JAKARTA - Masyarakat pesimistis terhadap kredibilitas para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) sehingga menolak melakukan pengujian UU Cipta Kerja di MK.

Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahuddin bahkan mengatakan masyarakat tidak percaya MK akan mengabulkan permohonan uji baik materiil maupun formil. Menurutnya, dari perspektif sosiologi hukum, sikap masyarakat itu bisa dimaklumi.

"Saya pun termasuk yang berpandangan bahwa langkah JR (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi belum menjadi prioritas. Yang perlu diutamakan sekarang adalah mendorong agar UU Cipta Kerja dibatalkan sendiri oleh DPR dan/atau Presiden melalui proses Legislative Review atau Executive Review," kata Said kepada Gresnews.com, Kamis (15/10/2020).

Said mencatat sejumlah lasan utama.

Kredibilitas hakim konstitusi. Masyarakat menilai MK tidak kredibel karena hakimnya mudah disuap. Argumen ini didasari pada pengalaman dua hakim konstitusi yang pernah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena tersangkut kasus korupsi.

Masyarakat juga meragukan kredibilitas MK karena secara empiris terdapat sejumlah putusan MK yang dianggap tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Contohnya sengketa hasil pilpres.

Ada pula argumen yang mengaitkan dengan proses pengisian jabatan hakim MK yang dipilih oleh DPR dan presiden sebagai pembentuk UU Cipta Kerja. Hal tersebut menyebabkan masyarakat ragu, hakim MK dapat bersikap objektif dalam memutus perkara.

"Terhadap ketiga argumen itu saya berpandangan bahwa dalil-dalil tersebut muncul karena masyarakat masih dalam keadaan emosional, sehingga kurang objektif dalam merespons isu mengenai JR," jelasnya.

Menurutnya, jika ketidakpercayaan masyarakat kepada MK dikaitkan dengan kasus korupsi yang pernah menimpa mantan Hakim Konstitusi Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, misalnya, Said mengira hal itu kurang tepat.

Sebab, pada kasus Akil dan Patrialis publik secara transparan sudah melihat sendiri bahwa pengadilan tindak pidana korupsi sama sekali tidak menemukan adanya keterlibatan dari hakim konstitusi yang lain. "Sehingga, menjadi tidak fair menurut saya jika publik membuat generalisasi bahwa hakim konstitusi mudah disuap," tuturnya.

Lagi pula, lanjut Said, sejumlah hakim konstitusi yang menjabat pada saat munculnya kasus Akil dan Patrialis sekarang sudah banyak yang pensiun. Begitu pula dengan hakim yang memutus sengketa hasil Pilpres, terutama di Pilpres 2014, sebagian sudah diganti.

Mengenai Hakim MK yang dipilih oleh DPR dan Presiden pun perlu diluruskan bahwa hal tersebut sudah menjadi ketetapan konstitusi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945.

"Jadi itu bukan maunya Hakim MK sendiri atau maunya DPR dan Presiden," ujarnya.

Said mengatakan, di samping alasan pertama yang terkait dengan kredibilitas Hakim MK di atas, ada pula alasan kedua yang dimunculkan oleh masyarakat yang tidak percaya bahwa MK akan mengabulkan JR UU Cipta Kerja, yaitu terkait persoalan aturan hukum.

Masyarakat coba mengaitkannya dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU 7/2020), yang diundangkan enam hari sebelum UU Ciptaker disahkan oleh DPR.

Dalam UU tersebut DPR dan Presiden menghapus ketentuan Pasal 59 ayat (2) yang sebelumnya termuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UU 8/2011).

Pasal 59 ayat (2) pada pokoknya mengatur mengenai kewajiban bagi DPR dan Presiden untuk segera menindaklanjuti Putusan MK yang terkait dengan JR, dalam hal putusan itu mengubah undang-undang yang diuji.

"Nah, penghapusan pasal itu banyak dikira orang merupakan skenario dari DPR dan Presiden untuk menihilkan putusan MK. Mereka pikir, dengan demikian maka DPR dan Presiden tidak lagi memiliki kewajiban untuk menindaklanjuti Putusan MK," terangnya.

Sehingga, Said menambahkan, terbangunlah asumsi di masyarakat bahwa seandainya pun UU Cipta Kerja dibatalkan, baik sebagian atau seluruhnya oleh MK, maka hal itu akan sia-sia sebab UU tersebut tetap bisa diberlakukan oleh DPR dan Presiden.

"Padahal ini asumsi yang keliru," cetusnya.

Perlu diketahui, kata Said, penghapusan Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 melalui UU 7/2020 bukanlah kemauan DPR dan Presiden, melainkan pasal itu dihapus justru karena diperintahkan oleh MK.

Ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU 8/2011 sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sejak sembilan tahun yang lalu melalui Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, tanggal 18 Oktober 2011. Jadi, memang sudah seharusnya Pasal 59 ayat (2) itu dihapus dalam UU 7/2020.

Penghapusan pasal tersebut sama sekali tidak mempengaruhi sifat putusan MK yang memiliki kekuatan hukum terakhir dan mengikat (final and binding), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

Penghapusan Pasal 59 ayat (2) juga tidak menyebabkan Putusan MK bisa dikesampingkan oleh DPR dan Presiden, sebab dalam pengujian undang-undang kedudukan Putusan MK dipersamakan juga dengan undang-undang.
Dalam pembentukan undang-undang, DPR dan Presiden merupakan postitif legislator, sedangkan MK diposisikan sebagai negatif legislator. Begitu lah teori hukumnya.

"Jadi, sekalipun Pasal 59 ayat (2) telah dihapus oleh UU 7/2020, dalam hal JR UU Cipta Kerja dikabulkan dan UU tersebut, misalnya, dibatalkan oleh MK, maka tidak ada tafsir lain lagi: "good bye omnibus law," ujarnya.

Sebelumnya Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan bahwa pihaknya akan menempuh sejumlah cara untuk menolak Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Salah satu langkahnya adalah melakukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Judicial review kami akan siapkan. Satu adalah uji formil, kita akan lihat proses-proses pengesahan. Bayangkan paripurna mengesahkan kertas kosong, itu kan berbahaya," katanya dalam konferensi pers secara virtual, Senin (12/10/2020).

Meski begitu, lanjut Iqbal, pihaknya akan menganalisa terlebih dahulu langkah hukum yang bisa ditempuh. Selain itu, pihaknya juga akan tetap melakukan aksi-aksi lanjutan. "Kami akan mempelajari lebih dalam. Namun, bukan berarti tidak melakukan aksi. Tetap ada aksi-aksi tentang masa depan serikat buruh ke depan," jelasnya. (G-2)

 

BACA JUGA: