JAKARTA, GRESNEWS.COM - Upaya beberapa kepala daerah setingkat bupati/walikota yang ingin menggugat pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional ke Mahkamah Konstitusi dinilai kontraproduktif. Alasan para kepala daerah itu menggugat adalah untuk mempertahankan program jaminan kesehatan daerah yang sudah dilakukan di daerah masing-masing, dinilai tak tepat lantaran, hal itu justru menyuburkan potensi korupsi dana APBD untuk kesehatan.

Hasil analisis Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch mengungkapkan, saat ini masih banyak bupati dan walikota yang belum mau meleburkan program jaminan kesehatan daerahnya ke BPJS Kesehatan. Dari sekitar 500 kabupaten/kota yang ada baru kurang lebih 200 kabupaten/kota yang sudah mengintegrasikan jamkesdanya ke BPJS Kesehatan. Selain itu ada juga yang baru masuk seperti Kabupaten Bekasi dan ada pula yang keluar di awal tahun ini seperti kabupaten Muaro Jambi.

"Ya, memang pemerintah pusat belum mewajibkan seluruh pemda mengikutsertakan jamkesdanya ke BPJS Kesehatan. Walaupun roadmap Bappenas menyatakan seluruh jamkesda harus terintegrasi seluruhnya paling lambat 1 Januari 2019 namun belum ada regulasi yang memastikan hal tersebut," kata Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, kepada gresnews.com, Sabtu (7/5).

Timboel mengatakan, kewajiban itu baru sebatas roadmap. Regulasi yang ada hanya menyatakan bahwa seluruh rakyat wajib ikut BPJS kesehatan paling lambat 1 Januari 2019. "Ini artinya seluruh jamkesda harus terintegrasi paling lambat 1 Januari 2019," jelasnya.

Menurut Timboel, jika nantinya jamkesda wajib masuk BPJS Kesehatan, maka masyarakat kemungkinan memang akan mengalami sedikit kesulitan dengan layanan BPJS. Namun di balik itu, dia mengakui, pengintegrasian jamkesda ke BPJS sebenarnya bisa meminimalkan korupsi di bidang kesehatan.

Selama ini, kata dia, saat jamkesda belum terintegrasi ke BPJS berarti pemda masih mengelola uang APBD untuk kesehatan secara langsung ke RSUD daerah ataupun RS swasta yang ada di daerah tersebut. Di sinilah potensi korupsi rawan terjadi.

"Jumlah pasien 100 bisa diklaim 150, penyakit demam rendah bisa diklaim demam tinggi. RSUD masih di bawah kendali dan pengawasan Dinas Kesehatan. Demikian juga RS swasta daerah yang sangat berpotensi memainkan alokasi dana APBD untuk kesehatan," kata Timboel.

Jika sudah terintegrasi, maka potensi korupsi yang sangat besar ini bisa diminimalisir. Alasannya, nantinya akan ada iuran minimal sebesar Rp23.000 x 12 bulan x jumlah peserta jamkesda yang di-cover langsung diserahkan ke BPJS. APBD kemudian menganggarkan iuran jamkesdanya dan pembayarannya langsung ke BPJS. "Jadi potensi korupsinya bisa diminimalisir atau dinihilkan. Yang membayar ke RS adalah BPJS Kesehatan, bukan Dinas Kesehatan lagi," terang Timboel.

Salah satu contoh bisa diminimalisirnya korupsi bidang kesehatan lewat BPJS, kata Timboel, terjadi di Subang. Saat layanan kesehatan terintegrasi ke BPJS, ketika ada oknum dinas kesehatan dan pejabat pemda memotong dana kapitasi yang harusnya diserahkan ke puskesmas, akan ketahuan.

Dalam konteks ini, pihak Dinkes Subang  dan pemprov memotong dana itu sebesar Rp4,7 miliar untuk kepentingan pribadinya. "Ini mudah terlacak karena tinggal dikonfirmasi ke BPJS oleh puskesmas. Kalau jamkesda masih dikerjakan sendiri ya mereka bisa mengatur sendiri anggarannya," ujarnya.

Karena itu, kata Timboel, jika ada bupati/walikota yang tidak suka dengan program BPJS, diduga kuat mereka akan menyuburkan korupsi di sektor kesehatan. "Mereka masih berharap uang APBD untuk kesehatan bisa diatur sendiri, nggak perlu bayar ke BPJS lagi," ujarnya.

APBD UNTUK PENINGKATAN LAYANAN KESEHATAN - Alasan pelayanan RS lewat BPJS kurang, kata dia, bisa diatasi dengan program yang diinisiasi sendiri oleh para bupati dan walikota. Hal pokok yang  harus dimengerti para bupati dan walikota, kata Timboel, kualitas pelayanan kesehatan dalam program JKN itu bukan tanggungjawab BPJS semata tapi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah juga.

Oleh karena itu yang harus dilakukan pemda untuk meningkatkan kualitas program JKN adalah, menambah infrastruktur kesehatan di daerahnya. "Bukankah UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan APBD mengalokasikan minimal 10 persen untuk kesehatan?" imbuhnya.

Dengan dana 10 persen tersebut, pemda bisa menambah jumlah RSUD, menambah dokter spesialis dan paramedis serta tenaga kesehatan lainnya. Selain itu dana tersebut juga bisa dipakai menambah alat-alat kesehatan, dan sebagainya. Dengan peningkatan infrastruktur kesehatan tersebut, maka pelayanan kesehatan bisa lebih baik lagi.

Kemudian Pemda dan Dinkes punya kewenangan melakukan pengawasan terhadap RSUD dan RS swasta setempat serta faskes tingkat pertama lainnya. "Kalau ada RSUD atau RS swasta atau faskes pertama membiarkan pasien maka dinkes-dinkes punya tanggungjawab untuk menegur sampai memberikan sanksi," tegasnya.

Pemda yang tidak mengintegrasikan jamkesda-nya ke BPJS, kata Timboel, sama saja melakukan diskriminasi terhadap rakyatnya dalam hal pelayanan kesehatan. Apalagi, jika jamkesda terintegrasi dengan BPJS maka iuran yang diterima BPJS akan semakin besar lagi.

"Prinsip gotong royong akan semakin terlihat dan terasa. BPJS akan semakin mudah membayar klaim INA CBGs dan Kapitasi. Defisit atau mismatch akan semakin mudah teratasi," kata Timboel.

JKN adalah program negara bukan program pemerintah. Oleh karenanya seluruh pemda harus mendukungnya bukan malah menegasikannya. Peran Kemendagri sangat diharapkan dalam mengawal program negara ini.

Jadi tidak ada alasan kuat bagi pemda-pemda untuk meninggalkan Program JKN. Walaupun ada pelayanan kesehatan yang masih kurang di daerah maka sebenarnya itu adalah akibat pemda-pemda yang tidak serius membantu kesehatan rakyatnya.

LANGGAR UUD 45 - "Gerakan" menggugat program BPJS Kesehatan itu sendiri bermula dari Bupati Gowa, Sulawesi Selatan Adnan Purichta Ichsan. Adnan sendiri ingin menggugat program yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan itu ke Mahkamah Konstitusi karena menilai iuran BPJS per bulannya, telah menyalahi Undang Undang Dasar 1945.

Menurut Adnan, iuran sebesar Rp70 ribu bagi masyarakat sangat memberatkan bagi masyarakat kecil, terlebih pelayanannya pun terhitung buruk. Dia beralasan, program serupa juga berjalan di beberapa kabupaten, seperti di Kabupaten Gowa sendiri dimana dia menerapkan program layanan kesehatan gratis dan dinilai sangat membantu masyarakat.

Adnan pun  mencari dukungan dari daerah lain untuk menggugat pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional. Sikap Adnan ini diantaranya didukung oleh Ketua Nasional Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia) Agung Nugroho.

Dia mengatakan, BPJS Kesehatan yang diwajibkan pada warga dengan iuran perbulannya sebesar Rp70 ribu memang memberatkan masyarakat kelas bawah. Bahkan, kata Agung, BPJS Kesehatan telah mengebiri hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang layak karena masyarakat wajib membayar, namun pelayanan yang diterima buruk.

Agung menjelaskan, pada dasarnya BPJS adalah bentuk liberalisasi jaminan sosial dimana jaminan sosial dianggap sebagai industri jasa yang dapat menghasilkan keuntungan yang besar dari sisa iuran peserta yang tidak habis terpakai dalam satu tahun.

"Sementara untuk menekan pengeluaran biaya pengobatan, pengelola membentuk regulasi yang membatasi hak peserta untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Peran pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan juga dihilangkan," katanya kepada gresnews.com, Sabtu (7/5).

Dia juga mengakui program ini malah mengganggu program jaminan kesehatan yang dijalankan pemerintah daerah seperti di Gowa. "Karena warga yang selama ini bisa berobat dengan gratis hanya dengan menggunakan KTP dan KK, saat ini dihalangi mendapatkan pelayanan kesehatan gratis dari daerah dengan adanya aturan terkait BPJS," jelasnya.

Hal serupa juga terjadi di DKI Jakarta, dimana hak warga Jakarta mendapatkan layanan kesehatan gratis di era Jaminan Pemeliharaan Kesehatan untuk Keluarga Miskin hingga Kartu Jakarta Sehat hilang dengan berlakunya sistem BPJS Kesehatan.

Karena itu, sama seperti Adnan, Agung Nugroho juga akan menggugat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ke MK. Selain itu ada pula Bupati Kulon Progo, Bupati Manggarai, Bupati Bangka Barat, Bupati Malaka dan beberapa kepala daerah lainnya juga akan mengajukan gugatan serupa.

BACA JUGA: