JAKARTA, GRESNEWS.COM - Harapan Sumarni (45) --sebut saja namanya demikian-- untuk menjadi guru tetap sempat mengapung tinggi. Janji Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan masalah guru honorer serta prasarana pendidikan lainnya dalam waktu tiga tahun, membuatnya masih terus menyimpan harapan untuk bisa diangkat menjadi pegawai negeri sipil dan meninggalkan status guru hononer yang telah disandangnya selama puluhan tahun.

Hanya saja, keinginan itu pelan-pelan memudar seiring kenyataan dia tak kunjung diangkat menjadi PNS. Padahal semua persyaratan sudah dia penuhi termasuk lolos seleksi pengangkatan untuk honorer kategori 2 atau K2. Tenaga Honorer K2 adalah tenaga honorer yang diangkat per 1 Januari 2005 dan tidak mendapat upah dari APBD/APBN.

Untuk pegawai honorer kategori 2 apabila ingin diangkat menjadi CPNS harus mengikuti tes seleksi terlebih dahulu. Sayangnya, meski sudah lulus sejak 5 tahun lalu dari seleksi K2, surat keterangan pengangkatan sebagai PNS yang ditunggu-tunggu Sumarni tak kunjung tiba.

"Saya lolos seleksi mulai dari pendataan guru honorer dari 2010 di tingkat kantor seksi sampai kotamadya," katanya kepada gresnews.com, Jumat (11/9).

Setelahnya, pada tahun 2011-2012 dilanjutkan dengan tahapan pendataan dan verifikasi di dinas pendidikan provinsi. Pada tahun 2012 keluarlah payung hukum yang menaungi para pegawai honor yakni PP No. 56 tahun 2012 yang mengatur pengangkatan honorer K2 menjadi CPNS tak boleh melampaui tahun anggaran 2014.

Kemudian para pegawai honorer ini diberi nama honor K2. "Selanjutnya diadakan tes untuk K2 agar diangkat menjadi CPNS. Agustus 2013 itu pembagian nomor peserta tes CPNS-nya tapi belum diketahui kapan tesnya," ujar Sumarni.

Ia melanjutkan, tes CPNS K2 serentak di seluruh Indonesia baru dilakukan setelah tiga bulan selang mendapatkan nomor tes, yakni tepatnya November 2013. Pada bulan Februari 2014 diumumkan kelulusan CPNS K2 oleh BKN dan Menpan.

Kemudian dilanjutkan dengan verifikasi dan validasi dari tempat kerja awal dan kementerian terkait, dalam contoh ini pihak sekolah, dinas pendidikan, dan BKD terkait pada Maret 2014.

"Di sinilah banyak yang gugur karena banyak indikasi honorer lulus yang bodong. Artinya ada namanya tapi yang bersangkutan tak bertugas di tempat terkait," ujarnya.

BANYAK DATA BODONG - Sumarni harus menunggu sekian lama untuk bisa mendapatkan SK pengangkatan yang diharapkan. Namun, harapan itu masih jauh dari kenyataan mengingat hingga kini pemerintah, via Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) masih disibukkan dengan upaya melakukan verifikasi dan validasi atas tenaga honorer bodong yang lulus ujian K2.

Berdasarkan data pemerintah, jumlah honorer K2 secara nasional mencapai 600 ribu orang. Sedangkan kuota pengangkatan CPNS menggunakan alokasi anggaran 2013 dan 2014, hanya sekitar 200 ribu kursi. Akibatnya, masih ada 400 ribu honorer K-2 yang nasibnya sampai kini terkatung-katung.

Setelah pengumuman kelulusan ujian Tenaga Honorer K2 menjadi CPNS ini laporan kecurangan terus bermunculan. Para honorer K2 yang valid tetapi tidak lulus ujian pun melaporkan rekan sesama TH K-2 yang tidak valid tetapi lulus ujian.

Hingga saat ini, BKN terus memeriksa ulang dokumen kelulusan Tenaga Honorer K2 yang tidak valid. Jika ditemukan, nama honorer K2 yang tidak valid tetapi lulus ujian langsung dicoret. Kementerian PAN-RB pun akan membuat kajian sistem terlebih dahulu untuk menggantikan yang lulus namun tak valid dengan honorer K2 lainnya.

"Pada Juli 2014 berkas masuk ke BKD untuk diverifikasi validasi, selanjutnya di Januari 2015 berkas masuk BKN untuk di verval sekaligus penetapan NIP secara bertahap seluruh Indonesia," ujar Sumarni.

Namun untuk di beberapa wilayah lain sudah ada penerimaan SK mulai Juli 2014. Sedangkan DKI Jakarta baru dibagikan SK bulan Agustus 2015 dan itupun hanya 233 orang dari 5000 orang.

"Sampai sekarang belum turun SK lagi, padahal infonya dikeluarkan secara bertahap, di DKI sendiri ada 5000 orangan yang lulus K2," terangnya.

HARAPAN DIKUBUR MK - Sumarni boleh saja masih menyimpan harapan agar diangkat menjadi PNS. Dia juga bisa berharap pihak Kemenpan-RB segera menyelesaikan proses verifikasi dan validasi agar SK yang dia impikan bisa keluar.

Hanya saja, ada kemungkinan keinginan Sumarni kandas sama sekali. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi pada akhir Agustus lalu sudah mementahkan uji materi yang diajukan oleh para tenaga honorer atas UU Nomor 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). UU ini digugat lantaran menghapuskan status pegawai honorer dan menghapus pengangkatan pegawai honorer.

"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," ujar ketua majelis hakim konstitusi, Arief Hidayat dalam sidang terbuka untuk umum di ruang sidang utama Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat,  Jakarta, Selasa (26/8) lalu.

Menurut majelis, alasan permohonan para penggugat sama sekali tidak memberikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang diuji dengan UUD 1945. Para pemohon juga dinilai tidak menunjukkan argumentasi bagaimana pertentangan antara pasal-pasal a quo dengan UUD 1945.

"Pasal-pasal UU ASN yang dimohonkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan alasan yang dikemukan oleh pemohon, sehingga hubungan antara posita dan petitum (permintaan) permohonan tidak jelas," ujar Arief.

Kepala Sub Bagian Perundang-undangan Kemenpan-RB Ari Nurrahmat mengatakan, setelah diberlakukannya UU 5 Tahun 2014 tentang ASN, istilah honorer, PTT, outsourcing, dan semacamnya memang dicabut. Hanya saja, harapan bagi pegawai honorer untuk dianglat masih ada. Sebab, Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen PPPK belum keluar.

"Instansi masih dibolehkan merekrut PTT atau karyawan kontrak dengan peninjauan kontrak setiap tahun. Nantinya setelah PP Manajemen PPPK ditetapkan, seluruh pegawai non PNS apapun bentuknya harus diberhentikan," kata Ari.

PERSOALAN KLASIK - Anggota Komisi II DPR RI Ali Umri menyatakan permasalahan tenaga honor ini sebagai masalah ketenagakerjaan yang klasik di pemerintahan. "Tenaga honorer harusnya sudah tidak ada lagi. Namun faktanya pegawai honorer masih ada sampai sekarang," ujarnya menyikapi keluhan para pegawai honorer dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi II DPR RI, Senayan, Kamis, (10/9).

Sejumlah pegawai honorer dari Forum Komunikasi Polisi Pamong Praja Nusantara (FKP3N) dan Forum Honorer Indonesia (FHI) tersebut meminta pemerintah segera melakukan pengangkatan terhadap seluruh pegawai tenaga honor di seluruh Indonesia. Pemerintah selama ini dianggap tak mau keluar biaya untuk mengangkat tenaga honorer menjadi PNS.

Para tenaga honor dari berbagai wilayah ini mengaku kecewa terhadap pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Mereka pun mengancam menggugat juga melakukan pengrusakan terhadap sarana umum apabila tuntutan pengangkatan menjadi PNS tidak terlaksana.

PP No. 56 tahun 2012 tentang perubahan kedua atas PP No. 48 tahun 2005 disebutkan bahwa tenaga honorer adalah mereka yang sudah bekerja minimal satu tahun pada 31 Desember 2005, mendapatkan gaji bulanan rutin yang bersumber dari APBN atau ABPD, dan tidak pernah putus bekerja sebagai tenaga honorer hingga tes pengangkatan CPNS 2014. "Tata laksana pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS sudah jelas sehingga hal semacam ini mestinya tidak terjadi lagi," ujar Ali.

Lantaran peraturannya sudah ada dan disahkan beberapa tahun lalu, ia pun kemudian mempertanyakan mengapa pemerintah daerah masih menerima lagi pegawai honor. ‎Padahal tenaga honorer sendiri diketahui tidak terlindungi payung hukum dalam UU No. 5 tahun 2014 tentang ASN.‎ "Setelah ada peraturan itu harusnya tidak ada lagi pegawai honor, apalagi Banpol atau Satpol PP. Tapi terus saja diterima, ya akhirnya seperti ini," katanya.

Untuk itu, kini masalah pekerja honorer ini haruslah diselesaikan dengan aturan yang ada. Yakni mengikuti mekanisme pengangkatan tenaga honor menjadi PNS, baik administrasi maupun lainnya. Konten persyaratan ini juga masih diuji lagi kompetensinya untuk penerimaan pegawai. "Peraturan pengangkatan sudah bagus karena terdapat tahapan seleksi sesuai dengan keahlian dan strata pendidikan, SD, SMP atau sarjana," katanya.

BACA JUGA: