JAKARTA - Kepolisian mengeluarkan surat telegram rahasia bernomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 yang diterbitkan pada 2 Oktober 2020 berisi memerintahkan seluruh jajaran Polri di 25 provinsi dan 300 kabupaten atau kota melarang aksi unjuk rasa.

Surat tersebut telah menunjukkan ketidakprofesionalan polisi lantaran bertentangan dengan tugas dan wewenangnya. Polisi juga dianggap telah kehilangan netralitasnya dalam menangani demonstrasi maupun penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah mengatakan Kapolri Idham Azis membuat Surat Telegram (STR) yang berisi 12 poin untuk merespons adanya unjuk rasa yang akan dilakukan oleh Kelompok Buruh mengenai penolakan terhadap RUU Cipta Kerja.

"Dari STR yang telah dikeluarkan, terdapat dua poin yang dinilai bertentangan dengan tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Kepolisian," kata Wana kepada Gresnews.com, Jumat (9/10/2020).

Wana melanjutkan, pertama, adanya upaya Kepolisian untuk membangun opini publik untuk tidak setuju dengan aksi unjuk rasa.

Kedua, Kepolisian akan melakukan kontranarasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah.

"Adanya perintah untuk melakukan kontranarasi dan membangun opini publik merupakan hal yang perlu disoroti di tengah polemik RUU Cipta Kerja," tuturnya.

Adanya aktivitas digital Kepolisian mengenai Belanja Kepolisian dan dugaan pembentukan opini publik dinilai bertentangan dengan aturan hukum.

Sebab, kata Wana, berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Negara Indonesia (UU 2/2002) tidak ada satu pun wewenang Kepolisian untuk membangun opini publik terhadap aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat.

Pada Pasal 13 UU 2/2002 terdapat tiga tugas pokok Kepolisian, yaitu: a). memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, b). menegakkan hukum, dan c). memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

"Pada Pasal 14 yang merupakan turunan dari Pasal 13 juga tidak ada sama sekali klausul mengenai tugas Kepolisian untuk membangun opini publik dan kontra narasi isu yang mendiskreditkan pemerintah," ujarnya.

Bahkan menurutnya, pada Peraturan Kepolisian Nomor 5 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2017 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Organisasi Pada Tingkat Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak ada sama sekali tugas ataupun wewenang yang berkaitan dengan kontra narasi dan membangun opini publik.

"Perintah yang tercantum di dalam STR menunjukkan bahwa adanya potensi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Kapolri," tegasnya.

Kepolisian merupakan organ yang telah dipisahkan dari ABRI selaku angkatan perang sejak pasca reformasi. Pemisahan Kepolisian dan ABRI ditandai dengan ditandatanganinya Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan Dalam Rangka Pemisahan Kepolisian Negara Republik Indonesia dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

Akibat pemisahan tersebut kemudian diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sejak saat itu, institusi Bhayangkara mulai mandiri baik dari segi regulasi, sumber daya manusia, hingga anggaran.

Menurut Wana, sejak era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, alokasi anggaran yang diberikan oleh pemerintah ke Kepolisian mengalami tren peningkatan. Setidaknya dari tahun 2015 hingga 2020 total anggaran yang dikelola yakni sebesar Rp531,1 triliun.

Rata-rata per tahunnya Kepolisian mengelola anggaran sekitar Rp106,2 triliun. Kepolisian berkewajiban untuk bersikap transparan dan akuntabel dalam setiap belanja yang telah dilaksanakan.

"Pada tahun 2019 tercatat paket belanja barang Kepolisian sebanyak 5.632 paket dengan pagu sebesar Rp17,2 triliun," tandasnya.

Selain itu, Peneliti ICW lainnya Lola Easter mengatakan bahwa adanya rapat antara Kepolisian dengan Menteri Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Oktober 2020 mengenai unjuk rasa penolakan RUU Cipta Kerja diduga berkaitan dengan upaya meredam opini publik di media sosial yang tidak sejalan dengan pemerintah.

"Omnibus Law alias regulasi sapu jagat telah ditolak besar-besaran selama kurun waktu beberapa bulan kebelakang oleh berbagai elemen masyarakat, khususnya buruh. Regulasi tersebut dinilai bermasalah sejak awal karena pembahasannya menihilkan partisipasi publik," kata Lola pada saat yang sama.

Padahal, menurut dia, di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 salah satu poin penting dari isu pembahasan kebijakan hukum adalah keterlibatan masyarakat.

"Alih-alih mengakomodir pendapat dari berbagai kelompok masyarakat, pemerintah dan DPR memilih jalan pintas dengan "memanfaatkan" instrumen aparatur negara, yakni Kepolisian dalam membangun opini publik agar setuju dengan Omnibus Law dan melakukan kontra narasi terhadap kelompok masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja," jelasnya.

Berkaitan dengan peran Kepolisian dalam mendukung suksesnya pembahasan UU Omnibus Law sebagaimana telah disinggung di atas.

"Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan kajian dan penelusuran informasi terhadap aktivitas digital Kepolisian yang selama ini didanai dari sumber APBN," tandasnya.

Sebelumnya Mabes Polri menjelaskan STR Kapolri soal antisipasi adanya demonstrasi dan mogok kerja .

"Itu adalah arahan Mabes Polri kepada kesatuan wilayah dalam menghadapi rencana demo 6 sampai 8 Oktober, termasuk rencana aksi mogok kerja buruh, tentunya apa yang sudah disampaikan di dalam STR itu adalah arahan. Sehingga ke wilayahan tidak ada ragu-ragu lagi dalam mengambil tindakan di lapangan sudah ada rambu-rambunya jelas," ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (6/10).

Namun Awi mengingatkan tindakan yang dimaksud dalam telegram tersebut yakni tindakan yang mengedepankan upaya preventif, pencegahan, hingga deteksi pencegahan dini.

"Jadi jangan sampai terjadi anarkis pengalaman-pengalaman yang lalu itu menjadi pelajaran. Sampai yang terakhir disampaikan bahwasannya Polda tetap diperintahkan untuk membuat rencana pengamanan, kalau terjadi demo," katanya.

"Jadi kita tetap melakukan pelayanan, walaupun diatas disampaikan kita tidak melayani perizinan terkait demo untuk tidak menerbitkan STTP. Tentunya di bawah tetap ada rambu-rambu yang kita pakai sebagai tupoksinya Polri melaksanakan pelayanan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat tentunya penegakan hukum itu adalah hal yang terakhir," sambungnya.

Kadiv Humas Polri Irjen Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan, telegram itu keluar demi menjaga keselamatan rakyat di tengah pandemi virus Corona atau Covid-19. Unjuk rasa tersebut akan berdampak pada faktor kesehatan, perekonomian, moral, dan hukum di tatanan masyarakat.

"Sebagaimana pernah disampaikan Pak Kapolri Jenderal Idham Azis, di tengah pandemi Covid-19 ini keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi atau Salus Populi Suprema Lex Esto," tutur Argo dalam keterangannya, Selasa (6/10).

Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui sosial media. Dalam poin kelima, petugas diminta melakukan patroli siber di medsos dan perusahaan media untuk membangun opini publik yang tidak setuju dengan unjuk rasa di tengah pandemi. Poin keenam, petugas diminta melakukan kontra narasi isu yang mendiskreditkan pemerintah.

"Soal melakukan cyber patroli ini pada medsos dan manajemen media bertujuan untuk mencegah berita-berita hoaks," jelas Argo

Isi Telegram

1. Kapolri meminta agar jajarannya melaksanakan kegiatan fungsi intelijen dan pendeteksian dini guna mencegah terjadinya aksi unjuk rasa dan mogok kerja yang berpotensi terjadinya konflik sosial serta aksi anarkis di wilayah masing-masing.

2. Melakukan pemetaan di perusahaan atau sentra produksi strategis dan memberikan jaminan keamanan dari adanya pihak-pihak yang mencoba melakukan provokasi atau mencoba memaksa buruh ikut mogok kerja serta unjuk rasa.

3. Mencegah, meredam, dan mengalihkan aksi unjuk rasa kelompok buruh demi kepentingan pencegahan penyebaran virus corona. Melakukan kordinasi dengan seluruh elemen masyarakat terkait dengan hal ini.

4. Melakukan koordinasi dan bangun komunikasi efektif dengan Apindo, Disnaker, tokoh buruh, mahasiswa, elemen masyarakat lainnya dalam rangka memelihara situasi Kamtibmas kondusif di tengah pandemi Covid-19.

5. Melakukan patroli siber pada media sosial dan manejemen media terkait dengan pembangunan opini publik.

6. Lakukan kontranarasi isu-isu yang mendeskreditkan pemerintah.

7. Seluruh jajaran di wilayah tidak memberikan izin unjuk rasa dan kegiatan yang menimbulkan keramaian massa.

8. Antisipasi harus dilakukan di hulu dan lakukan pengamanan terbuka serta tertutup.

9. Melakukan pencegahan adanya aksi unjuk rasa yang menyasar penutupan jalan tol. Menerapkan penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal KUHP dan kekarantinaan kesehatan.

10. Menyiapkan rencana pengamanan dengan tetap mempedomani Perkap Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Pengendalian Massa, Perkap Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian dan Protap Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Penanggulangan Anarkis.

11. Seluruh jajaran Polri di wilayah masing-masing diminta untuk terus melaporkan kesiapan dan setiap kegiatan yang dilakukan kepada Kapolri dan Asops.  (G-2)

BACA JUGA: