JAKARTA, GRESNEWS.COM - Emas hijau! Begitulah selama ini julukan mentereng yang disematkan pada komoditas kelapa sawit di Indonesia. Ada alasan mendasar mengapa sawit memang layak disetarakan dengan logam mulia itu. Data menyebutkan, dari seluruh nilai devisa negara yang dihasilkan dari sektor perkebunan yang mencapai Rp382 triliun, sejumlah 53,56% alias lebih dari setengahnya dihasilkan dari perkebunan sawit.

Kepala Greeenpeace Indonesia Longgena Ginting mengatakan devisa in tidak hanya diperoleh perkebunan besar dan negara melainkan juga dari perkebunan rakyat. Sayangnya, nilai emas sawit juga membawa konsekuensi yang buruk bagi Indonesia. Nikmatnya bisnis emas "hijau" ini justru membuat Indonesia tak lagi menghijau akibat banyaknya lahan hutan alam, gambut bahkan sampai kawasan taman nasional yang tergerus oleh ekspansi sawit.

Bayangkan saja, pada tahun 1980, luas lahan perkebunan sawit hanya mencapai seluas 290 ribu hektare. Dalam kurun waktu hanya 27 tahun, tepatnya di tahun 2007, luasan lahan sawit tumbuh secara luar biasa mencapai 6,32 juta hektare. Perkebunan sawit khususnya perkebunan skala besar, tercatat juga menjadi salah satu penyumbang terbesar laju kerusakan hutan yang mencapai rata-rata 1,2 juta hektare per tahun antara tahun 1990-2010.

Perkebunan sawit juga ikut bertanggung jawab akan terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang telah menjadi bencana tahunan.

Perkebunan sawit juga menjadi salah satu penyumbang utama percepatan punahnya satwa-satwa langka dan dilindungi seperti orangutan, harimau, dan gajah. Alhasil, meski menyumbang lebih dari 50 persen devisa sektor perkebunan, kerugian yang ditimbulkan akibat ekspansi perkebunan sawit yang tak terkendali juga sangat besar. tercatat kerugian negara akibat kerusakan hutan mencapai Rp180 triliun per tahunnya.

Kaitan Perkebunan Sawit dan Kerusakan Hutan



Ekspansi tanpa kendali ini juga menjadi arus balik yang mulai mematikan bagi keberlangsungan bisnis sawit itu sendiri. relasi sawit dengan kerusakan hutan dan hilangnya satwa-satwa langka yang dilindungi membuat produk sawit dan turunannya kehilangan pamor di pasaran internasional. Data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyebutkan, nilai ekspor CPO dan turunannya di tahun 2013 hanya mencapai senilai US$19,113.  Angka itu turun 10 persen dari tahun sebelumnya dimana pada tahun 2012 nilai ekspor CPO dan turunannya mencapai sebesar US$21,299 miliar.


Penurunan nilai ekspor ini terjadi akibat tekanan harga dan perlambatan permintaan global yang juga dipengaruhi sentimen negatif pasar atas citra produk sawit. Kini, kata Longgena Ginting, industri minyak sawit global memang sedang bertransformasi. "Untuk dapat bertahan di era global, petani kecil maupun mandiri mesti berinovasi agar kegiatan ekonomi dan pertumbuhan produksi lebih baik," ujarnya di sela-sela acara Workshop Roadmap Pekebun Sawit Mandiri Berkelanjutan di Jakarta, Senin (10/11).

Perkebunan sawit skala besar dengan efek perusakan lingkungan yang dahsyat sudah semestinya ditinggalkan dan beralih ke pola perkebunan mandiri yang dikelola petani kecil yang lebih berkelanjutan. Dengan kata lain, kata Longgena, petani mandiri dapat berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi negara asalkan ada kemitraan dan keberpihakan, terutama dari pemerintahan yang baru.

Menurutnya meski masih banyak masalah perkebunan di Indonesia, seperti masalah legalitas, agronomi, infrastruktur, dan lainnya. "Apabila lahan dapat dikelola dengan baik, produktivitas petani mandiri bisa lebih besar sehingga petani-petani mandiri tersebut tak perlu membuka lahan gambut," ujar Longgena.

Untuk itulah, Greenpeace bersama Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) dan pemangku kepentingan lainnya kini menyiapkan sebuah "Peta Jalan Pekebun Kelapa Sawit Mandiri yang Berkelanjutan". Peta jalan itu mencakup peningkatan produksi, pemetaan prioritas langkah-langkah dalam pengembangan inovasi pertanian, pengembangan pupuk organik, dan mengurangi ketergantungan pada petisida kimia.

Fokus berikutnya adalah penghormatan terhadap para pekerja dan pekebun kelapa sawit mandiri melalui pelatihan teknis, pemupukan, penyemprotan dan metode pemanenan sehingga pekerja dapat lebih efektif, efisien, serta tepat guna dalam meningkatkan produktivitas. Ketiga adalah aspek Legal dalam kepemilikan lahan.

Keempat, pendekatan FPIC (Free and Prior Informed Consent) terkait penggunaan lahan oleh pihak lain. Kelima, komitmen tidak membuka lahan pada kawasan hutan dan gambut, sesuai dengan definisi Nilai Karbon Tinggi (High Carbon Stock) dan Nilai Konservasi Tinggi (High Conservation Value).

Achmad Saleh Suhada, Koordinator Solusi untuk Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, mengungkapkan strategi ini dapat meningkatkan produksi tandan buah segar (TBS) Pekebun Kelapa Sawit Mandiri menjadi hingga 36 juta ton/ha/ tahun melalui efisiensi lahan tanpa ekspansi agresif. Dengan demikian target peningkatan produktifitas dan pengembangan ekonomi dan penyelamatan lingkungan dapat berjalan seiring.

"Saat ini industri minyak sawit global sedang bertransformasi, termasuk juga pekebun mandiri skala kecil sebagai poros potensial untuk mendorong industri sawit yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. Dengan demikian Pekebun kelapa sawit mandiri dapat menjadi pemangku kepentingan yang utama dalam konteks sosial, ekonomi, dan lingkungan," ujarnya.


Para petani sawit sendiri, dalam kesempatan itu mengaku siap berkomitmen mengembangkan bisnis sawit berkelanjutan. Koordinator Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto Alsyhanu mengungkapkan, pekebun mandiri memiliki komitmen besar dalam menyelamatkan hutan dan gambut Indonesia.

Ia berharap komitmen tersebut dapat mewujudkan target nol deforestasi untuk pekebun mandiri dengan meningkatkan nilai produktivitas, kapasitas, serta memperkuat kelembagaannya. "Pada kepentingan lainnya, strategi bersama peta jalan pekebun kelapa sawit yang berkelanjutan juga diharapkan dapat meraih respon positif dari pasar," terang Darto.

Ke depannya, ia berharap pemerintah menerbitkan kebijakan yang memihak pada petani mandiri. "Hal ini semata-mata agar petani mandiri tak hanya berdikari tapi juga punya basis hukum yang jelas," kata Darto menambahkan.

Darto juga menyampaikan beberapa permintaan petani mandiri terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Pemerintah diminta segera menyusun regulasi untuk petani mandiri. Pemerintah juga hendaknya merevisi perundang-undangan terkait perkebunan. Selanjutnya, pemerintah diharapkan merevitalisasi kelembagaan petani dan koperasi.

"Terakhir, haruslah ada upaya dari pemerintah secara menyeluruh untuk meningkatkan produktivitas dan mencegah ekspansi sawit, baik pemain besar, perusahaan milik negara, maupun petani mandiri," ujarnya.

Untuk diketahui, pada 2013 lahan pekebun skala kecil mencapai 5,8 juta ha, mencakup 4 juta ha kebun mandiri dan 1,8 juta kebun plasma, dengan luas rerata 2 ha per rumah tangga. Sementara produksi CPO oleh Pekebun Kelapa Sawit skala kecil sepanjang 2012 mencapai 8,78 juta ton atau mencapai 33,13% dari total produksi CPO nasional sebesar 26,5 juta ton pada tahun yang sama.

Terkait permintaan tersebut, Staf Ahli Menteri Bidang Keamanan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Basuki Karya Admaja menyatakan pemerintah ke depannya akan lebih selektif dalam rangka pelepasan kawasan hutan dalam upaya perkebunan. Ia menambahkan, upaya tersebut tercermin pada rencana alokasi kegiatan kehutanan dalam skema pembangunan skala lecil dalam bentuk hutan rakyat yang disusun pemerintah.

"Kami (pemerintah) akan mengedepankan kepentingan-kepentingan pengusaha skala kecil. Untuk investor perkebunan yang menggunakan kawasan hutan akan diterapkan zero burning policy terkait pembakaran lahan. Juga diwajibkan pada pengusaha perkebunan untuk memelihara area konservasi," tegasnya.

Menurutnya, pemerintah akan berkomitmen untuk terus melanjutkan moratorium penggunaan lahan gambut dan pembukaan kawasan hutan agar target pembangunan 7% dapat tercapai.

Terakhir, ia menghimbau agar pabrik pengusaha sawit tidak membeli sawit yang tandannya dari hutan konservasi. "Pendekatan soft power dalam penyelesaian perambahan hutan lebih efektif," pungkasnya.

BACA JUGA: