JAKARTA, GRESNEWS.COM - Panitia Kerja (Panja) Anestesi yang dibentuk Komisi IX DPR terkait kasus salah obat di Rumah Sakit Siloam, Karawaci, Tangerang akan menindaklanjuti laporan investigasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM). Mereka akan menekankan usulan pemberian sanksi pada pihak-pihak yang mungkin dianggap bertanggung jawab.

Komisi IX DPR sebelumnya telah menerima surat laporan investigasi dari Kemenkes tertanggal 4 Maret 2015 serta laporan investigasi BPOM tanggal 25 Februari 2015. Laporan investigasi tersebut yang akan dijadikan referensi pembentukan Panja Anestesi ini.

"Sejauh ini kita belum tahu apa sanksinya, untuk itu harus disinergikan dengan panja," kata Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf kepada Gresnews.com di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin (30/3).

Ia menyatakan selama ini tindakan penarikan obat anestesi tersebut sudah maksimal dilakukan oleh BPOM. Namun, penelusuran kasus ini memang sedikit terkendala dengan adanya reses DPR pada satu bulan lalu.

"BPOM sudah cukup tanggap, walau terkendala reses, tak ada kata terlambat menyelidiki," katanya.

Kejadian yang sama diharapkan tak terulang lagi di pabrik obat ataupun rumah sakit lain. Kemenkes pun dapat membantu dengan mengeluarkan peraturan menteri kesehatan untuk menyelaraskan Standar Operasional Produk (SOP) pada pabrik farmasi.

Sejauh ini, Kemenkes telah memberikan teguran tertulis kepada direksi RS Siloam. Pada tanggal 2 Maret, BPOM juga telah membatalkan izin edar obat Buvanest Spinal 0,5 heavy injeksi melalui SK BPOM. PT Kalbe Farma diminta untuk memusnahkan semua persediaan obat Buvanest Spinal 0,5 yang ada dalam penguasaannya.

Panja Anestesi ini akan menelusuri penyebab melencengnya daftar distribusi obat bius tersebut. Sebab, puluhan tahun distribusi berselang, tidak ada kesalahan medis yang terjadi. Namun tiba-tiba terdapat empat batch obat anestesi yang tertukar.

"Ini harus ditelusuri kesalahan teknis atau human error?" katanya.

Ia menuturkan belum ada hasil mendalam dari inspeksi ke RS Siloam beberapa waktu lalu. Inspeksi tersebut hanya tampak  secara kasat mata saja sedangkan kesimpulan panja haruslah melihat aspek stakeholder lain. Baru setelahnya dapat dirumuskan laporan kasus tersebut.

Menanggapi isu kelalaian BPOM dalam pengawasan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) Kalbe Farma menyatakan telah berusaha semaksimal mungkin. Apalagi setelah adanya kasus, BPOM langsung menarik seluruh obat anestesi yang beredar di pasaran.

"Jika masih ada yang menemukan obat ini beredar di pasaran maka tolong laporkan pada kami," ujar Kepala BPOM Roy A Saparingga kepada Gresnews.com, Senin (30/1).

Ia menyatakan selama ini laporan masih beredarnya obat anestesi produksi Kalbe Farma hanya berdasarkan isu dari satu mulut ke mulut lain. Bukan berdasar laporan yang benar-benar serius ditujukan kepada BPOM.

"Apabila benar ditemukan obat tersebut masih beredar maka apotik yang menjual akan kami tindak," katanya.

Sejauh ini, BPOM menyatalan telah menarik peredaran obat anestesi produksi PT Kalbe Farma dari seluruh Indonesia. Terhitung sudah satu bulan lamanya langkah ini dilakukan.

Kasus obat anestesi yang tertukar di RS Siloam beberapa waktu lalu juga ditekankan untuk masuk ke dalam ranah pidana. Pasalnya baik PT Kalbe sebagai produsen obat ditengarai telah melakukan kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa.

Seperti diketahui, PT Kalbe Farma mendapat sanksi administratif terkait kasus meninggalnya dua pasien. Sementara, RS Siloam Karawaci, Tangerang, mendapat sanksi teguran terkait kasus meninggalnya dua pasien. Teguran itu diberikan lantaran pihak rumah sakit tidak langsung melaporkan kejadian tersebut pada Kemenkes ataupun Dinas Kesehatan setempat.

BACA JUGA: