JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah mempertimbangkan penggunaan instrumen Supply Chain Financing (SCF) untuk mengatasi persoalan pembayaran klaim rumah sakit dalam pelayanan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Selama ini mekanisme penagihan klaim langsung ke BPJS dikeluhkan sejumlah rumah sakit, karena lamanya proses pencairan tagihan tersebut. Hal itu mengakibatkan terganggunya arus kas (cash flow) rumah sakit dan fasilitas kesehatan, yang berdampak pada operasional rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.   

Supply Chain Financing adalah fasilitas kredit yang diberikan kepada mitra Usaha yang telah melakukan kerjasama, seperti BPJS dan para rumah sakit mitranya.

Menanggapi rencana penerapan instrumen SCF ini, Koordinator Advokasi BPJS Wacth, Timboel Siregar, menilai SCF bisa menjadi jembatan untuk membantu fasilitas kesehatan (faskes) mendapatkan klaim dari BPJS Kesehatan lebih cepat melalui institusi perbankan. Instrumen ini juga dianggap bisa membantu cash flow rumah sakit sebab dengan adanya instrumen itu akan mempercepat pencairan tagihan. Sebab mekanisme pembayaran klaim rumah sakit oleh BPJS Kesehatan, sesuai Pasal 38 Perpres 19/2016, paling lambat 15 hari kerja setelah dokumen klaim diterima lengkap oleh BPJS Kesehatan.

"Mekanisme Pasal 38 tersebut dikeluhkan rumah sakit mitra BPJS, sebab lamanya pencairan tagihan itu mengganggu cash flow RS," ujar Timboel kepada gresnews.com, Minggu (15/5) malam.

Namun meski keberadaan instrumen SCF ini dinilai baik, setelah membaca draft aturan dalam presentasi tentang SCF ini, ternyata fasilitas kesehatan (faskes) ternyata masih dibebani biaya bunga, biaya provisi dan biaya administrasi yang diberlakukan bank.

"Pertanyaannya apakah dengan sistem SCF ini faskes mau menanggung biaya bunga, biaya provisi dan biaya administrasi yang diberlakukan bank tersebut? Apakah dengan biaya-biaya yang ditanggung itu justru tidak akan mengganggu cash flow RS?" tanyanya.

Timboel menyarankan sebaiknya regulasi tentang SCF yang akan dibuat jangan sampai memberatkan faskes. Hal itu bisa berdampak faskes enggan membuat PKS (perjanjian kerja sama) dengan bank. "Ya, ini artinya regulasi tentang SCF tersebut hanya sebatas basa basi," pungkasnya.

Ia menambahkan, terkait masa waktu pembayaran klaim ke rumah sakit, sebenarnya ada pertentangan antara Pasal 24 Ayat (2) UU Nomor 40 Tahun 2004 terhadap Pasal 38 Perpres 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan. Dimana dalam Pasal 24 Ayat (2) itu dinyatakan bahwa pembayaran ke faskes itu paling lama 15 hari tetapi di Pasal 38 Perpres 19 disebutkan 15 hari kerja. Ini artinya bila merujuk ke Pasal 38 tersebut hari Sabtu dan Minggu (hari libur kerja) tidak dihitung tetapi kalau mengacu ke Pasal 24 ayat 2 maka hari Sabtu dan Minggu tetap dihitung.

"Jadi kalau pakai Pasal 38 maka rumah sakit akan menjadi rugi karena lebih lama pembayarannya. Untuk lebih membantu cash flow RS sebaiknya Pasal 38 itu direvisi dan disesuaikan dengan Pasal 24 Ayat (2) UU 40 Tahun 2004," jelasnya.

Biar bagaimana pun juga RS khususnya RS swasta perlu pemasukan atau income yang lebih cepat untuk membeli obat, membeli barang medis lainnya, bayar upah dokter, para medis dan karyawan lainnya. Bila income-nya tertahan RS akan kesulitan menyediakan kebutuhan medis dan menyelesaikan kewajibannya. "Pemerintah harus memperhatikan kebutuhan-kebutuhan riil RS, seperti hal-hal tersebut," katanya.

Dia mengungkapkan, di luar instrumen SCF di atas, sebenarnya ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah untuk membantu RS.  Terutama dalam hal pembiayaan, sehingga RS swasta bisa mendukung JKN dengan tetap memperoleh margin keuntungan yang wajar untuk keberlangsungan RS tersebut.

Pemerintah bisa memberikan insentif pajak badan dan PBB serta pengurangan bea impor alat-alat kesehatan maupun diskon listrik dan air. Bantuan ini bisa mendukung RS swasta memberikan pelayanan lebih baik dalam JKN.

"Semoga Pemerintah pusat dan daerah, BPJS kesehatan, seluruh faskes dan dokter dan seluruh stakeholder lainnya bisa saling bahu membahu bekerja sama meningkatkan pelayanan kesehatan bagi seluruh rakyat," paparnya.

Rakyat sehat menyebabkan produktivitas rakyat meningkat sehingga daya beli juga meningkat, industri lebih bergeliat dan pertumbuhan ekonomi lebih baik dan akhirnya kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia akan bisa menyentuh 20 besar dunia.

ALTERNATIF PEMBIAYAAN - Menurut anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Ahmad Ansyori, SCF adalah konsep yang dikembangkan untuk alternatif sumber pembiayaan bagi RS mitra BPJS Kesehatan.

Dijelaskannya, pada dasarnya, hal ini lebih merupakan ranah perbankan dan tidak terkait langsung dengan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Ia menambahkan untuk faskes tingkat pertama, SCF tidak diperlukan. Termasuk juga bagi faskes pemberi pelayanan rawat jalan. Bagi RS-pun pada dasarnya lebih relevan untuk RS swasta.

Siklus pembiayaan di RS (baca; rawat inap), dalam mekanisme JKN, bisa memadai kalau pihak RS maupun BPJS Kesehatan melakukan tertib administrasi. Setiap kunjungan/rawat pasien, administrasinya langsung dituntaskan, sehingga bisa segera ditagihkan kepada BPJS Kesehatan. Paling lambat 15 hari kemudian sudah harus dilunasi oleh BPJS Kesehatan.

"Jadi, mekanisme ini sudah bisa menjamin kesinambungan cash flow RS. Terkait draf aturan SCF ini, DJSN akan mempelajarinya dan memberikan rekomendasi," jelasnya melalui pesan singkat kepada gresnews.com, Minggu (15/5) malam.

BACA JUGA: