JAKARTA - Ombudsman RI merekomendasikan pemerintah mengevaluasi kebijakan bantuan sosial (bansos) dalam menghadapi pandemi COVID-19.

Rekomendasi itu didasarkan pada akumulasi data aduan khusus bagi masyarakat terdampak pandemi COVID-19 yang dibuka sejak 29 April 2020. Berdasarkan catatan Ombudsman RI hingga 29 Mei 2020, pengaduan terbanyak terkait penyaluran bantuan sosial.

Ketua Ombudsman RI Amzulian Rifai menyebutkan dari total 1.004 pengaduan dalam waktu satu bulan itu, sekitar 817 di antaranya merupakan laporan terkait bansos yakni 81,3%. "Aduan terkait bansos yang dilaporkan tentang penyaluran bantuan yang tidak merata serta prosedur penerimaan bantuan yang tak jelas," kata Amzulian dalam konferensi pers yang digelar daring dan diikuti Gresnews.com, Rabu (3/6/2020).

Ia menjelaskan ketidakjelasan data penerima bansos yang dimiliki pemerintah sangat merugikan masyarakat. Terbanyak soal penyaluran bantuan tidak merata dalam hal waktu dan masyarakat yang dituju serta wilayah sasaran. Kemudian terkait prosedur dan persyaratan untuk menerima bantuan itu tidak jelas.

"Kemudian terkait masyarakat yang kondisinya lebih darurat ternyata tidak terdaftar dan sebaliknya, terdaftar tapi tidak menerima bantuan; dan tidak dapat menerima bantuan di tempat tinggal karena KTP pendatang," imbuhnya.

Ombudsman RI juga menemukan di beberapa wilayah seperti Jambi dan Papua diduga ada upaya manipulasi data penerima bantuan sosial oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Manipulasi data tersebut tidak hanya mengurangi atau menambah jumlah penerima bantuan sosial, tetapi juga mengganti nama penerima yang asli dengan penerima lain yang justru tidak tepat sasaran.

Ombudsman RI mencatat 149 pengaduan terkait ekonomi dan keuangan, 19 pengaduan terkait pelayanan kesehatan, 15 pengaduan terkait transportasi, dan 4 pengaduan terkait keamanan. Ia menyatakan, laporan di bidang ekonomi dan keuangan misalnya soal informasi relaksasi kredit hingga diskon listrik yang diberikan PLN.

Aduan masyarakat terdampak COVID-19 terkait bidang ekonomi dan keuangan di antaranya OJK tidak merespons pengaduan secara cepat dalam restukturisasi kredit, belum tersedianya informasi secara jelas mengenai kebijakan relaksasi kredit kepada masyarakat.

Debt collector menyita barang debitur karena tidak mampu mengangsur, kebijakan pemberian diskon 50% yang tidak berlaku untuk semua pelanggan listrik 900VA, dan belum adanya layanan secara jelas terkait prosedur dan mekanisme pemohon restrukturisasi kredit bagi sejumlah masyarakat yang telah menerima kriteria.

Ia menyebutkan, berbagai kebijakan pemerintah nyatanya belum terinformasikan dengan baik di berbagai daerah. Kebijakan yang telah disampaikan pemerintah tidak secara akurat diterima masyarakat.

"Banyaknya informasi tak akurat berkembang melalui media sosial/non pemerintah dan kenaikan jumlah laporan yang signifikan pada bidang bantuan sosial membutuhkan perhatian yang serius dari Pemerintah. Karena beberapa permasalahan terkait informasi dan pendataan penerima bantuan sosial maupun implementasinya dapat memunculkan konflik horizontal di masyarakat," ungkapnya.

Terkait hal kesehatan, Ombudsman RI menerima laporan soal lambannya penerimaan hasil tes COVID-19 dan Kepala Desa/Pemerintah Desa kurang berkoordinasi dengan instansi terkait penanganan terhadap warga dan keluarga yang ditetapkan sebagai ODP/PDP COVID-19. Kurangnya informasi tentang perbedaan klasifikasi pasien COVID-19, kurangnya informasi tentang alur pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan gejala mirip COVID-19 dan/atau tindak lanjutnya, termasuk tentang tempat isolasi.

Sementara di bidang transportasi bahwa penghentian transportasi umum tanpa penyediaan alternatif dianggap menyulitkan masyarakat. Informasi jam operasional bandara, terminal, dan stasiun di beberapa daerah juga tidak jelas.

Sementara itu, di bidang keamanan sempat disampaikan soal keramaian di tempat-tempat publik dan perusahaan yang tetap buka di masa pandemi COVID-19 ini. Berdasarkan lokasi pengaduan, laporan terbanyak berasal dari wilayah Banten sebanyak 131 aduan.

Kemudian susul Sumatera Barat sebanyak 117 aduan, Jakarta, Bogor, Depok sebanyak 77 aduan, Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing 70 aduan. Sedangkan Instansi dengan persentase pengaduan terbanyak yaitu Dinas Sosial (53,1%), disusul oleh OJK (3,3%), PLN (2,1%), Bank (1,5%), dan Sarana Perhubungan (0,7%).

Sebelumnya Ketua Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri mengatakan dari empat celah korupsi dalam penanganan wabah COVID-19 yang paling rawan adalah program jaring sosial atau bantuan sosial dan pengadaan barang/jasa.

KPK telah mengidentifikasi titik rawan dalam pembagian bansos adalah pada pendataan penerima, klarifikasi dan validasi data, belanja barang, distribusi bantuan, serta pengawasannya.

Menurut Firli upaya, KPK untuk mencegah terjadinya korupsi di sektor salah satunya dengan mendorong keterbukaan data. "Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial harus dijadikan rujukan pendataan di lapangan," kata Firli lewat keterangan tertulisnya pada Rabu, (29/4/2020).

Ia menjelaskan titik rawan pada proses pengadaan barang dan jasa adalah kemungkinan terjadinya kolusi, penggelembungan harga, kickback, konflik kepentingan, dan kecurangan.

Firli mengatakan untuk mencegah terjadinya korupsi di sektor belanja, KPK telah melayangkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 kepada Gugus Tugas Penanganan COVID-19 dan kepala daerah.

Surat tersebut berisi anjuran dan tata cara pengadaan barang dan jasa selama masa darurat COVID-19.

Firli menerangkan dua celah lainnya adalah sumbangan dari pihak ketiga dan realokasi anggaran. Potensi kerawanan dalam sumbangan masyarakat ada pada pencatatan penerimaan, penyaluran bantuan dan penyelewengan bantuan.

Realokasi anggaran COVID-19 dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta belanja daerah juga rawan dikorupsi, terutama dalam alokasi sumber dana dan pemanfaatan anggaran. (G-2)

BACA JUGA: