JAKARTA - Tindakan Polda Metro Jaya menangkap 18 orang karena dinilai melanggar Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berdasarkan Pasal 93 UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan/atau Pasal 218 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mendapat kritikan dari masyarakat sipil. Penangkapan yang berlangsung pada 3 April 2020 tersebut dianggap tak berdasar.

Peneliti Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menjelaskan apa yang dilakukan kepolisian itu tak berdasar lantaran belum ada ketentuan pidana yang mengatur hal tersebut. "Hingga saat ini belum ada penetapan tentang PSBB sehingga tindakan polisi tersebut tidak berdasarkan hukum," kata Maidina kepada Gresnews.com, Senin (6/4).

Menurutnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Namun, aturan itu disebut tidak menetapkan Indonesia berlaku PSBB.

Ia mengatakan PP tersebut hanya menjelaskan tata cara untuk Menteri Kesehatan menetapkan PSBB, sesuai dengan amanat Pasal 60 UU Kekarantinaan Kesehatan, bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai PSBB diatur dengan PP.

Maidina menambahkan Kementerian Kesehatan pun telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan 9/2020 pada 3 April 2020. Namun peraturan itu bukan penetapan PSBB melainkan tentang pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona. Isinya disebut tidak lain hanya menjelaskan tentang koordinasi antara gubernur/bupati/walikota dengan menteri dalam upaya menetapkan PSBB.

"Pada 2 April 2020 diketahui dari pemberitaan bahwa Gubernur DKI Jakarta mengatakan telah mengirimkan surat pengajuan status PSBB ke Menteri Kesehatan. Namun hingga saat ini belum ditetapkan DKI Jakarta memberlakukan PSBB," katanya.

Menurut dia, ketentuan Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan yang diumbar polisi harus secara spesifik menjelaskan bahwa upaya kekarantinaan terdiri dari PSBB yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Setelah adanya ketetapan dari Menteri Kesehatan, barulah Pasal 93 tersebut bisa diberlakukan.

Ia menegaskan polisi tidak bisa melakukan penangkapan ataupun menakuti-nakuti dengan ancaman pidana yang tidak berdasar. Pasal 218 KUHP yang dipakai polisi juga tidak tepat diterapkan dalam kasus ini. Ia mengambil penjelasan dari penulis buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, R. Soesilo. Penggunaan Pasal 218 disebut hanya dapat diterapkan pada kerumunan yang mengacau (volksoploop) bukan orang berkerumun yang tenteram dan damai.

"Penggunaan ancaman pidana tanpa dasar hanya menyebarkan ketakutan di masyarakat," kata dia.

Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan sudah memulangkan 18 orang yang ditangkap karena dianggap tidak mematuhi PSBB. "Ancamannya kan cuma satu tahun (penjara), tapi enggak ditahan," kata Yusri di Jakarta, Sabtu, 4 April 2020.

Yusri mengatakan 11 orang ditangkap di Bendungan Hilir dan tujuh lainnya di Sabang, Jakarta Pusat, saat petugas melakukan patroli pada 3 April lalu sekitar pukul 23.00 WIB. Kegiatan tersebut melibatkan 179 personel dari TNI dan Polri di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat. Orang-orang yang ditangkap itu sempat digelandang petugas ke Ditreskrimum Polda Metro Jaya sebelum dilepaskan.

Kritik terhadap tindakan polisi itu disampaikan ICJR bersama organisasi masyarakat sipil lainnya. Terdiri dari ELSAM, YLBHI, PSHK, LBH Masyarakat, IJRS, Kios Ojo Keos, Koalisi Warga untuk LaporCOVID-19, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia. Lalu ada Yayasan Perlindungan Insani Indonesia (YPII), PUSKAPA, LBH PERS, ICEL, KontraS, PBHI, SGRC, Arus Pelangi, LeIP, Institut Perempuan, Rumah Cemara. 

(G-2)

BACA JUGA: