JAKARTA, GRESNEWS.COM - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta agar kasus penggunaan obat bius (anestesi) yang tertukar di Rumah Sakit Siloam Karawaci, Tangerang, beberapa waktu lalu, dilanjutkan ke ranah pidana. Pihak PT Kalbe Farma (Persero) Tbk (KLBF) sebagai produsen obat dan Siloam International Hospital Tbk (SILO) sebagai pengelola rumah sakit diduga keras melakukan kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa orang.

Kecelakaan medik yang berakibat pada kematian ternyata memiliki angka yang lebih besar dua kali lipat dibandingkan dengan kecelakaan lalu lintas. Dalam kasus Siloam, perlu ada pemberian sanksi jera kepada pihak yang bersalah sehingga tak menjadi contoh kecelakaan medik yang berulang. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dianggap turut andil dan bertanggung jawab atas kasus tersebut.

"Kemenkes lamban merespons, kerjanya pun tidak transparan, BPOM pun begitu," kata Ketua Badan Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dalam diskusi bertajuk "Mau Sehat Kok Repot" di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (21/3).

Tulus berpendapat, sanksi dari BPOM terhadap Kalbe Farma berupa pencabutan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) hanya berdampak pada izin edar yang tak lagi bisa digunakan sehingga Kalbe Farma tak dapat memproduksi jenis obat dimaksud sampai izin diperbaiki. "Padahal, dalam hal ini, Kalbe Farma terbukti tak mendapatkan kontrol rutin dari BPOM," kata Tulus,

Patut diketahui, sertifikat CPOB adalah dokumen sah yang merupakan bukti bahwa industri farmasi telah memenuhi persyaratan CPOB dalam membuat satu jenis bentuk sediaan obat.

Tulus menegaskan Kalbe Farma diketahui terlambat meregistrasi ulang CPOB yang sudah tak berlaku. Karena itu, lanjutnya, tidak cukup pemberian sanksi pada Kalbe Farma hanya dengan membekukan sertifikat CPOB saja. "Namun juga harus digiring ke dalam ranah pidana. Dalam UU Konsumen, terdapat pidana korporasi dimana Kalbe Farma terkena tanggung jawab renteng karena sistemik," ujarnya.

Tulus pun meminta DPR mendorong kasus Kalbe Farma dan RS Siloam ini ke ranah pidana.

Anggota Komisi IX DPR yang juga Ketua Tim Investigasi Kasus RS Siloam, Irma Suryani, menyatakan setuju bila kasus tersebut dibawa ke ranah pidana. Bahkan, kata dia, tak hanya Kalbe Farma yang dinilai bersalah. Hasil investigasi DPR menemukan fakta dokter RS. Siloam pun turut bersalah. "Dalam penanganan terdapat tiga tahap, sign in, time out, dan sign out. Mereka melakukan kesalahan pada tahap sign in," kata Irma pada kesempatan yang sama.

Menurut Irma, saat melakukan tindakan, dokter tak mengecek kecocokan identitas pasien dan pemilihan obat anestesi. Seharusnya, dokter dapat menganalisis kesalahan obat dari identifikasi ampul, cairan, dan sejenisnya. "Dapat dikatakan terdapat human error dalam standar pelayanan medik di RS Siloam," tegasnya.

Dari sisi Kalbe Farma ditemukan kesalahan produksi dua obat berbeda di tempat yang sama pada hari yang sama pula. Hal tersebut memang memperbesar peluang tertukarnya obat. Belum lagi ditambah dengan cara pelabelan yang manual sehingga memperbesar kemungkinan human error.

"CPOB di Kalbe tak dijalankan dengan baik, kesalahan Kalbe fatal tapi Siloam juga andil," katanya.

Walaupun ia mendengar pihak RS Siloam telah datang ke rumah keluarga korban untuk berkomunikasi, namun baik terhadap Kalbe Farma maupun Siloam harus tetap ada suatu klaim agar dapat diproses secara pidana. "Agar tak terjadi kejadian yang sama di hari depan," ujarnya.

Namun, kesalahan yang diklaim DPR terjadi pada Dokter Siloam dibantah oleh Marius Widjajarta, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia. Dokter, menurutnya, tak bisa mengecek kandungan obat dan biasa hanya melihat label obat saja. "Yang salah itu Kalbe Farma karena hampir semua produk injeksinya menyalahi penandaan," katanya.

Merek dagang produk Kalbe Farma diketahui tak tertulis, jelas hal ini telah melanggar aturan merek dagang dan registrasi. Pada pekan depan BPOM akan membekukan izin ampul Kalbe Farma.

Sebelumnya, pada 12 Februari 2015, Kalbe Farma telah menarik dua produk obat, yaitu seluruh batch Buvanest Spina 0.5 persen Heavy 4 ml dan Asam Tranexamat Generik 500 mg/Amp Sml batch no. 629668 dan
630025. Kedua obat inilah yang bermasalah di RS Siloam dan menyebabkan dua pasien meninggal. Namun, Marius ternyata mengaku masih bisa membeli obat tersebut saat ini di wilayah Jakarta.

Kalbe Farma telah mengklarifikasi berbagai tudingan ini. (Lihat link berikut ini: Penjelasan Kalbe Farma)

BACA JUGA: