JAKARTA-Pemerintah saat ini sedang menggodok aturan pelaksaan dari Onmibus Law Undang-Undang Cipta Kerja kendati mendapat banyak tentangan dari masyarakat. Bahkan pemerintah menebar janji akan memperbaiki kekurangan yang ada dalam UU Cipta Kerja tersebut saat menyusun aturan pelaksanaan.

Direktur Sinergi masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin mengatakan aturan pelaksanaan Omnibus Law Cipta Kerja yang tengah disusun pemerintah mustahil dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam UU Cipta Kerja tersebut.

Said menjelaskan bahwa janji Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marvest) Luhut Binsar Panjaitan untuk membenahi masalah-masalah tersebut melalui aturan turunan hanyalah gula-gula.

Menurutnya Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), dan Peraturan menteri (Permen) yang sedang disusun oleh pemerintah merupakan produk regulasi (regulative or executive acts).

"Kesemua perangkat hukum itu dibentuk dalam rangka menjalankan produk legislasi (legislative acts), yaitu undang-undang," kata Said kepada Gresnews.com, Senin, (19/10/2020).

Lanjut Said, dalam konteks itu berlaku asas lex superior derogat legi inferior. Suatu aturan haruslah dibentuk dengan mendasarkan pada aturan diatasnya. Dan aturan yang dibentuk tersebut tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

"Merujuk prinsip hukum diatas, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan lebih tegas lagi menyatakan bahwa secara hierarki, kedudukan PP, Perpres, dan Permen, berada dibawah undang-undang," jelasnya.

Said menambahkan, dengan demikian, materi muatan PP, Perpres, serta Permen nantinya pastilah akan merujuk pada semangat yang terkandung dalam UU Cipta Kerja. Sebab, produk regulasi sama sekali tidak boleh menyimpang dari materi yang diatur dalam produk legislasi.

"Akibatnya, peluang untuk memperbaiki problematik UU Cipta Kerja melalui PP, Perpres, maupun Permen otomatis tertutup," tegasnya.

Jadi, kata Said, mau se-transparan dan se-akomodatif apapun pemerintah dalam proses penyusunan produk regulasi tersebut, hasilnya kelak akan sama saja. Norma yang diatur dalam PP, Perpres, dan Permen sulit diharapkan dapat memulihkan kerugian konstitusional masyarakat, terutama elemen buruh, atas berlakunya UU Cipta Kerja.

"Oleh sebab itu, rencana pembenahan UU Cipta Kerja yang dijanjikan Menko Marvest tersebut menurut saya hanya sekedar gula-gula untuk menyenangkan hati pimpinan buruh. Taktik itu digunakan sebagai alat pemikat agar pimpinan buruh mau terlibat dalam proses penyusunan PP, Perpres, dan Permen," tuturnya.

Padahal, menurut Said, para pimpinan buruh itu bukan orang-orang bodoh yang mudah terperdaya oleh iming-iming dan janji gombal semacam itu. Mereka paham bahwa apa yang dijanjikan pemerintah tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum.

Maka, wajar saja jika kemudian banyak dari para pimpinan buruh yang sedari awal sudah menyatakan penolakannya untuk terlibat dalam proses penyusunan PP, Perpres, dan Permen Cipta Kerja.

Mereka sadar keterlibatannya dalam proses penyusunan produk-produk regulasi itu tidak akan memberi manfaat apa-apa bagi buruh.

"Aturan turunan mustahil perbaiki UU Ciptaker," tandasnya.

Sebelumnya Luhut memastikan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law tidak dikerjakan buru-buru karena inisiasinya bahkan telah dilakukan sejak ia menjabat sebagai Menko Polhukam pada 2015.

"Jangan dibilang buru-buru. Saya ingin mundur sedikit ya. Sejak saya Menko Polhukam, Presiden sudah perintahkan itu. Dia melihat, kenapa itu semrawut. Akhirnya kita cari bentuknya dan ketemulah apa yang disebut Omnibus ini," katanya dalam wawancara satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma`ruf Amin yang ditayangkan salah satu saluran televisi swasta, Kamis (15/10/2020).

Luhut menjelaskan telah mengumpulkan pakar-pakar hukum dalam inisiasi Omnibus Law. Namun, pembahasan baru benar-benar dikerjakan lebih lanjut setelah Pilpres 2019.

"Jadi tidak ada yang tersembunyi. Semua terbuka, semua diajak omong. Tapi kan tidak semua juga bisa diajak omong. Ada keterbatasan," katanya.

Luhut mengatakan dalam pembahasannya, tidak semua pihak pula sepakat. Ia pun mengakui itulah ciri demokrasi yang tidak pernah bulat.

Luhut pun mengakui Omnibus Law Cipta kerja tidak sempurna.Namun, ia memastikan kekurangan-kekurangan yang ada akan diatur kemudian dalam aturan turunan berupa Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Pemerintah (PP) hingga Peraturan Menteri (Permen).

"Kalau itu diperlukan untuk mengakomodasi kekurangan sana sini," tukasnya.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan tengah mempersiapkan Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunan dari UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan.

Menurut Menaker Ida, aturan tersebut Akan diselesaikan pada akhir Oktober dan penyusunannya melibatkan berbagai pemangku kepentingan sektor ketenagakerjaan, termasuk serikat pekerja/buruh serta pengusaha.

Tenaga Ahli Badan Legislasi DPR Widodo mengatakan sudah ada perkiraan bahwa Omnibus Law UU Cipta Kerja akan melahirkan 42 aturan turunan. Perinciannya ialah 37 Peraturan Pemerintah dan 5 Perpres.

Pemerintah memiliki waktu paling lambat tiga bulan untuk menerbitkan aturan turunan setelah Omnibus Law UU Cipta Kerja resmi berlaku.

DPR telah mengesahkan Omnibus Law UU Cipta Kerja pada 5 Oktober dan menyerahkannya ke presiden pada 14 Oktober 2020. Presiden Joko Widodo atau Jokowi punya waktu 30 hari sejak paripurna, untuk meneken Omnibus Law, sehingga resmi berlaku.

"PP (Peraturan Pemerintahnya) ada 37 dan informasinya ada 5 Perpres (Peraturan Presiden)," kata Widodo dalam dalam acara Kovid Psikologi secara virtual pada Sabtu, (17/10/2020).

Widodo lalu mengatakan bahwa pembentukan peraturan pelaksana ini harus dikonsultasikan kepada DPR. Konsultasi dilakukan melalui alat kelengkapan di bidang legislasi.

Selanjutnya, pemerintah pusat wajib melaporkan kepada DPR dan DPD melalui alat kelengkapan di bidang legislasi terkait pelaksanaan Omnibus Law. Laporan harus disampaikan dalam jangka waktu 1 tahun (post legislative scrutiny).

Dalam acara ini, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira sempat melontarkan kritik karena Omnibus Law justru akan melahirkan banyak aturan baru, sehingga dinilai kontradiktif.

Sebab, masalah investasi di Indonesia selama ini yang disorot Bank Dunia, justru karena terlalu banyak aturan. "Selama 2015 sampai 2018, ada lebih dari 6.300 peraturan menteri," kata Bhima.

Namun demikian, Widodo punya argumen lain. Omnibus Law justru akan memangkas ribuan peraturan menteri ini karena akan diatur di level PP saja. Bahkan, ke depan akan ada PP yang mengatur secara gabungan, antara satu bidang dengan bidang lainnya. (G-2)

 

 

BACA JUGA: