JAKARTA - Pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan mulai 1 Juli 2020 seperti tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) 64/2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan dengan rincian, peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp150.000, kelas II menjadi Rp100.000 dan kelas III menjadi 42.000. Perpres itu diteken Presiden Joko Widodo pada Selasa, 5 Mei 2020.

Kebijakan itu ditentang oleh banyak pihak, termasuk Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI), yang kembali menggugat Perpres BPJS. KPCDI mendaftarkan uji materi Perpres 64/2020 ke Mahkamah Agung (MA) pada Rabu (20/5/2020).

Kuasa hukum KPCDI Rusdianto Matulatuwa menjelaskan ini merupakan gugatan kedua KPCDI ke MA. Awalnya, Presiden Jokowi menaikkan iuran BPJS mulai 1 Januari 2020 lewat Perpres 75/2019.

KPCDI menggugat ke MA. Pada Februari 2020, MA mengabulkan gugatan itu dan membatalkan kenaikan iuran BPJS.

"Ini untuk mengontrol kebijakan menjadi suatu kebutuhan, bukanlah karena suatu pilihan semata," kata Rusdianto dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu, (20/5/2020).

Menurut Rusdianto, pemerintah seharusnya mendengar pendapat MA bahwa akar masalah yang terabaikan yaitu manajemen atau tata kelola BPJS Kesehatan secara keseluruhan.

Selain itu, BPJS Kesehatan sudah berulang kali disuntikkan dana, tetap tetap defisit. Untuk itu, harusnya dilakukan perbaikan internal manajemen terlebih dahulu, baru kemudian bicara kenaikan iuran.

"Meski iuran naik, kami pastikan tetap defisit selama tidak memperbaiki tata kelola manajemen," ujarnya.

Pendiri Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia Syamsuddin Alimsyah mengatakan, berdasarkan putusannya, MA membatasi pemerintah untuk dapat menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga 100%. Melalui aturan yang baru, pemerintah pun menaikkan iuran di bawah 100%.

"Itu akal-akalan pemerintah, diakali naik 98%. Ini kan mainan celah yang menunjukkan pemerintah tidak serius peduli kepada masyarakat," kata Syamsuddin dalam sebuah diskusi virtual yang diikuti Gresnews.com, Rabu (20/5/2020).

Menurutnya, yang harus dibenahi adalah internal BPJS, bukan dengan menaikkan iuran. BPJS Kesehatan harus transparan, apalagi mendengar kabar gaji direksi yang mencapai Rp300-an juta.

Padalah BPJS bukanlah entitas bisnis, namun mengambil iuran dari pesertanya. Jangan sampai masyarakat salah menafsirkan jargon gotong royong yang dianggap untuk memperkaya diri semata.

Menurutnya aspirasi paling kuat dari dari penelitiannya adalah menunda lebih dulu selama masa pandemi ini. Karena masyarakat saat ini tengah dihadapkan pada tantangan kesulitan hidup akibat persoalan Covid-19.

"Kita semua memandang ini adalah kebijakan yang tidak elok keluar di situasi seperti sekarang. Bahkan, teman-teman memandang ini kebijakan yang melukai perasaan masyarakat," ujarnya.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris menegaskan keputusan pemerintah menaikkan iuran peserta sesuai Perpres 64/2020 masih dalam koridor putusan MA soal pembatalan kenaikan iuran. Hal itu sekaligus menjawab isu Jokowi mengakali putusan MA.

Fachmi menjelaskan dalam putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020 memberikan tiga opsi kepada pemerintah untuk menindaklanjutinya, yaitu mencabut, mengubah, atau melaksanakannya.

"Artinya Pak Jokowi masih dalam koridor yaitu dalam konteks mengubah," kata Fachmi dalam video conference, Jakarta, Kamis (14/5/2020).

Lebih lanjut Fachmi menjelaskan, penerbitan Perpres 64/2020 justru membantu masyarakat di tengah pandemi korona, karena salah satunya memberikan bantuan kepada peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) kelas III mandiri.

Di mana seluruh peserta ini akan mendapat subsidi sebesar Rp16.500 per orang per bulan pada 2020, dan sebesar Rp7.000 per orang per bulan pada 2021.

Dengan subsidi ini, maka iuran yang dibayarkan peserta mandiri kelas III BPJS Kesehatan yaitu Rp25.000 pada 2020 dan Rp35.000 pada 2021. Jika tidak disubsidi pemerintah, seharusnya peserta kelas III ini membayar iuran sebesar Rp42.000 per orang per bulan.

Sedangkan untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) baik pusat dan daerah sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah. Jumlah peserta PBI jumlahnya sekitar 133,5 juta orang yang berasal dari pemerintah pusat sebanyak 96,5 juta orang dan daerah sebanyak 37 juta orang.

Iuran yang dibayarkan Rp42.000 per orang per bulan sepenuhnya ditanggung pemerintah.

(G-2)

 

BACA JUGA: