JAKARTA, GRESNEWS.COM - Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) menilai Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan) masih jauh dari harapan. Ketua Komite Pertimbangan Organisasi IHCS Gunawan mengatakan, beleid yang disahkan secara terburu-buru menjelang akhir masa bakti anggota DPR 2009-2014 itu, belum dapat memperbaiki sistem perkebunan terkait perlindungan petani kecil, mengatasi konflik agraraia dan tidak mampu menjawab tantangan kerusakan lingkungan.

Gunawan menilai, sejumlah pasal di undang-undang masih bermasalah. Diantaranya terkait Pasal 12 dan 13. Pasal ini dinilai berpotensi melanggar hak masyarakat adat karena mewajibkan musyawarah dengan masyarakat adat pemegang hak ulayat yang tanahnya akan dipergunakan untuk usaha perkebunan harus sesuai dengan peraturan perundangan.

Dalam pasal tersebut juga disebutkan, apa yang disebut dengan masyarakat adat juga harus melalui penetapan lewat peraturan perundangan. "Pengakuan terhadap masyarakat adat seharusnya berupa penghormatan terhadap hukum adat yang telah mengatur bagaimana musyawarah harus dilakukan," kata Gunawan kepada Gresnews.com, Selasa (17/2).

Menurutnya, ada perbedaan konsep antara penetapan dan pengakuan. Negara memiliki kewajiban untuk memberikan pengakuan dalam bentuk penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat. UUD 1945 memandatkan, pengaturan masyarakat adat lewat undang-undang, sementara undang-undang masyarakat adat masih berupa rancangan undang-undang (RUU).

"Ironisnya RUU kini tidak masuk prioritas prolegnas 2015," tegasnya.

Kemudian Pasal 27, Pasal 29, dan Pasal 30 UU Perkebunan juga berpotensi melanggar hak petani pemulia benih karena mewajibkan izin dalam pencarian sumberdaya genetik dan pengembangan benih. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara pengujian Undang-Undang Sistem Budidaya Tanaman telah menyatakan pengaturan seperti tersebut tidak boleh diperlakukan untuk pertanian keluarga skala kecil.

Selanjutnya Pasal 55 UU Perkebunan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak jelas siapa yang tidak sah mengerjakan lahan perkebunan. Gunawan berpendapat, siapa tidak sah harus dilihat konteks sejarahnya.

Di dalam UU Perkebunan sanksi diberikan kepada perusahaan yang tidak punya izin, tapi tidak bagi yang tidak punya Hak Guna Usaha (HGU). "Padahal izin bukanlah hak atas tanah," ujarnya.

Selanjutnya, UU Perkebunan mengatur masa penyesuaian 1 tahun untuk perusahaan penanaman dalam negeri dan hingga HGU berakhir untuk penanaman modal asing. "Pertanyaannya jika terjadi sengketa tanah siapa yang tidak sah," tuturnya.

Selain  IHCS, lembaga swadaya masyarakat lainnya yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Mencari Keadilan Dari UU Perkebunan juga mengkritisi beleid tersebut dari berbagai sisi. Dalam konteks perlindungan petani/masyarakat disekitar perkebunan dan pengrusakan lingkungan, UU Perkebunan dinilai memiliki beberapa kelemahan dan harus dicermati karena akan memberikan dampak terhadap pengaturan sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit.

Koalisi Masyarakat Sipil melalui serangkaian diskusi pun telah menghasilkan suatu Kertas Posisi terhadap UU perkebunan. "UU Perkebunan ini masih kurang mengakomodir kepentingan pekebun mandiri karena tidak mengatur tentang tata kelola perkebun alternatif yang mengangkat peran koperasi rakyat. UU ini hanya mengatur yang dianggap tidak penting oleh petani seperti skema kemitraan," kata Mansuetus Darto dari Serikat Petani Kelapa Sawit.

Darto menilai, skema kemitraan perkebunan yang diterapkan selama ini sangat tidak adil sehingga menimbulkan konflik. "Dan ini terulang kembali melalui UU ini khususnya pasal 57 dan 58," ujarnya.

Skema kemitraan dalam UU Perkebunan ini pun masih belum mampu untuk memposisikan masyarakat/petani sejajar dengan perusahaan dalam pengelolaan usaha perkebunan. Disamping itu, kata Darto, perkebunan sawit berkelanjutan tidak tegas diatur.

Sementara itu, Annisa Rahmawati, Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menilai, aspek lingkungan dalam UU juga ini masih samar-samar dan terkadang tidak tegas dalam perlindungan lingkungan hidup. "Tidak adanya dukungan terhadap upaya perlindungan khususnya pada wilayah yang bernilai karbon tinggi (HCS) dan bernilai konservasi tinggi (HCV) serta lahan gambut di dalam wilayah konsesi perkebunan," katanya.

Annisa menilai, peran pemerintah sangat diperlukan dalam upaya mengembangkan dan mempromosikan produk kelapa sawit bebas deforestasi di Indonesia ke pasar global dengan kebijakan dan regulasi yang mendukung. "UU Perkebunan ini tidak menjelaskan tentang bagaimana penegakan hukum dan penindakan terhadap persoalan perusakan lingkungan, termasuk deforestasi dan perusakan lahan gambut," ulangnya.

Jefri Saragih, dari Sawit watch menilai, UU Perkebunan juga tidak mengatur tentang kejelasan penerapan Free Prior Inform Concern (FPIC) dalam usaha pembangunan industri perkebunan kelapa sawit. "UU ini tidak menjelaskan dengan tegas soal peran serta masyarakat yang memiliki sifat berkeadilan," tegasnya.

Terkait pengesahan UU ini sendiri, dalam laporannya kepada Rapat Paripurna DPR, Wakil Ketua Komisi IV DPR periode 2009-2014, Herman Khaeron mengatakan, disetujuinya RUU Perkebunan menjadi undang-undang diharapkan mampu menjawab berbagai problematika perkembangan dan tantangan di sektor perkebunan. Menurutnya, UU Perkebunan merupakan aturan di bidang perkebunan yang komprehensif secara berimbang dan proporsional kepada berbagai pihak terkait di sektor perkebunan, yaitu pemerintah, pelaku usaha, masyarakat dan pekebun.

"Sektor perkebunan mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional," papar Herman seperti dikutip dpr.go.id, Selasa (17/2).

UU yang terdiri dari 19 Bab dan 118 Pasal, mengamanatkan kewajiban bagi pelaku usaha perkebunan yang memerlukan tanah berupa tanah hak ulayat untuk melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.

BACA JUGA: