JAKARTA, GRESNEWS.COM - Skema pengembangan perkebunan kelapa sawit yang dibentuk pemerintah seharusnya memang memberikan keuntungan bagi petani. Namun yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Skema pengembangan perkebunan kelapa sawit yang diawali dengan pengembangan perkebunan rakyat (PR) justru membuat petanisengsara.

Dalam perjalanannya kemudian skema yang dibentuk lewat model Perkebunan Inti Rakyat (PIR) revitalisasi ternyata malah lebih merugikan petani. Demikian pula dengan skema pembiayaan Koperasi Kredit Anggota (KPPA).

Menurut Kepala Greenpeace Longgena Ginting, pola KKPA dan PIR revitalisasi sangat tidak konsisten. Seharusnya petani mendapatkan lahan dengan luas rata-rata 2 hektare sesuai pengembangan PIR di awal tahun 1980. Akan tetapi, kenyataannya banyak petani yang memperoleh kurang dari itu. Hal ini membuat petani plasma dalam pola KKPA dan PIR revitalisasi melakukan perluasan lahan dengan membangun kebun-kebun mandiri.

Di samping itu, penggunaan pola KKPA dan revitalisasi memunculkan ketidakjelasan pembagian hasil dalam pola tersebut. Belum lagi konflik sosial yang terjadi dalam kemitraan dengan perusahaan perkebunan. Akhirnya banyak petani plasma yang membuka kebun-kebun baru dari lahan kosong yang tersedia untuk menambah penghasilannya dari kebun plasma yang minus.

"Skema ini (PIR revitalisasi) skema terburuk sepanjang sejarah skema kemitraan di Indonesia. Skema ini melahirkan konflik beragam. Dari pengelolaan kebun tak transparan, luasan kebun petani yang kurang, sampai pendapatan yang sangat kecil," tukas Longgena kepada Gresnews.com di Jakarta, Senin (10/11).

Longgena kemudian membeberkan beberapa kecurangan yang ditemukan pada sejumlah kerjasama plasma beberapa perusahaan besar swasta (PBS) perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat per individu maupun koperasi di sejumlah daerah. Soal lahan misalnya, banyak terjadi kasus dimana lahan kebun plasma ternyata adalah lahan yang berasal dari tanah warga sendiri.

Padahal seharusnya, lahan diambil dari areal konsesi perkebunan inti yang disisihkan sejumlah tertentu untuk menjadi lahan plasma kemitraan. "Perkebunan inti juga tidak transparan dalam menentukan harga dan tonase TBS (tandan buah segar) yang diserahkan kepada pabrik dari perkebunan inti," ujarnya.

Dengan demikian, Longgena menambahkan, keadaan petani plasma dalam skema kemitraan ini dalam posisi tersulit. Untuk menambah penghasilan, petani rela menjadi buruh perkebunan. "Keadaan ini seharusnya menjadi landasan perbaikan kebijakan ke depan dan membangun skema alternatif lain yang menguntungkan petani," kata Longgena.

Longgena berharap, pemerintah yang baru mau membuka mata mereka terhadap kondisi petani plasma yang mengenaskan ini. Dia juga berharap pola kemitraan yang timpang ini diakhiri. 

BACA JUGA: