JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sektor minyak dan gas bumi (migas) masih menjadi penyumbang terbesar bagi Indonesia. Di sektor migas pula banyak mafia "bermain", hingga pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) berupaya segera membenahinya. Misalnya, sektor gas dalam negeri selama ini dikuasai oleh para trader atau makelar gas yang bermodal kertas semata.

Sektor gas bumi juga menjadi salah satu fokus pemerintah untuk segera dibenahi. Kendati Indonesia memiliki kandungan gas alam cukup besar namun harga gas di dalam negeri ternyata lebih mahal dari harga gas di luar negeri maupun harga gas yang kita ekspor. Salah satu penyebabnya adalah penjualan gas dalam negeri dikuasai oleh para makelar. 

Wakil Ketua Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Fanshurullah Asa mengakui 80 persen trader gas yang ada di Indonesia justru trader yang tidak memiliki infrastruktur alias hanya modal kertas. "Kendati tak punya modal, tapi bisa punya alokasi gas, ini memang aneh, tapi terjadi," kata Fanshurullah,  Minggu (2/8).

BPH Migas mencatat, pada 2013, ada 39 trader gas namun hanya delapan perusahaan yang punya infrastruktur seperti pipa gas. Karena tercatat sebagai trader resmi, mereka mempunyai hak untuk untuk menjual atau mendapatkan alokasi gas. Delapan perusahaan yang punya infrastruktur gas tersebut yakni, PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk (Persero), PT Pertamina Gas (Pertagas), PT TGI, PT EHK, PT Majuko, PT SCI, PT Rabbana, dan PT Grasindo.

Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said pernah mengatakan, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menemukan fakta banyak trader gas yang hanya bermodal dokumen, tak punya infrastruktur. Parahnya, mereka ternyata mendominasi bisnis gas di Indonesia.

Menurutnya, jumlahnya mencapai 75 persen dari keseluruhan trader gas yang ada, yaitu 45 dari total 60 trader. Sedangkan yang punya infrastruktur, tercatat hanya ada 15 perusahaan. "Trader modal dokumen ini menyusahkan masyarakat karena membuat harga gas jadi lebih mahal," kata Sudirman di acara Indonesia Petroleum Association (IPA) Convex 2015, Rabu (20/5).

Sudirman mengatakan mereka bisa mendapat alokasi gas karena dekat dengan penguasa. Karenanya, pemerintah akan menertibkannya dengan membentuk lembaga agregator gas. Rencananya, lembaga ini akan dibuat setelah revisi Undang-Undang Minyak Dan Gas Bumi (UU Migas) tuntas.

TANPA MODAL TAPI SAH - Direktur Pembinaan Program Migas, Dirjen Migas Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi menjelaskan, selama ini memang aktivitas yang dilakukan para trader tanpa infrastruktur itu sah. Karena, memang aturan yang ada memungkinkan para trader berniaga gas meski tak punya  infrastruktur.

Namun, seiring berjalannya waktu, pemerintah melihat bahwa pola ini tidak efektif. Harga gas di konsumen akhir jadi sangat mahal karena banyaknya rantai dalam perdagangan gas. Harga di konsumen sangat jauh dari harga yang didapat oleh produsen gas.

"Karena, mata rantainya kepanjangan, jadinya harga (gas)nya mahal. Kami lihat perbedaan antara harga hulu sampai harga konsumen, itu hampir dari dua kali lipat. Kan nggak efektif ini," katanya kepada gresnews.com saat ditemui di acara halal bihalal Kementerian ESDM dengan jurnalis energi di Hotel Dharmawangsa Jakarta Selatan, Jumat (31/7).

Aturan yang memungkinkan para trader berbisnis gas tanpa infrastruktur antara lain Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2009 tentang Usaha Gas Bumi Melalui Pipa. Permen ini memberikan lampu hijau bagi trader gas modal dokumen untuk berbisnis dan mendapatkan alokasi gas.

Karena itu, lanjut Agus, pemerintah memandang perlu adanya aturan untuk menata penyaluran gas agar lebih efektif dan efisien. "Kemudian, ini kita sedang mengkaji, mengajukan, Peraturan Presiden tentang tata kelola gas," katanya.

Mengenai informasi bahwa salah satu alasan dibuatnya aturan ini karena ada praktik jual beli izin alokasi gas, dari satu trader ke trader lain, Agus menjawabnya dengan diplomatif. "Biar penegak hukum lah (kalau soal itu), saya nggak bisa komentar," katanya.

Agus mengaku tidak pernah melihat sendiri praktik jual beli izin alokasi gas antar trader itu. Namun dia membenarkan bahwa ada tendensi ke arah itu. "Saya sendiri nggak ngelihat. Tapi ada tendensi, ada potensi dan ada kemungkinan. Yang tadi, kalau mata rantainya terlalu panjang, tadi menimbulkan, kan masing-masing butuh margin. (Makanya) kalau bisa dijadikan satu," katanya.

BADAN BARU PENYANGGA BISNIS GAS - Menurut Agus, di Perpres yang sama, pemerintah juga merancang untuk membentuk sebuah badan penyangga bisnis gas di Indonesia. Fungsi badan penyangga ini untuk menyetarakan volume dan harga gas di Indonesia sehingga ada keadilan harga.

Badan penyangga ini akan menghapus kesenjangan (gap) harga gas yang selama ini ada. Badan penyangga ini nantinya akan menyamakan harga gas, dengan konsep multibuyer dan multiseller. "Namanya lagi kami cari, apa," kata Agus, Jumat (31/7).

Saat ini, menurut Agus, ada industri yang secara finansial kuat namun bisa menikmati gas murah. Hal itu karena, lapangan gas yang ada di dekatnya, kebetulan biaya produksinya murah, sehingga harga keekonomiannya juga rendah. Di sisi lain, ada industri yang tidak terlalu sehat keuangannya tapi terpaksa beli gas mahal. Hal itu karena, lapangan gas yang ada di dekatnya, kebetulan biaya produksinya tinggi, sehingga harga keekonomiannya juga mahal.

Badan penyangga ini nantinya juga bertugas untuk membangun infrastruktur gas. Badan ini akan menyambungkan infrastruktur gas di Indonesia. Sebab, salah satu penyebab harga gas mahal dan pasokan berbeda adalah infrastruktur yang tidak saling tersambung.

"Makanya perlu ada volume pool. Badan penyangga yang bisa nyambungin. Sekarang ini pada dasarnya (penyaluran gas) kan point to point. Dari sumber ke pengguna. (Sedangkan) sumber gas kan lambat laun akan turun," kata Agus kepada gresnews.com di Hotel Sultan Jakarta, Kamis, (2/7).

Badan penyangga ini akan membangun infrastruktur gas yang memadai agar memungkinkannya untuk mencampur gas, antara gas yang harga keekonomiannya tinggi dan rendah, dan dijual dengan harga rata-rata. "Mencampur itu maksudnya sebagai pool, nggak harus mencampur  (dalam arti) fisikal. Jadi dia bisa menjadi badan penyangga satu wilayah itu. Seperti swap (sistemnya). Sumber (gas)nya dari mana, harganya berapa, di-blend dengan yang lain. Sehingga tercipta harga rata-rata yang pas," ujar Agus.

Menurut Agus, fungsi Badan Penyangga ini nantinya akan diberikan kepada badan usaha yang punya kemampuan finansial yang cukup. "Rancangan kita sekarang, seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Nanti yang ditunjuk BUMN, tapi belum final, ini masih dalam pembahasan," katanya.

Nantinya badan penyangga ini dirancang sebagai sebuah entitas bisnis. Bisa berupa BUMN atau badan Usaha yang mempunyai kekuatan finansial yang cukup. Yaitu untuk membangun  infrastruktur dan mampu menguasai dan membeli gas dari para produsen. Peran ini, menurut Agus bisa saja jika diberikan ke Pertamina atau yang lainnya. "Bisa saja. Masih terbuka," katanya.

Namun, Agus tidak berani memastikan kapan perpres ini akan selesai dan ditandatangani. "Kami sih pengennya lebih cepet. Tapi kan ini Perpres, nggak di kita. Ada prioritas pembahasan. Kalau ngomong waktu nggak berani saya," kata Agus, Jumat (31/7).

Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja di Kantor Wakil Presiden, Rabu (29/7) sempat mengatakan bahwa Perpres ini diharapkan bisa selesai tahun 2015 ini. Selain itu, peraturan lain yang bertentangan dengan perpres ini akan direvisi untuk disesuaikan.

BISNIS DI TANGAN  CALO - Pengamat Energi Komaidi Notonegoro menilai rencana pemerintah mengatur trader gas sebagai langkah positif untuk memotong rantai distribusi atau rantai tata kelola gas. Dampaknya baik produsen atau konsumen sama-sama diuntungkan.

Menurut Komaidi, di negara-negara lain, trader gas memang diwajibkan untuk mempunyai infrastruktur.  Jika tidak punya, maka trader gas hanya sebagai makelar saja, bukan penjual. Masalahnya, selama ini bisnis gas di Indonesia banyak dikuasai calo-calo itu yang bertindak hanya sebagai penghubung semata.

"Masalahnya kalau semakin banyak calo, itu kan harga akhirnya akan semakin tinggi. Nah itu yang selama ini terjadi. Jadi tata niaga gas kita itu seperti itu, sehingga itu yang akan dibenahi oleh pemerintah," kata Direktur Eksekutif ReforMiner Institute itu kepada gresnews.com, Jumat (31/7).

Komaidi menjelaskan, dari informasi yang beredar, para trader gas ini biasa memperjualbelikan izin alokasi gas. Mereka punya kekuatan yang signifikan karena bisa mendikte, baik pelaku hulu maupun hilir gas, produsen maupun konsumen gas. Selain itu, kabar beredar menyebutkan para trader modal kertas ini juga punya kemampuan untuk menembus orang-orang yang punya kekuasaan.

Menurutnya, jika mereka tidak punya channel ke kekuatan politik maka tak akan bisa melakukan intervensi. Tanpa punya orang politik itu mereka kan sulit masuk dalam bisnis gas yang kompleks. "Bagaimana mungkin, mereka tidak punya infrastruktur, tidak punya modal tapi bisa terlibat dalam bisnis gas yang sedemikian komplek. Tentu secara sederhana mereka punya kedekatan dengan pengambil kebijakan di sektor itu," katanya.

Bahkan kata Komaidi, para calo di bisnis gas ini punya kekuatan untuk mengarahkan pasar gas, baik hulu maupun hilir. Meskipun mereka tidak punya infrastruktur, mereka bisa "memaksa" produsen gas untuk menjual gas melalui mereka. Begitu juga, mereka bisa "memaksa" konsumen untuk membeli gas dari mereka. "Istilahnya mereka beli di hulu murah jualnya ke hilir mahal," katanya.

Kekuatan itu, menurut Komaidi, berasal dari jaminan yang diberikan oleh para trader. Produsen butuh jaminan gas yang diproduksinya terbeli. Di dalam industri gas juga butuh jaminan yang besar. Kalau produsen tidak menjual ke trader ini, kalau gas sudah produksi dan tidak ada yang beli akan susah. Karena sifat gas tidak bisa ditampung  seperti minyak, kecuali dijadikan LNG lebih dulu. Tentu saja ada tambahan biaya bila gas dijadikan LNG lantaran lewat proses pengilangan.

Kepastian pembeli itu di dalam bisnis gas itu sangat penting, menurut Komaidi. Masalahnya, seringkali yang memberikan kepastian itu justru adalah trader tadi, bukan konsumen akhir. Sehingga, berapapun harga yang didapat produsen mereka akan menjualnya, meskipun lebih murah dari harga pasar. Mereka lebih memilih kepastian.

PERLU PEMBENAHAH MENYELURUH - Hal tersebut, menurut Komaidi, tidak sehat dalam bisnis gas. Kurang pas dan aneh. Sebab, seharusnya produsen yang sudah susah payah mengeborlah yang berhak menerima untung. "Padahal dia produksi gas nggak, punya infrastruktur juga nggak. Jadi aneh. Justru yang gemuk dia," katanya.

Selama ini, menurut Komaidi, praktik bisnis yang mereka jalankan membuat harga jual gas ke konsumen melambung. Misalnya harga gas dari kepala sumur, katakanlah 4, para trader ini bisa jual ke konsumen, katakanlah bisa 10-12. "Nggak ngapa-ngapain dia dapat yang paling besar," katanya.

Jika praktik calo gas ini dapat dihilangkan, Komaidi yakin akan ada banyak keuntungan. Harga gas di konsumen akhir bisa menjadi lebih murah. Karena selisih harga yang selama ini dinikmati oleh para trader yang tidak punya infrastruktur itu akan kembali ke konsumen. Namun, misalnya pun harga di konsumen tidak turun, maka produsen lah yang akan menikmati keuntungannya.

"Itu kan hulu migas yang akan menikmati. Sehingga nanti kalau mereka untungnya banyak, penerimaan negara juga banyak, eksplorasi mereka juga akan banyak lagi," kata Komaidi.

Komaidi juga mengapresiasi rencana pemerintah untuk membuat agregator gas yang disebut dengan Badan Penyangga. Menurutnya, agregator gas sebenarnya adalah badan semacam Bulog. Fungsinya untuk menstabilkan harga gas. "Harga gas dari hulu itu kan variasi. Nanti masuk ke situ, kemudian mereka rata-rata, baru mereka keluarkan ke konsumen," katanya.

Menurutnya, badan penyangga ini akan membuat konsumen bisa mendapatkan harga gas yang lebih terjamin dan lebih transparan. Hal ini akan menjadi solusi atas kesenjangan harga gas antar daerah yang selama ini terjadi di Indonesia. Akibatnya, harga produk dan daya saing industri antar daerah juga berbeda. Badan Penyangga ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan harga itu.

Untuk pelaksana fungsi badan penyangga, Komaidi memprediksi akan diberikan kepada BUMN yang 100 persen sahamnya milik pemerintah. Hal itu sesuai dengan draf revisi Undang-Undang Migas yang telah dibacanya. Karena bagaimanapun fungsi agregator ini adalah mengintervensi. Sedangkan intervensi sendiri lebih dekat ke fungsi pemerintah.

Pemerintah, menurutnya, akan bisa mengintervensi dengan maksimal jika yang ditugaskan sebagai badan penyangga itu adalah BUMN. Jika fungsi ini diserahkan ke sektor swasta, maka intervensi dari pemerintah tidak bisa penuh, karena pasti akan dipengaruhi pemegang saham yang lain. Kalau BUMN kan sepenuhnya sahamnya dipegang pemerintah. Sehingga ketika terjadi apa-apa dengan kebijakan gas nasional, pemerintah punya tangan penuh ke situ.

Komaidi juga mengatakan bahwa karena Badan Penyangga ini sifatnya bisnis, dan melakukan jual beli gas yang butuh cash flow maka sebaiknya diberikan kepada korporasi. Karena itu tentu saja lebih dekat ke BUMN. Bukan ke lembaga pemerintahan, seperti Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) misalnya. Pasalnya, anggaran lembaga pemerintah sedikit banyak mirip mekanisme penganggaran di APBN.

Menurut Komaidi, yang paling memungkinkan, fungsi ini nantinya dapat diberikan ke PT Pertamina (Persero). Baik dikelola sendiri ataupun kerjasama dengan korporasi lain, seperti PT Perusahaan Gas Negara (PGN). Kalaupun harus kerjasama, mungkin nanti Pertamina dengan BUMN yang lain. Katakanlah sebagian infrastrukturnya pakai milik PGN misalnya. Itu dikombinasikan, kalaupun 100 persen Pertamina juga tidak masalah. Tergantung nanti kebutuhannya, perkembangannya, seperti apa ke depan. (Agus Harianto/dtc)

BACA JUGA: