JAKARTA - Jaksa menuntut mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji, terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan bahan bakar minyak (BBM) jenis high speed diesel (HSD), hukuman penjara selama delapan tahun dan denda Rp500 juta. Tuntutan itu dinilai oleh jaksa sesuai dengan perbuatan Nur Pamudji.

"Kalau denda Rp500 juta tidak bisa dilunasi maka diganti dengan kurungan satu tahun," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) Budi Marselius kepada Gresnews.com seusai persidangan, Senin (18/5/2020).

Menurut Budi, JPU berpendapat Nur Pamudji terbukti bersalah sebagaimana diatur dan diancam di dalam Pasal 3 jo Pasal 18 UU 31/1999 jo. UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan subsidair.

Barang bukti berupa uang sebesar Rp173 miliar dituntut untuk dirampas negara. Uang itu disita dari pihak PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) Tuban, Jawa Timur.

"Barang bukti sesuai terlampir terkait uang Rp173.369 702.672,85 yang disita dari TPPI dirampas untuk negara Cq PT PLN Persero dipergunakan untuk pemulihan kerugian keuangan negara," ucap JPU lainnya, Yanuar Utomo.

Sementara itu penasihat hukum Nur Pamudji, Julius I.D. Singara, mengatakan pada persidangan hari ini, JPU tidak membacakan semua isi surat tuntutan dan hanya pokoknya saja yang dibacakan.

"Mereka minta bacakan pokok-pokoknya saja," kata Julius kepada Gresnews.com.

Atas tuntutan jaksa tersebut, tim penasihat hukum Nur Pamudji akan menyampaikan pembelaan (pledoi) pada 8 Juni 2020.

Berdasarkan Surat Dakwaan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Nomor: PDS-09/M.1.14/Ft.1/07/2019 atas nama terdakwa Nur Pamudji, yang diperoleh Gresnews.com, dirinci bahwa kasus itu bermula pada 2010.

Saat itu PT PLN (Persero) melakukan pelelangan untuk pengadaan/pemasok BBM jenis High Speed Diesel (HSD) untuk operasional selama empat tahun (2011-2014) pada Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU), Lot I Muara Tawar, Lot II Tambak Lorok, Lot III Gresik dan Grati, Lot IV Belawan, Lot V Tanjung Priok dan Muara Karang.

“Honggo Wendratno sebagai Direktur Utama PT TPPI (Trans-Pacific Petrochemical Indotama) mengetahui rencana PT PLN (Persero) tersebut, lalu meminta kepada Soepomo sebagai Direktur Kekayaan Negara dan Lain-lain, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan dan juga sebagai Komisaris PT TPPI, untuk dikenalkan kepada Mudjo Suwarno sebagai Direktur PNBP, Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan yang mempunyai kewenangan untuk menentukan besarnya subsidi bahan bakar minyak kepada PT PLN (Persero) termasuk di dalamnya BBM jenis HSD, dengan maksud agar PT TPPI bisa menjadi rekanan PT PLN (Persero) untuk memasok BBM jenis HSD,” dikutip dari Surat Dakwaan.

Pada 1 April 2010, diadakan pertemuan di Kementerian Keuangan yang dipimpin oleh Mudjo Suwarno dan dihadiri oleh Soepomo, Nur Pamudji, dan Honggo Wendratno. Pada pokoknya Mudjo Suwarno berusaha mempertemukan PT PLN (Persero) dengan PT TPPI, dengan harapan ada produk PT TPPI (HSD) yang dapat dimanfaatkan oleh PT PLN (Persero) dengan harga lebih murah.

Padahal sesuai surat BP Migas 18 Maret 2010, PT TPPI ditunjuk sebagai penjual kondensat bagian negara harus menjual HSD kepada PT Pertamina (Persero), sehingga tidak dapat dijual kepada PT PLN (Persero).

Pada 31 Maret 2010 dibentuk Panitia Pengadaan. Ketua adalah Mochammad Suryadi Mardjoeki, Sekretaris adalah Yudha Pandu Dewanata dan Faisal Nirwan; anggota terdiri dari Cafrina Juhanna, A. Daryanto Ariyadi, Agus Rijanto, M. Arief Nugroho, Pramudiyono, Made Suardana, dan Agung Haryanto.

Nur Pamudji menerbitkan Nota Dinas, memerintahkan untuk menerapkan metode pascakualifikasi. Padahal, ada Keputusan Direksi PT PLN (Persero) 31 Maret 2009 yang mengatur prakualifikasi wajib dilaksanakan untuk pengadaan barang/jasa, kecuali pembelian langsung, penunjukan langsung untuk penyedia barang/jasa yang spesifik dan satu-satunya pemegang hak atas kekayaan intelektual, pekerjaan darurat (emergency), dan pelelangan pekerjaan tidak kompleks.

Nur Pamudji juga memerintahkan untuk diterapkan Right to Match (RTM). Artinya, dalam hal calon pemenang dengan harga penawaran paling rendah merupakan produsen luar negeri maka tidak langsung ditunjuk sebagai pemenang, tetapi produsen dalam negeri diberikan kesempatan untuk menyampaikan penawaran harga yang sama.

Namun, sampai batas waktu penyerahan dokumen penawaran, 14 Juni 2010, PT TPPI belum menyerahkan dokumen. Lalu Nur Pamudji memberikan perpanjangan hingga 21 Juni 2010. Honggo tidak mampu memenuhi dokumen penawaran itu.

Kemudian dalam waktu perpanjangan itu pada 18 Juni 2010 membentuk konsorsium dengan nama Tuban Konsorsium yang beranggotakan PT TPPI (sebagai Ketua Konsorsium), PT Tuban LPG Indonesia dan PT Tuban BBM.

Hasil pemeriksaan awal 30 November 2010 atas dokumen Tuban Konsorsium, ternyata belum ada jaminan pelaksanaan dan dukungan modal kerja dari bank, PT TPPI yang ditunjuk oleh BP Migas sebagai penjual kondensat bagian negara harus dijual ke PT Pertamina (Persero) sehingga HSD tidak dapat dijual ke PT PLN (Persero), dan ternyata Tuban Konsorsium hanya menyampaikan perjanjian antara PT TPPI dengan TOTSA dari Singapura yang berbentuk Head of Agreement (HoA) 23 November 2010, bukan dalam bentuk perjanjian.

Pada akhirnya, 8 Desember 2010, Nur Pamudji mengeluarkan Nota Dinas yang menyatakan Tuban Konsorsium sebagai pemenang pengadaan BBM untuk Lot II Tambak Lorok dan Lot IV Belawan.

Dua hari kemudian, Honggo dan Dirut PT PLN (Persero) Dahlan Iskan menandatangani Perjanjian Jual Beli Bahan Bakar Minyak (PJBBBM). Isinya, PJBBBM berlaku terhitung sejak 10 Desember 2010 selama empat tahun sejak tanggal mulai atau dipenuhinya volume HSD sebesar 800 ribu kiloliter untuk Lot II Tambak Lorok dan 1,2 juta kiloliter untuk Lot IV Belawan, mana yang lebih dulu terjadi.

Dalam pelaksanaannya, pasokan BBM jenis HSD ke PT PLN (Persero) oleh Tuban Konsorsium mengalami keterlambatan. Surat peringatan dikeluarkan pada April 2012. Pun, Tuban Konsorsium hanya mampu memasok selama satu tahun. (G-2)

BACA JUGA: