JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembahasan Undang-Undang (UU) Minyak dan Gas (Migas) yang akan dilakukan DPR masa sidang mendatang diharapkan dapat memenuhi keseimbangan antara kepentingan kedaulatan migas dan menarik investor. Sebab, selama ini masih banyak pasal yang dikeluhkan dan abu-abu lantaran minimnya pengetahuan legislator membahas aspek migas.

Pengaturan migas selain harus memperhatikan aspek konstitusi, namun juga membutuhkan kepastian investasi. Apalagi, ditambah prediksi dua hingga tiga tahun ke depan permintaan minyak akan terus turun dan investor lebih senang bermain pada dollar AS. Sehingga investasi minyak akan terasa cukup berat.

"Kalau dulu produksi minyak 1,4 juta barel per hari, ke depan mustahil akan mengalami kenaikan," kata Direktur Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto dalam diskusi Pembahasan UU Migas di Ruang Wartawan Parlemen, Senayan, kemarin.

Berbicara ketersediaan migas, menurutnya tidak mutlak hitam putih, namun harus memenuhi tiga faktor pendukung. Yaitu sumber daya minyak dengan cadagan minyak 10 miliar barel, kepastian investasi untuk pengeboran dan kepastian dari UU Migas sendiri.

Ia mencontohkan, Amerika Serikat yang mengambil minyak pada lapisan minyak paling dalam dengan teknologi canggih. Sehingga saat ini mampu mengangkat minyak 15 persen lebih besar dari biasanya dan dapat memproduksi minyak melampaui Arab Saudi.

"Efektifitas eksplorasi harus konsisten dengan memperhatikan konstitusi, bukan hanya pro asing atau tidak," katanya

Menurutnya hal tersebut 70 persennya dapat dilakukan oleh non Pertamina. Sehingga mau tidak mau negara harus menyeimbangkan kepentingan nasional dan asing.

Selama ini kedaulatan migas Indonesia dicap lebih berpihak pada kepentingan asing. Sebab pembahasan UU Migas pun masih didominasi kepentingan politik baik di pemerintah maupun DPR. Jika pembahasan revisi UU Migas pada masa sidang ini masih didominasi kepentingan politik maka kedaulatan migas akan sulit diwujudkan.

"Padahal pasal-pasal dalam UU Migas merupakan kunci untuk mewujudkan kedaulatan migas sekaligus untuk kesejahteraan rakyat," kata Ramson Siagian Anggota Komisi VII DPR RI dalam kesempatan yang sama.

Ia membenarkan para legislator di DPR memang merupakan politisi yang sulit mengikuti hati nurani. Ditambah lagi pengetahuan yang
minim untuk membahas migas. Hal ini kadang menyebabkan legislator pasrah dengan keadaan.

Namun begitu ia mencoba menafsirkan masalah migas yang selama ini membelit Indonesia. "Problem pengaturan migas itu dari hulu," katanya.

Menurutnya, dahulu pusat pengaturan hulu berada di Pertamina namun sekarang SKK Migas dan BPH Migas lah pegangnya. Hal ini menjadi sumber permasalahan, pasalnya korupsi banyak terkadi di SKK Migas, sehingga kepercayaan rakyat pun rusak.

Dalam APBN-P 2015, lifting minyak dipatok sebesar 800 ribu barel per hari, tapi faktanya hanya sekitar 760 ribu barel per hari yang di lifting. Dari jumlah lifting tersebut sebanyak 480 ribu barel pengelolaan dilakukan oleh pemerintah, setelah dikurangi biaya perbaikan termasuk memperoleh keuntungan untuk negara mencapai Rp240 triliun. Sebelumnya, lifting minyak diketahui mencapai 1,4 juta barel per hari.

"Filosofi dasarnya harus dilihat, BPH Migas sebenarnya bukan lembaga untuk mengatur, sehingga bertentangan dengan konstitusi, karena itu dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)," katanya.

BACA JUGA: