JAKARTA, GRESNEWS.COM - Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPPKI) Marius Widjajarta mengatakan pihak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah salah mengambil tindakan  terkait penanganan kasus meninggalnya dua pasien RS Siloam, Tangerang. "BPOM salah mengambil langkah soal pelanggaran Kalbe (Farma). Seharusnya yang dibekukan bukan izin edar tetapi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)," kata Marius saat dihubungi Gresnews.com, Senin (23/3).

Menurut Marius, semestinya pemberlakuan sanksi yang tepat dilakukan BPOM kepada Kalbe yaitu mencabut semua produk ampul dan injeksi milik Kalbe. Marius mengatakan, tindakan BPOM yang sedang diambil saat ini tidak jelas dan belum mengatasi persoalan.

"Misalnya, jika suatu produk obat dari pabrik atau distributor dijual ilegal di sembarang tempat maka izin edarnya dicabut. Kasus ini kan kesalahannya di label jadi CPOB yang harus dicabut," ujar Marius.

Terkait hal itu, Marius mendesak BPOM mencabut seluruh produksi injeksi dan ampul milik Kalbe. Marius menyatakan sudah bertemu pihak BPOM dan telah mengajukan keberatan sekaligus meminta kepastian soal sistem CPOB Kalbe.

Marius menilai, lamanya penanganan kasus ini disebabkan oleh koordinasi dan pertimbangan yang panjang antara BPOM dan Kemenkes terkait pencabutan izin produk Kalbe. Menurut Marius, semestinya tarik ulur tersebut tidak perlu terjadi karena otoritas atau kewenangan soal pencabutan dan pemberian izin obat masuk domain BPOM.

"BPOM itu badan independen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen. Jadi. BPOM tidak perlu menunggu Kemenkes untuk mencabut izin produk obat," ujar Marius.

Sebelumnya, Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengaku kecewa atas kesalahan fatal yang dilakukan Kalbe. Tulus mengklaim, seharusnya tindakan yang tepat untuk menindaklanjuti kasus ini adalah sanksi pidana.

"Tindaklanjut kasus pelanggaran Kalbe sepatutnya masuk sanksi pidana karena menyebabkan pasien kehilangan nyawa," tegas Tulus.

Tulus menyebut, sanksi tersebut layak diberikan karena ketentuannya dimuat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa ada kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian hak-hak konsumen.  

"Pasien atau konsumen berhak memperoleh kenyamanan, keamanan, dan keselamatan karena hal itu merupakan amanat UU," ujar Tulus.

BACA JUGA: