JAKARTA - Harapan agar Presiden Joko Widodo tak mengesahkan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pupus sudah. Kini bola panas berpindah ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan memutuskan aturan ini sah atau tidak.

Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun mengatakan UU Ciptaker ini sarat polemik dari awal pembuatan hingga selesai disahkan.

"Saya kira, UU Ciptaker ini kan cacat ya secara prosedur, secara prinsip-prinsip, partisipasi publik juga tidak dilibatkan. Jadi ada pelanggaran prosedur terkait proses produksi undang-undangnya," kata Ubed kepada Gresnews.com, Kamis, (5/11/2020).

Lanjut Ubed, selain minim partisipasi publik isi UU Ciptaker juga tidak aspiratif. Mungkin ada beberapa yang aspiratif tapi lebih banyak yang tidak aspiratif di dalamnya.

"Maka argumen-argumen semacam itu, itukan bisa dikonfirmasi dengan UUD 1945 misalnya," jelasnya.

Ia menilai dari maraknya aksi demontrasi menunjukkan rakyat menolak UU Ciptaker.

"Jadi kalau saya melihat seluruh persoalan yang ada didalam UU ciptaker itu secara subtantif bertentangan dengan UUD 1945. Jadi bisa ditolak seluruhnya," tuturnya.

Sebelumnya Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja bisa dibatalkan seluruhnya dalam gugatan judicial review di Mahkamah Konstitusi.

Menurut Yusril, pemerintah dan DPR harus menjawab persoalan prosedur pembentukan undang-undang dengan hati-hati dan argumentatif. Jika bertentangan dengan Undang-Undang Nomo 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa dibatalkan seluruhnya tanpa membahas substansi.

Menanggapi hal tersebut, Ubed mengatakan bahwa hal itu tergantung dari Mahkamah Konstitusi (MK) itu sendiri. Apakah MK betul-betul obyektif atau tidak.

Lebih lanjut, Ubed mengatakan ragu akan obyektifitas dari MK saat ini. Memang secara historis pada awal berdirinya MK ini citranya bagus namun kemudian terpuruk.

Hal itu arena terlalu banyak kasus yang menyangkut Mahkamah Konstitusi, yang kemudian memperburuk kinerja MK.

Misalnya, adanya ketua MK yang dipenjara gara-gara transaksi soal pilkada pada waktu itu. Ada dua hakim agungnya yang berperkara, yang satu ketua, yang satunya wakilnya.

Jadi, artinya ada pimpinan Mahkamah Konstitusi yang berperkara dan bermasalah pada waktu itu. Citranya sudah buruk. Artinya pola-pola transaksional dan semacam korupsi itu masih terjadi di tubuh Mahkamah Konstitusi.

"Bagaimana kita bisa percaya dengan lembaga yang seperti itu," cetusnya.

Kemudian yang kedua, MK kemarin membuat UU MK yang baru yang terkesan transaksional antara hakim agung di MK dengan DPR dan presiden.

"Jadi saya tidak optimis, tidak percaya pada obyektifitas Mahkamah Konstitusi," tuturnya.

Ubed memiliki argumentasi dengan bukti empirik bahwa para petinggi MK dibeberapa tahun terakhir, ada yang masuk penjara sampai sekarang belum keluar penjara tersangkut kasus korupsi.

Dua hal itu yang membuat Ia tidak percaya pada MK. Pertama, ada perkara korupsi sebelumnya, yang menyangkut pimpinan MK.

Kedua, UU MK yang baru menunjukkan pola transaksional antara DPR Presiden dan hakim agung yang ada di dalam MK.

"Jadi itu yang membuat saya dan mungkin juga para akademisi yang lain tidak percaya dengan Mahkamah Konstitusi," ungkapnya.

Ubed menegaskan bahwa seharusnya kalau MK mau memperbaiki citranya yang buruk perlu menjaga marwahnya. MK sebagai garda tertinggi penjaga keadilan konstitusional, maka harus berpihak pada kepentingan rakyat.

"Batalkan aja seluruhnya UU Cipta Kerja ini karena memicu persoalan yang begitu banyak
menyangkut rakyat banyak," tegasnya.

Ubed menilai bahwa hal itu adalah pertaruhan dari MK kali ini, apakah MK berpihak pada rakyat atau berpihak pada penguasa?

"Kalau kemudian berpihak pada penguasa, ya sudahlah selesai. Orang ngga percaya sama presiden, DPR, juga Mahkamah Konstitusi," ungkapnya.

Jadi, kata Ubed, ini berbahaya karena trias politiknya sudah semakin tidak dipercaya oleh publik di Indonesia. "Jadi legislatif, eksekutif dan yudikatif semuanya bermasalah," katanya.

Situs Setneg.go.id mengunggah salinan undang-undang berjumlah 1.187 halaman itu pada Senin (2/11) malam. Usai naskah itu diunggah, publik menemukan serangkaian kejanggalan dalam beberapa pasal yang termuat dalam beleid itu.

Pihak istana pun telah mengakui kekeliruan dalam penyusunannya. Melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno, pemerintah mengklaim bahwa kesalahan tersebut tak berpengaruh banyak terhadap substansi undang-undang itu.

Lebih jauh, kata Pratikno kesalahan tersebut hanya sebatas administrasi teknis penulisan. Pemerintah bersama Sekjen DPR pun disebutkan telah sepakat untuk membuat perbaikan.

Sebelumnya Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko mengatakan berbagai lembaga seperti Bank Dunia, Asian Development Bank, Moody’s, Fitch Rating, dan TMF Group mengapresiasi pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Menurut mereka, beleid tersebut diprediksi mendorong pulihnya perekonomian Indonesia.

"Apresiasi dari sejumlah lembaga internasional ini menunjukkan kita pada jalan yang benar. Saya optimis UU Ciptaker bisa buat rakyat bahagia dan sejahtera," ujar Moeldoko melalui keterangan pers tertulis, Rabu (4/11/2020).

Selain apresiasi dari sejumlah lembaga internasional, pengesahan UU Ciptaker dilandasi optimisme bahwa peraturan tersebut mampu menjadi daya ungkit ekonomi bagi kesejahteraan masyarakat.

"Jika dunia usaha berkembang, perekonomian akan tumbuh semakin cepat maka lapangan kerja yang layak akan semakin terbuka dan produk dalam negeri semakin mampu bersaing," kata mantan Panglima TNI itu.

Moeldoko menambahkan, UU Cipta Kerja diharapkan bisa menumbuhkan iklim investasi dan meningkatkan kompetisi usaha. Selain itu, beleid ini bisa menjadi alat yang ampuh agar Indonesia bisa menjadi negara maju pada 2045.

“Banyak negara yang terjebak dalam middle income trap karena adanya sejumlah aturan yang menyulitkan dunia usaha. UU Ciptaker membongkar barikade ini maka ekonomi akan tumbuh. Indonesia bisa lepas dari perangkap tersebut,” tuturnya.

Selain itu, UU Ciptaker diharapkan bisa memangkas angka rasio investasi yang dibutuhkan untuk mengangkat PDB atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR).

Berdasarkan dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2021, angka ICOR Indonesia pada 2018 adalah 6,44 dan setahun berikutnya naik ke 6,77. “Angka ICOR diatas enam jauh dari ideal. Ada inefisiensi birokrasi dan perizinan. UU Ciptaker melibas hal ini,” katanya. (G-2)

BACA JUGA: