JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pemerintah diminta menjamin akses atas reparasi kehidupan kembali para mantan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang diungsikan dari Kalimantan Barat. Reparasi ini tidak hanya akses terhadap keadilan tetapi juga pemulihan hak lain mereka.

"Reparasi ini harus mencakup jaminan pemulangan mereka secara aman, suka rela, dan bermartabat baik ke rumah mereka maupun tempat lain menurut pilihan mereka berdasarkan konsultasi yang bermakna, kompensasi yang memadai terhadap kerugian yang mereka derita, termasuk hancur dan rusaknya rumah-rumah mereka, dan jaminan bahwa hal serupa tidak terulang kembali," kata pekampanye Amnesty International Asia Tenggara dan Pasifik Josef Benedict, dalam surat elektronik yang diterima gresnews.com, Minggu (31/1).

Josef mengisahkan, pada 19 Januari, sekelompok massa menyerang kampung Motong Panjang di Kabupaten Menpawah, Kalbar dan membakar sembilan rumah milik anggota komunitas Gafatar. Setelah penyerangan tersebut, para anggota Gafatar dibawa oleh anggota kepolisian Menpawah ke tempat penampungan sementara di kompleks militer di Kabupaten Kuburaya, Kalimantan Barat dan sebuah gedung olah raga di Pontianak, ibukota Kalimantan Barat.

Berdasarkan catatan Amnesty International, paling tidak ada 1.500 anggota of Gafatar, termasuk perempuan dan anak-anak, yang diusir paksa dari rumah-rumah mereka di Kabupaten Sintang dan Ketapang, juga di Kalimantan Barat, oleh sekelompok massa dari daerah setempat. Pada 21 Januari, pihak berwenang Kalimantan Barat mulai memindahkan ratusan anggota Gafatar dengan kapal laut ke beberapa lokasi di Pulau Jawa, yang diklaim oleh pihak berwenang tersebut sebagai tempat asal mereka.

Relokasi oleh pihak berwenang di Kalimantan Barat mencegah serangan lanjutan terhadap kelompok tersebut, tetapi para anggota yang tinggal di tempat penampungan sementara di Pulau Jawa menyatakan bahwa relokasi tersebut dilakukan tanpa konsultasi dengan mereka. "Tidak ada investigasi kriminal dilakukan oleh polisi terhadap pengusiran paksa dan tindak kiminal lainnya yang dilakukan oleh kumpulan massa tersebut," kata Josef.

Kelompok Gafatar juga mengutarakan kekhawatiran mereka akan diskriminasi oleh pihak berwenang setempat dan risiko gangguan, intimidasi, dan serangan berulang lebih lanjut karena afiliasi keyakinan mereka. Menurut Sekretaris Kabinet kebebasan gerak mereka akan dibatasi dan mereka akan menjalani program-program "re-edukasi" keyakinan.

Josef mengingatkan, hak atas kebebasan berkeyakinan dijamin oleh Konstitusi Indonesia. Tambahan lagi, Pasal 18 dari Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang mana Indonesia merupakan negara pihak, menyatakan bahwa "hak ini harus mencakup kebebasan untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau keyakinan menurut pilihannya" dan bahwa "tidak ada seorangpun bisa menjadi subjek pemaksaan yang bisa mengurangi kebebasan untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau keyakinan menurut pilihannya".

Josef mengatakan, negara sendiri harus mencegah dirinya untuk melakukan pengusiran paksa dan memastikan bahwa hukum ditegakkan terhadap aparatusnya atau pihak ketiga yang melakukan pengusiran paksa. Pendekatan ini diperkuat oleh Pasal 17Ayat (1) dari ICCPR yang melengkapi hak untuk diusir paksa tanpa perlindungan yang memadai.

"Ketentuan ini mengakui, satu diantaranya, hak untuk dilindungi dari intervensi yang semena-mena atau tidak sah atas tempat tinggalnya," pungkas Josef.

KORBAN - Sebelumnya, Ketua MPR Zulkifli Hasan juga mengimbau agar masyarakat tidak memusuhi para pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Para pengikut Gafatar ini diyakini hanyalah korban.

"Saya mengimbau kita jangan memusuhi para pengikut Gafatar. Sebab, mereka adalah korban. Kita harus bantu mereka. Kita harus memberi pertolongan dan perlindungan kepada mereka sebagai korban Gafatar," kata Zulkifli Hasan usai berbicara di depan Junior Chamber Indonesia (JCI) di Balai Kartini, Jakarta, Jumat (29/1).

Menurut Zulkifli, persoalan Gafatar jangan dianggap enteng. Dia mencontohkan keluarga dr Rica. Sebelumnya keluarga dr Rica harmonis, namun berubah setelah dr Rica dan anaknya ikut Gafatar. "Aparat harus bertindak tegas terhadap pemimpinnya atau mereka yang mengajak masuk Gafatar dan membuat keresahan. Tetapi kita jangan memusuhi para pengikutnya. Mereka adalah korban yang harus kita selamatkan bersama-sama," katanya.

"Termasuk keluarga, anak-anaknya. Ayo kita tolong karena mereka adalah korban dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Mereka yang tidak bertanggung jawab itulah harus ditindak. Jangan korbannya," tambahnya.

Sementara itu, terkait dengan paham-paham radikal yang sudah masuk dalam buku-buku pelajaran anak-anak, Ketua Umum PAN itu meminta pemerintah memusnahkannya. "Musnahkan buku-buku seperti itu. Kita ganti dengan budaya Indonesia," katanya.

Dia menyesalkan buku-buku pelajaran seperti Kewarganegaraan, Pendidikan Moral Pancasila, sekarang sudah tidak ada lagi. Sebaliknya, muncul buku-buku yang isinya mendorong sikap radikal.

"Setelah 18 tahun reformasi, kita kehilangan roh kebangsaan. Ini harus diperkuat kembali terutama wawasan kebangsaan anak-anak muda. Jangan terkecoh janji surga, janji jihad yang tidak jelas itu. Bom bunuh diri bertentangan dengan wawasan kebangsaan kita, Pancasila dan prinsip-prinsip hidup kita," katanya.

Terkait relokasi, Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menyatakan akan memberi prioritas bagi warga Jabar eks Gafatar yang masih berkeinginan hidup di luar pulau dengan transmigrasi, daripada pulang ke kampung halamannya. Hal itu disampaikan Aher saat ditemui disela kunjungan ke tempat penampungan warga korban Gafatar di balai milik Dinas Sosial Jabar di Kota Cimahi, Jumat (29/1).

"Syukur kalau mereka mau pulang ke kampung halamannya. Tapi yang harus kita pikiran bersama itu jika belum selesai masalah sosialnya," ujar Aher.

Seperti misalnya keluarga dan masyarakat yang belum bisa menerima mereka atau karena mereka sudah tak memiliki kehidupan di kampung halamannya. Karena sejumlah warga korban Gafatar ini telah memiliki kehidupan di Kalimantan sebelum dipulangkan kembali ke Jabar.

Karena itu Aher menyatakan ada kemungkinan bagi warga yang ingin kembali bertransmigrasi. "Tiap tahun kita ada jatah transmigrasi, ada 200 KK lebih. Nanti kita data, siapa di antara mereka yang mau transmigrasi. Boleh jadi mereka nanti akan kita dahulukan dari jatah kuota transmigrasi Jabar itu," katanya.

Beberapa warga yang sempat ditanyai memang menyatakan keengganannya kembali ke kampung halaman. "Saya sudah habis dijual semua, enggak ada apa-apa di kampung halaman juga. Inginnya transmigrasi saja," ujar Asep asal Subang.

Begitu juga dengan Wicak dari Majalengka yang mengaku lebih memilih transmigrasi daripada pulang ke kampung halaman. "Inginnya sih pulang. Tapi malu sama tetangga. Kalau diajakin transmigrasi sih mendingan transmigrasi," katanya.

PENDAMPINGAN ANAK - Selain masalah relokasi, masalah pendampingan terhadap anak-anak eks anggota Gafatar juga diminta untuk diperhatikan. Untuk masalah ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama tim relawan dari psikolog anak, pendongeng, perawat, konselor dan penyuluh telah melakukan pendampingan terhadap para pengungsi eks Gafatar di Gedung Forki Cibubur dan Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur.

KPAI meminta pemerintah khususnya Kemendikbud dan Kemenag untuk lebih memperhatikan pendidikan dan pendampingan keagamaan para pengungsi eks Gafatar tersebut. "Kemdikbud perlu segera hadir untuk memberikan layanan pendidikan darurat serta membuat perencanaan untuk pemenuhan hak pendidikan anak secara utuh dan holistik," ujar Ketua KPAI Asrorun Niam, Jumat (29/1).

Dari hasil assesment KPAI, kata Asrorun, cukup banyak anak usia sekolah, baik SD maupun SMP yang putus sekolah karena bergabung dengan organisasi ini. Sebab setelah pindah ke Kalimantan mereka tidak mengenyam pendidikan. "Ada yang mengaku home schooling, tapi ada beberapa anak yang tidak sekolah sama sekali," ujarnya.

Selain itu, KPAI juga meminta agar Kementerian Agama hadir untuk memberikan penyuluhan serta pemenuhan hak agama dan pendampingan dalam aspek keagamaan. KPAI sudah berkomunikasi dengan Kemendikbud dan Kemenag untuk memastikan hak dasar anak tersebut. Menurutnya, pihak Kemenag telah mengkonfirmasi dan akan segera mengirim tim penyuluh agama.

Sementara itu, KPAI menilai langkah darurat yang dikoordinasikan Kemsos cukup baik. Hanya saja, perlu partisipasi elemen masyarakat secara lebih banyak. Pelaku usaha dan lembaga filantropi perlu hadir untuk mengerahkan sumber dayanya. "Terutama untuk kebutuhan dasar anak, seperti pampers, susu, bubur, buku-buku anak dan media permainan," kata Asrorun.

Di sisi lain, kinerja Kementerian Kesehatan dalam menangani para eks Gafatar ini perlu dioptimalkan. Sebab dari hasil assesment KPAI dan tim, banyak ditemukan anak yang mengalami sakit panas, sehingga butuh penanganan khusus. Ada juga pengungsi yang berkebutuhan khusus.

Dari hasil pendataan, total pengungsi di Asrama Haji Pondok Gede sebanyak 832 orang yang terdiri dari 460 laki-laki dan 372 perempuan. Dari total pengungsi tersebut, ada 4 wanita hamil, 34 bayi di bawah satu tahun 109 balita. Selain di Pondok Gede, pengungsi eks Gafatar juga diungsikan di gedung Forki sebanyak 481 orang, Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) 467 orang, dan Panti Sosial Bina Insani 180 orang.

KPAI membuka posko perlindungan anak di titik pengungsian Asrama Haji, dengan didukung oleh Kemensos dan elemen relawan dari masyarakat. "KPAI mengimbau seluruh pihak untuk dapat berpartisi dalam upaya pemulihan pengungsi eks Gafatar, khususnya anak-anak," tutur Asrorun. (dtc)

BACA JUGA: