharusan penyelesaian dugaan pelanggaran HAM berat sesuai dengan UU Nomor 26 Tahun 2000, yaitu khususnya tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)," kata anggota Ombusdman Ahmad Suaedy dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Sabtu (14/12).

Ombudsman, kata Suaedy, juga mendorong DPRD Lampung Timur dan Tim Terpadu Pelanggaran HAM mengevaluasi deklarasi tersebut. Tim Terpadu Pelanggaran HAM itu terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Ketua DPRD Lampung Timur, Wakil Bupati Lampung Timur, Kepala Kejaksaan Negeri Lampung Timur, Kapolres Lampung Timur, Dandim 0429 Lampung Timur. Kemudian, KPN Sukadana Lampung Timur, Camat Labuhan Ratu, Kepala Desa Rajabasa Lama, dan tokoh masyarakat Talangsari.

Kepada Komnas HAM, Ombudsman mendorong adanya perbaikan Peraturan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Surat Keterangan Korban dan/atau Keluarga Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia. "Agar seluruh korban pelanggaran HAM yang berat mendapatkan kemudahan akses layanan bantuan medis dan psikososial tanpa diskriminasi," ujar dia. (G-2)

BACA JUGA: