JAKARTA- Mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) yang tersangkut kasus dugaan korupsi pembelian harga bahan bakar minyak (BBM) high speed diesel (HSD) atau solar, Nur Pamudji, membacakan pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (15/6/2020).

Terdakwa itu menegaskan tidak ada suap menyuap maupun dana ilegal. "PLN juga tidak kehilangan uang satu sen pun," kata Nur Pamudji membacakan pledoi yang diikuti oleh Gresnews.com.

Menurutnya dirinya dituduh menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sesuai Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan disebut ada kerugian negara. Itu hanya berupa hasil dari berandai-andai.

"Tumpukan uang yang senilai Rp173 miliar, diberitakan dikesankan sebagai hasil korupsi. Ternyata tidak ada hubungannya dengan kasus BBM ini," tuturnya.

Nur Pamudji menegaskan bahwa pembelaan ini sengaja dibuat secara kuantitatif tanpa dalil hukum dengan seminimal mungkin detail angka. Agar gambaran besar dari kasus ini mudah dipahami semua orang walaupun tanpa latar belakang hukum.

Ia menjelaskan, pertama, jaksa penuntut umum dalam dokumen tuntutan halaman 401 sudah benar dalam menyatakan bahwa tujuan pengadaan BBM HSD 2010 di PLN adalah untuk mendapatkan penghematan biaya pembelian bahan bakar minyak HSD/solar. Yakni caranya dengan membeli sebagian dari kebutuhan BBM HSD PLN dengan harga yang lebih murah dari harga jual PT Pertamina (Persero).

"BBM HSD yang dibeli di Pertamina berdasarkan kontrak jangka panjang. Harganya ditetapkan MOPS+5% sampai dengan MOPS+9,5%. MOPS atau Mean of Platts Singapore adalah harga BBM di Singapura dan dijadikan acuan harga oleh pemerintah RI," terangnya.

Pembelian BBM HSD yang harganya lebih murah dari harga Pertamina tersebut dilakukan melalui proses pengadaan terbuka. Pertama kali diadakan oleh PLN tahun 2008 dan diulang kembali pada 2010.

Namun jaksa, kata Nur Pamudji, tidak mencantumkan fakta persidangan pembelian. Bahwa proses pengadaan BBM HSD PLN tahun 2010 tersebut sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan tersebut pada 2011. BPK menyatakan proses pembelian itu sudah dilakukan sesuai dengan tata cara dan peraturan yang berlaku di PLN.

Kedua, kontrak yang dibuat berdasarkan hasil pengadaan adalah kontrak payung. Artinya harganya sudah tertentu mengikuti MOPS. Namun volumenya berupa batas maksimum pemesanan per tahun dengan masa kontrak empat tahun.

"Berdasarkan kontrak payung tersebut PLN akan memesan BBM ke pemasok setiap bulan sesuai dengan kebutuhan pembangkit listrik. Dan pembayaran pesanan tersebut 30 hari sesudah BBM diterima dan ditagih," imbuhnya.

Kemudian, menurut Nur Pamudji, pada 2011 sampai tahun 2014 disuatu lokasi pembangkit ada dua pemasok BBM. Pemasok utama adalah Pertamina seperti sediakala sejak jaman dahulu yang memasok antara 75% sampai 80% dari kebutuhan pembangkit. Sisanya dipasok oleh pemasok kedua dan pemasok ketiga yang merupakan hasil pengadaan.

"Dengan adanya pasokan sebesar 20% sampai 25% dari kebutuhan disuatu lokasi yang harganya lebih murah dari harga Pertamina. Maka diperoleh penghematan biaya pembelian BBM," ungkapnya.

Lanjutnya, Pengadaan BBM HSD PLN 2010 ini juga diikuti oleh Pertamina. Dan harga yang ditawarkan Pertamina juga lebih rendah dari MOPS+5%.

Ketiga, harga pengadaan BBM HSD 2010 untuk tiga lokasi berikut harga dan perincian kebutuhan yang merupakan batas pemesanan maksimum per tahun.

Perlu diketahui ada dua harga terhadap pengajuan harga dari Pertamina di lokasi satu dan dua ini. Pertama harga Pertamina berdasarkan kontrak jangka panjang yang harganya mengikuti harga penetapan pemerintah yaitu MOPS+5% sampai dengan MOPS+9,5%.

"Kedua harga Pertamina dari hasil pengadaan BBM HSD 2010 di Muara Tawar, Gresik, Tanjung Priuk dan Muara Karang dengan harga terhadap Pertamina yang ditetapkan oleh pemerintah dalam kontrak panjang," jelasnya.

Kemudian, Nur Pamudji mengatakan untuk lokasi Muara Tawar selisihnya adalah MOPS+2,43%. Sedangkan untuk Tambak Lorok selisihnya adalah MOPS+2,27%. Untuk Gresik selisihnya adalah MOPS+2,27%. Untuk Belawan Medan selisihnya adalah MOPS+3,32%. Untuk lokasi Tanjung Priok dan Muara Karang selisihnya adalah MOPS+3,1%.

"Jadi selisih tadi kalau dikalikan dengan volume BBM ini hasilnya adalah penghematan yang diperoleh oleh PLN," tandasnya.

Sementara itu,Penasihat Hukum terdakwa Nur Pamudji, Julius A. Singara ditemui Gresnews.com usai sidang mengatakan bahwa sudah menyampaikan unsur-unsur yang dituduhkan dari Pasal 3 UU Tipikor tidak terpenuhi.

Pertama mengenai unsur setiap orang sendiri, sudah disampaikan bahwa Nur Pamudji bila seorang diri tidak mempunyai wewenang untuk menetapkan Tuban Konsorsium sebagai pemenang.

Karena itu semua melalui proses korporasi yaitu, melalui komite pengadaan, melalui Komite Energi Primer. Kemudian ada Direksi dan susunan jajaran Komisaris.

"Jadi kalau seorang diri pak Nur ya nggak mungkin,"kata Julius kepada Gresnews.com usai sidang, Senin, (15/6/2020).

Lanjut Julius, kemudian kedua, kalau melihat dari sisi pihak yang mengakibatkan kerugian, jelas jaksa sudah menyebutkan ada surat tuntutannya. Bahwa yang menghasilkan kerugian adalah pihak Tuban Konsorsium karena tidak bayar denda dan ganti rugi.

"Berarti jelas sekali bahwa siapa orang yang harus bertanggungjawab untuk kerugian ini adalah Tuban Konsorsium," tuturnya.

Mengenai penyalahgunaan wewenang kekuasaan, Nur Pamudji telah membantahnya. "Pak Nur (Pamudji) juga sudah membantah tadi, kita dengar juga bahwa saksinya sendiri Setya Ariyatna dari JPU juga mengaminin apa yang kita sampaikan," jelasnya.

Julius juga menerangkan mengenai right to match (RTM) contohnya. RTM tidak masalah jika tidak ada keputusan direksi, yang penting ada didokumen pengadaan.

"Keputusan Direksi itu tentang pedoman pengadaan barang dan jasa itu ngga mungkin mengatur sampai yang sekecil, itu nggak mungkin, ngga akan terjadi dimanapun," tuturnya.

Sambungnya, "Kemungkinan, kita juga menyampaikan bahwa semua proses penetapan Tuban Konsorsium sudah melalui persetujuan korporasi,"imbuhnya.

Mengenai kerugian negara, kata Julius, Jaksa sendiri mengatakan bahwa kata dapat artinya tidak harus dibuktikan bahwa kerugian ini nyata dan pasti tapi cukup berpotensi saja.

"Ini artinya jaksa sendiri ngga yakin bahwa dia punya perhitungan. Karena jelas putusan Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa kata dapat didalam Pasal 3 itu sudah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar," terangnya.

Julius mengatakan, mengapa Mahkamah Konstitusi (MK) mengatakan mencabut kata dapat karena sering kali digunakan untuk mengkriminalisasi kebijakan. "Kami juga membuktikan bahwa ternyata LHKPN 2018 itu ngga nyata dan pasti. Hitung-hitungan salah semua itu. Itu semua sudah mengetahui," tegasnya.

Ia juga memberikan data dari ahli audit Nur Pamudji dan buktinya bahwa PLN mendapat penghematan yang sangat besar bahkan hampir Rp 350 miliar.

"Dan mau itu Tuban Konsorsium, mau itu KSO Shell, mau itu KPN semua harganya dibawah MOPS+5% itu yang ditentukan oleh pemerintah dan DPR. Jadi sudah dianggarkan MOPS+5% karena semuanya dibawah itu,"cetusnya.

Menurutnya, kalau memakai logika jaksa, bahwa kerugian BUMN adalah kerugian negara. Berarti keuntungan BUMN adalah keuntungan negara. Bila perkataan itu benar sekalipun, PLN membeli BBM HSD dari Pertamina dengan harga yang mahal.

Pertamina adalah perusahaan milik negara dan Pertamina dapat keuntungan. "Katakan pun benar, kita beli dari pertamina kemahalan. Pertamina punya siapa, punya negara kan. Apakah Pertamina diuntungkan, ya jelas diuntungkan dong," terangnya.

Kemudian yang kedua PT TPPI, adalah perusahaan yang dimiliki pemerintah dimana rekening keuangannya dikendalikan oleh pemerintah melalui BP Migas dan semua digunakan untuk transaksi pembayaran kepada pemerintah.

"Karena itu kerugian negara dimana? Itu saja yang kita sampaikan. Ternyata jaksa juga akan menyampaikan replik," pungkasnya. (G-2)

BACA JUGA: