JAKARTA - Aksi massa dan kritik masyarakat yang menolak Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) seolah tak berarti. Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) akhirnya menandatangani UU Cipta Kerja.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menyebut UU Cipta Kerja merupakan kado pahit pada bulan pahlawan saat ini.

"Menurut saya pribadi disahkannya UU Cipta Kerja ini menjadi preseden buruk pemerintahan Jokowi, di mana masukan masyarakat tidak didengar, cenderung mengabaikan," kata Huda kepada Gresnews.com, Selasa (3/11/2020).

Huda melanjutkan dengan demikian kuasa oligarki dalam pemerintahan Jokowi sudah tidak dapat dibendung lagi. "Ke depan, undang-undang seperti ini yang merugikan rakyat akan mulus di parlemen maupun pembahasan di eksekutif," ujarnya.

DPR dan pemerintah telah menyetujui UU Cipta Kerja pada sejak 5 Oktober 2020. Menurut peraturan, Presiden Jokowi dapat mengesahkan UU tersebut dalam jangka waktu 30 hari, dengan batas akhir tepat pada 4 November 2020.

Sementara itu Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI) menyatakan ada pasal siluman dalam UU Cipta Kerja, yaitu pada Bab lV setelah disahkan oleh DPR.

Ketua FSPI Indra Munaswar menjelaskan dalam konferensi pers di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa, 13 Oktober 2020, Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin didampingi Ketua Panja RUU Ciptaker Supratman Andi Agtas dan beberapa anggota Panja dari fraksi pendukung RUU Cipta Kerja yang mengakui adanya penambahan pasal atau ayat dalam RUU Cipta Kerja yang telah disahkan di rapat paripurna, itu merupakan tindak pidana.

"Fakta menunjukkan, dari UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada 5 Oktober 2020, khusus Bab IV Ketenagakerjaan, isinya diubah pada 13 Oktober 2020, yang oleh Aziz Syamsuddin akan disampaikan ke Presiden pada 14 Oktober 2020," kata Indra kepada Gresnews.com, Selasa (3/11/2020).

Lanjut Indra, perubahan tersebut tidak sebatas typo atau salah ketik tapi juga perubahan kata, frasa, dalam pasal atau ayat atau huruf, tapi terdapat penambah ayat, huruf dan angka dalam suatu pasal. Perubahan dalam bentuk penambahan atau pengurangan kata atau frasa sebanyak 57 kata/frasa. Sementara penambahan ayat, huruf, atau angka sebanyak 24 ayat/huruf/angka.

Menurutnya, dari bukti tersebut di atas, sangat jelas dan terang DPR telah melanggar Pasal 163 dan Pasal 614 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Tata Tertib, dan Pasal 108 dan Pasal 109 Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Pembentukan Undang-Undang juncto UU Nomor 12 Tahun 2011/UU Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

"Jika saja Panja RUU Cipta Kerja dan Pimpinan DPR tidak kebelet seperti habis meminum obat pencahar, dan tidak terlalu nyaman berkelindan dengan eksekutif, tentunya DPR tidak perlu melakukan pelanggaran hukum dalam pembentukan UU Cipta Kerja ini," jelasnya.

Menurut Indra, berdasarkan Pasal 104 dan Pasal 106 Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020, DPR dapat memaksimalkan peran dari Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi untuk secara maksimal merapikan RUU Cipta Kerja sebelum dibawa ke Pembicaraan Tingkat I. Dalam Pembicaraan Tingkat I, Naskah RUU yang telah dirumuskan dan disinkronisasi wajib dibacakan, setelah itu ditandatangani.

"Itu artinya, setelah naskah ditandatangani tidak akan mungkin lagi ada perubahan apa pun dalam Naskah RUU tersebut ketika dibawa ke Pembicaraan Tingkat II dalam Sidang Paripurna DPR untuk disahkan," terangnya.

Indra menyampaikan pesan bahwa serikat pekerja akan terus melakukan upaya-upaya untuk tegaknya keadilan.

(G-2)

 

BACA JUGA: