JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia menyesalkan tuntutan ringan yang dibebakan jaksa kepada kapal berbendera Panama MV Hai Fa yang ditangkap saat melakukan aksi pencurian ikan di perairan Indonesia, tepatnya di Merauke, Papua, tahun lalu. Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan di Pengadilan Negeri Ambon malah "hanya" dituntut hukuman denda Rp200 juta, subsider penjara 6 bulan kepada nakhoda.

"Hal ini terjadi justru di tengah Indonesia gencar melakukan penegakan hukum di laut, termasuk dengan menggelamkan kapal-kapal ikan asing," kata Ketua Umum KNTI Riza Damanik dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Senin (23/3).

KNTI menilai upaya penegakan hukum terhadap kapal MV Hai Fa dapat dilakukan secara berlapis. Indikasinya, kapal itu tidak menyalakan vessel monitoring system (sistem pengawasan kapal), tidak memiliki Surat Layak Operasi (SLO), serta melanggar UU Konservasi Sumber Daya Hayati dengan menangkap ikan Hiu Martil dan Hiu Koboi. "KNTI juga menyayangkan diabaikannya fakta lain bahwa kapal ini mempekerjakan tenaga kerja asing," ujar Riza.

Padahal sangat jelas Pasal 29 Ayat (1) UU Perikanan yang hanya membolehkan warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia dalam melakukan usaha perikanan di wilayah Indonesia. Kapal yang diperbolehkan hanya dengan menggunakan kapal yang berbendera Indonesia di zona perairan territorial dan kepulauan. Termasuk pelanggaran penggunaan nakhoda dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia sebagaimana ditegaskan Pasal 35 Ayat (1) UU Perikanan.

KNTI menilai seharusnya penuntut umum mendasarkan tuntutan bahwa kejahatan pencurian ikan adalah suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime). "IUU Fishing berdampak luas tidak terbatas pada devisa negara dan sumber daya alam tetapi juga hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang akan merugi akibat dari IUU Fishing," tegas Riza.
 
KNTI berpandangan tidak cukup melakukan penuntutan kepada nakhoda kapal MV Hai Fa asal China yang bernama Zhu Nian Lee. Tetapi perlu diperluas dengan mengidentifikasi potensi penuntutan kepada perusahaan di belakang layar yang diduga terlibat dalam aktivitas usaha MV Hai Fa di perairan Indonesia.

KNTI menilai lemahnya penegakan hukum terhadap MV Hai Fa akan berdampak tersanderanya proses penegakan hukum terhadap kapal ikan asing yang mencuri di perairan Indonesia di kemudian hari. "KNTI berharap pada akhirnya Hakim dapat mengambil keputusan yang adil dan memberikan efek jera, termasuk dengan menyita kapal MV Hai Fa," ujar Riza.

Wakil Ketua Tim Satgas Anti Mafia Illegal Fishing Yunus Husen juga menyayangkan tuntutan yang terhitung ringan itu. Yunus menilai, aksi yang dilakukan kapal tersebut adalah tindak pidana illegal fishing yang seharusnya ditenggelamkan. "Menurut saya SPB (Surat Persetujuan Berlayar) yang terbit duluan itu kan seharusnya tidak dapat sebelum SLO diterbitkan dari PSDKP (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan). Seharusnya Hai Fa nggak bisa berlayar," kata Yunus Husen, Jumat (20/3) kemarin.

Pada prinsip penerbitan izin, seharusnya SPB diterbitkan syahbandar pelabuhan, setelah SLO lebih dahulu diterbitkan oleh PSDKP KKP. Kapal MV Hai Fa tidak memiliki SLO, tetapi justru memiliki SPB.

"Sebenarnya dulu terjadi seperti itu. SPB itu kewenangan (Kementerian) Perhubungan ya, dia tidak bisa diterbitkan sebelum ada SLO. Kan sudah disepakati di tingkat pusat mereka akan keluarkan SPB setelah SLO," paparnya.

Dia juga tidak bisa menerima argumen jaksa yang menyebut peranti VMS kapal itu mengalami kerusakan dan bukannya sengaja dimatikan. Yunus memastikan, MV Hai Fa mematikan VMS saat ditangkap di Pelabuhan Wanam, Kabupaten Merauke, Sabtu (27/12/2014) lalu. "VMS mati, itu yang dilihat," tegasnya.

Pelanggaran berikutnya adalah, kapal MV Hai Fa terbukti mengangkut ikan hiu martil yang rencananya akan diekspor ke China. Hal itu bertentangan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun 2014. tentang larangan sementara pengeluaran ikan hiu koboi dan hiu martil ke luar wilayah Indonesia. "Kemudian ada hiu martil juga," sebutnya.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut kapal berbobot 4.306 Gross Ton (GT) tersebut dengan hukuman denda Rp 200 juta. Kapal tersebut merupakan kapal maling ikan terbesar dalam sejarah yang pernah ditangkap. Awalnya kapal ini digadang-gadang akan ditenggelamkan. Namun pengadilan di Ambon hanya memberikan denda Rp 200 juta kepada nakhoda, atau subsider 6 bulan penjara. "Masih optimistis dan belum menyerah. Selama masih ada Tuhan harus optimistis," kata Yunus.

Bagi Yunus, hasil sidang hari ini bukanlah putusan final atau akhir perjuangan Tim Satgas dalam memberantas pencurian ikan. Pihaknya akan berkoordinasi dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar perkara ini bisa banding. "Belum selesai, dan kita belum boleh kecewa, baru tuntutan awal ya. Kita kawal sama-sama agar lebih transparan dan hati-hati. Kalau nggak puas ada tindakan hukum lagi, bisa banding kasasi yang memang tidak ada batasannya yang ketat seperti tingkat pertama," paparnya.

Yunus menegaskan, pihaknya tidak akan menyerah. Ia yakin, kapal MV Hai Fa benar-benar bersalah dan layak untuk ditenggelamkan, agar menimbulkan efek jera bagi si pelaku. (dtc)

BACA JUGA: