JAKARTA - Terdakwa korupsi proyek pengadaan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis High Speed Diesel (HSD), yang juga mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) 2011-2014, Nur Pamudji, tidak ditahan selama menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang pada Senin mendatang memasuki agenda putusan sela. Pada saat penyidikan di kejaksaan, Nur Pamudji juga tidak ditahan. Tidak ditahannya Nur Pamudji ini menimbulkan pertanyaan lantaran lazimnya terdakwa korupsi ditahan.

Ahli hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan mengatakan secara formal penahanan bukan suatu keharusan. Bahkan penahanan hanya bisa dibenarkan bila memenuhi syarat materiil yaitu adanya kekhawatiran melarikan diri, merusak bukti atau mengulangi perbuatan. Jadi secara formal tak ada yang salah dengan tidak ditahannya terdakwa.

"Namun dalam praktik, pada umumnya terdakwa tipikor (korupsi) dikenakan penahanan," kata Agustinus kepada Gresnews.com, Sabtu (19/10).

Bareskrim Polri menetapkan Nur Pamudji sebagai tersangka pada 15 Juli 2015, dan setelah menyidik selama empat tahun, kemudian menyerahkan perkara ke Kejaksaan pada 16 Juli 2019. Selanjutnya kejaksaan menyusun dakwaan dan menyerahkan perkara ke Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada 10 September 2019.

Berdasarkan Surat Dakwaan Nomor: PDS-09/M.1.14/Ft.1/07/2019 tertanggal 9 September 2019 yang diteken oleh jaksa Yanuar Utomo, sebagaimana diperoleh Gresnews.com, tercantum keterangan mengenai status penahanan peraih Bung Hatta Anti Corruption Award Tahun 2013 itu, sebagai berikut:

Penahanan oleh penyidik dilakukan di Rutan sejak tanggal 26 Juni 2019 sampai dengan 9 Juli 2019. Ditangguhkan penahanannya sejak tanggal 9 Juli 2019; Penuntut Umum, tidak dilakukan penahanan. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2011 mengaudit proses pelelangan BBM 2010 tersebut, kemudian pada September 2011 menerbitkan hasil audit Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu yang salah satu kesimpulannya adalah: "Proses pengadaan BBM HSD melalui pelelangan pada 2010 sudah sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa di PLN.”

BPK kembali mengaudit pada 2014 dan menemukan kekurangan pembayaran denda oleh PT TPPI dan segera ditindaklanjuti oleh PLN dengan menuntut PT TPPI lewat Pengadilan Arbitrase, yang dimenangkan oleh PLN.

Atas permintaan Bareskrim Polri, BPK melakukan Audit Investigasi pada 2018 dan menemukan lagi kekurangan pembayaran denda dari PT TPPI sebesar Rp69,8 miliar, serta menghitung selisih biaya pembelian BBM antara membeli ke Pertamina dengan membeli ke PT TPPI (karena PT TPPI berhenti memasok PLN sejak Mei 2012 sampai Januari 2015, sehingga PLN membeli dari Pertamina) sebesar Rp118,9 miliar. Jumlah kedua angka ini, Rp69,8 miliar + Rp118,9 miliar = Rp188,7 miliar dianggap kerugian negara. (G-2)

BACA JUGA: