JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sehari usai Presiden Joko Widodo meresmikan peluncuran program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan di Kawasan Teluk Penyu Cilacap, Jawa Tengah, ratusan massa dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) turun ke jalan. Mereka bukan menyambut gembira program yang dicanangkan untuk melindungi pekerja tersebut. Namun justru untuk memprotes sejumlah aturan yang menyertai penyelenggaraan program tersebut. Diantaranya terkait aturan program Jaminan Hari Tua (JHT)  dinilai justru merugikan pekerja.   

Mereka menuntut Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan pada usia 56 tahun dicabut. Mereka juga memprotes aturan pencairan dana pensiun yang baru bisa diambil setelah 10 tahun.  

Ratusan pendemo itu bahkan mengancam  melawan kebijakan tersebut  dengan menggelar aksi  massa yang lebih besar. "Jika kebijakan itu tidak segera dicabut, kami akan memanggil seluruh buruh di Indonesia untuk turun ke jalan," teriak pendemo yang menggelar aksinya di Bundaran Hotel Indonesia itu.

Para pendemo menyebut, kebijakan baru tentang JHT sangat merugikan mereka. Karena itu, mereka meminta kinerja Menaker Hanif Dakhiri dan direksi BPJS atas penyusunan PP Penyelenggaraan JHT yang berlaku 1 Juli 2015 itu diusut.

Benar saja, setelah marak aksi demo para buruh ke Jalanan, maupun ramai polemik di sejumlah media massa dan media sosial, Presiden Jokowi bereaksi dengan memanggil Menteri Tenaga Kerja  Hanif Dhakiri dan Pengelola BPJS ke istana. Mereka dipanggil untuk membahas polemik aturan dalam Peraturan Pemerintah No 46/2015 tentang jaminan hari tua (JHT) yang belakangan menimbulkan reaksi masyarakat.

Usai bertemu Presiden, Menteri Hanif pun langsung mengumumkan bakal ada revisi PP soal JHT yang banyak menuai kritik. "Kita sudah lapor ke Presiden dan saya sudah mendapat perintah, intinya jaminan hari tua itu presiden memerintahkan kepada kita untuk memastikan bahwa para pekerja yang terkena PHK bisa mengambil JHT-nya sebulan setelah kena PHK," katanya.

Hanif menjelaskan pemberlakuan ketentuan baru bisa diambil setelah 10 tahun itu bagi mereka peserta aktif. "Kalau kena PHK 1 bulan kemudian dia bisa ambil JHT. Konsekuensinya akan ada revisi terhadap PP ini," tutur Hanif di Istana Negara, Jumat (3/7).

Ia menambahkan akan secepatnya melakukan revisi tersebut. Salah satu yang akan diatur terkait aturan pencairan yang sebelumnya diatur baru bisa dilakukan setelah kepesertaan 10 tahun seperti tertuang di UU No 40/2004.
"Perintahnya dari Presiden baru tadi," sebutnya.

Namun menurut Hanif apabila karyawan yang di-PHK mendapat pekerjaan baru, maka dia bisa meneruskan kepesertaan BPJS ketenagakerjaan.

TIDAK LANGGAR ATURAN - Menteri Tenaga Kerja juga menggaris bawahi bahwa yang akan diajukan revisi hanya pada Peraturan Pemerintah (PP) JHT, terkait aturan pencairan dana bagi peserta  yang mengalami PHK. Dimana peserta bisa mengambil dananya setelah satu bulan di PHK.

Aturan tersebut menurutnya tak melanggar ketentuan dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), terutama  Pasal 37 Ayat 1-5, ditetapkan dana JHT  baru bisa diambil setelah 10 tahun. "Kan itu tidak menganggu yang 10 tahun," katanya. Ketentuan itu tetap berlaku bagi peserta aktif. Ataupun bagi mereka yang di PHK  sebelum satu bulan telah memperoleh pekerjaan kembali. Sedangkan untuk mencairkan sepenuhnya dana tersebut baru bisa dilakukan setelah masuk usia pensiun atau berusia 56 tahun.

"Kalau kena PHK tidak dikenakan lagi (iuran), kalau anda ada pekerjaan lagi aktif kerja terus 10 tahunnya berlaku. Kalau PHK 1 bulan bisa ambil JHT-nya. Kena PHK atau berhenti bekerja," jelas Hanif.

Namun Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G. Masassya buru-buru menambahkan bahwa memang belum semua karyawan yang di-PHK bisa langsung terakomodasi untuk mengambil dananya.

Selain itu, mengenai kapan kepastian pemberlakuan korban PHK bisa mencairkan dananya dalam waktu satu bulan tersebut belum dipastikan Menteri Hanif. Menurutnya, masukan publik tersebut masih akan dikaji. "Apakah nanti diberikan masa transisi atau apa, instrumen bentuknya apa kita kaji dulu. Prinsipnya kita terbuka dan sangat mendengar aspirasi pekerja," ujarnya.

Hanif menyatakan kajian pemerintah ini akan dilakukan dalam waktu dekat. Namun ia memprediksi proses revisi regulasi ini biasanya akan memakan waktu cukup lama. "Kalau pemerintah prinsipnya memberikan yang terbaik buat pekerja kita. Ini sekarang di depan kita ada UU, harus carikan terobosan hukum, bukan asal ubah," tambahnya.

SUMBER POLEMIK - Munculnya reaksi dan polemik atas pemberlakuan aturan JHT itu bersumber pada perubahan jangka waktu pencairan dana tersebut. Jika sebelumnya pencairan JHT setelah 5 tahun, dalam aturan yang baru pencairan sebagian baru boleh dilakukan setelah 10 tahun kepesertaan.

Sejatinya aturan pencairan dana JHT baru bisa dilakukan setelah 10 tahun itu telah ada sejak lama. Sejak diundangkannya  UU SJSN tahun 2004. Terutama  dalam Pasal 37 Ayat 3 UU No 40/2004 tentang SJSN.

Hanya saja aturan  itu,  sempat membuat kaget para buruh. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal bahkan mengaku sebagai aktivis buruh yang banyak membaca peraturan soal ketenagakerjaan kaget dengan perubahan pencairan JHT dari 5 tahun menjadi 10 tahun tersebut. Apalagi menurutnya baru bisa dicairkan 100% saat usia 56 tahun.

Ia mengaku tahu ada aturan itu semenjak heboh JHT beberapa hari lalu. Padahal menurutnya setelah ditelusuri, ketentuan ini sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN atau 11 tahun lalu.

"Saya saja, tahu setelah ada reaksi beberapa hari ini," kata Said kepada Jumat (3/7).

Said menuding ada persoalan dalam sosialisasi aturan tersebut. Menurut Said, apalagi penyusunan UU tersebut dilakukan dalam kondisi terburu-buru oleh pemerintahan periode sebelumnya. Selain itu sebagai aktivis buruh ia juga tak terlibat dalam penyusunan UU tersebut. Sementara sosialisasi tak ada. Sehingga saat aturan tersebut diimplementasian buruh berteriak.

Ia juga menyayangan tidak adanya pelibatan serikat pekerja dalam penyusunan dan pembahasan Peraturan Pemerintah (PP) tentang JHT. Sehingga timbul kegaduhan saat aturan tersebut diterapkan.  

"Saya saja tak tersosialisasi apalagi teman-teman buruh yang lain, harusnya tugas BPJS sebagai operator, juga Menteri Tenaga Kerja," katanya.

SOSIALISASI TERLAMBAT - Menanggapi tudingan kurangnya sosialisasi  ini, Direktur Pengupahan dan Jamsostek Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) Wahyu Widodo berdalih mepetnya sosialisasi perubahan ketentuan JHT karena presiden baru mengesahkan PP BPJS Ketenagakerjaan sehari sebelum BPJS beroperasi penuh.

"Kalau PP baru ditandatangi,  terus sosialisasi kurang karena mepet, jangan tanya ke saya, yang tanda tangan kan presiden. Aturan 10 tahun itu amanat UU (UU No 40 Tahun 2004), tidak bisa diubah," kata Wahyu  Jumat (3/7).

Menurut Wahyu, tenggat 1 Juli merupakan amanat UU No 40 Tahun 2004 yang harus dijalankan. Meski PP Nomor 46 Tahun 2015 yang merupakan turunan baru UU tersebut baru disahkan. Selain itu perubahan ketentuan tentang pencairan juga merupakan amanat UU, sehingga pemerintah harus jalankan. Menurut Wahyu banyaknya orang yang protes atas aturan tersebut wajar, karena ada proses perpindahan dari zona nyaman.

Terkait terlambatnya sosialisasi peraturan itu, Wahyu berdalih hal itu akibat, molornya pengesahan PP No 46 Tahun 2015 yang menjadi penjelas UU BPJS Ketenagakerjaan. "Kita mau sosialisasikan harus ada UU, lah PP-nya saja baru keluar, kenapa PP molor ya tanya ke Presiden," tambahnya. (dtc)

BACA JUGA: