JAKARTA - Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam laporan terbaru yang dikeluarkan di Jenewa mengatakan lebih dari satu dari setiap enam pekerja muda secara global telah kehilangan pekerjaan selama pandemi. Jika tidak segera dilakukan langkah-langkah antisipasi, generasi muda akan menjadi "generasi lockdown”.

Menurut laporan ILO, pada kuartal kedua tahun ini sekitar 305 juta pekerjaan penuh waktu akan hilang karena krisis COVID-19. Dampaknya terutama dirasakan para pekerja muda yang kini menghadapi kesulitan ekonomi dan keputusasaan tentang masa depan.

Direktur Jenderal ILO Guy Ryder memperingatkan "bahaya" itu dihadapi para pekerja muda berusia sampai 28 tahun. Bahaya tersebut mulai dari ketidakmampuan untuk mendapatkan pelatihan layak atau mendapatkan akses ke pekerjaan yang bisa bertahan sampai pandemi berlalu.

Pandemi ini memberikan kejutan tiga kali lebih besar bagi kaum muda. Tidak hanya menghancurkan pekerjaan mereka tetapi juga mengganggu pendidikan dan pelatihan, serta memberikan hambatan besar bagi mereka yang sedang berupaya memasuki pasar kerja atau berpindah pekerjaan.

Ketua Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) yang juga Wakil ketua KPBI - Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia - Jumisih mengamini dampak COVID-19 membuat banyak orang berhenti bekerja.

"Ya, memang begitu situasinya. Kita juga sangat merasakan situasi itu. Banyak perusahaan menggunakan alasan COVID-19 ini untuk mem-PHK, mengurangi upah, tidak membayar THR, tidak melanjutkan kontrak kerja, membayar PHK tanpa pesangon. Itu yang terjadi memang," kata Jumisih kepada Gresnews.com, Jumat (29/5/2020).

Lanjut Jumisih, sebetulnya, kalau perusahaan menyampaikan dia tidak mampu memberikan upah seharusnya ada audit laporan keuangan dan tidak bisa serta-merta membuat kebijakan sepihak. "Jadi itu yang sangat kami sayangkan kenapa perusahaan itu membuat keputusan sepihak," tuturnya.

Selain itu, kata Jumisih, yang diperlukan saat ini adalah proses pemulihan yang cepat. Akan ia melihat pemerintah kurang serius menangani COVID-19.

Pada saat pemerintah mengeluarkan kebijakan work from home, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan menetapkan hanya 11 sektor yang boleh beroperasi, ternyata pemerintah juga memberikan izin sama bagi perusahaan-perusahaan di luar 11 sektor itu untuk tetap beroperasi.

"Jadi sebetulnya ada diskriminasi yang terjadi terhadap buruh industri padat karya, khususnya mereka yang tetap bekerja. Yang sangat disayangkan lagi mereka bekerja dengan APD yang seadanya," ungkapnya.

Kalau terkait pemulihan, kata dia, sejak awal seharusnya pemerintah serius melakukannya.

"Dan sekarang kalau pemerintah bilang mau segera pemulihan atau new normal, itu butuh syarat-syarat yang dipenuhi. Misalnya kalau dalam konteks hubungan industrial itu perusahaan itu harus sudah sangat disiplin menerapkan protokol kesehatan untuk seluruh buruhnya," imbuhnya.

Jumisih menekankan adanya kesulitan perusahaan industri padat karya menerapkan protokol kesehatan, terutama saat jam berangkat dan jam pulang kerja, karena pasti buruhnya banyak sekali hingga berjubel.

"Tapi kalau misalnya itu dilakukan secara disiplin, baik oleh perusahaan yang diawasi oleh pemerintah, itu harus dilakukan ketegasan dari pemerintah itu. Kesulitan buruh industri padat karya seperti itu," tuturnya.

Jadi memang butuh kerelaan untuk mengurangi buruh, mengurangi kerumunan dalam jumlah ribuan menjadi ratusan. Tapi bukan dalam konteks di-PHK. Tapi dibuat shift atau bekerjanya beda-beda hari. Dan tanpa pengurangan upah.

"Jadi usul kami tanpa pengurangan upah karena kami tidak setuju dengan pendapat pemerintah yang baru-baru ini menyampaikan akan merelaksasi upah demi menyerap tenaga kerja yang ter-PHK karena COVID-19," jelasnya.

Jumisih juga, mengatakan kebijakan yang diperlukan oleh buruh baik oleh pemerintah dan perusahaan adalah upah mereka tidak dikurangi.

"Kalau buruh itu upahnya sesuai dengan UMP. Kalau THR harus diberikan kepada buruh, kalau cuti harus diberikan. Terlepas ada kerja shift atau pengurangan jam kerja atau pengurangan hari kerja, atau bahkan dirumahkan. Buruh tetap berhak atas upah," tegasnya.

Menurut Jumisih, saat pemerintah mau melakukan pemulihan maka itu dulu yang harus diselesaikan. Dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan sangat lambat bekerja. "Saya minta itu diselesaikan oleh pemerintah secepat-cepatnya sebelum proses pemulihan, atau proses untuk situasi menjadi dipekerjakan kembali," ungkapnya. (G-2)

BACA JUGA: