JAKARTA, GRESNEWS.COM - Proses pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Nomor  22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), hingga saat ini masih terjadi tarik ulur, antara pihak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut alotnya pembahasan karena pemerintah harus berhati-hati membahas revisi tersebut. Sebab pemerintah tidak ingin revisi UU Migas itu kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran bertentangan dengan UUD 1945.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya telah tiga kali melakukan uji materil (judicial review) terhadap UU Migas tersebut. Untuk itu pihaknya tidak ingin kejadian yang sama terulang kembali, sebab akan memberikan citra buruk bagi investor.

Sementara Ketua Komisi VII DPR RI, dari Fraksi Gerindra Gus Irawan mengatakan pembahasan revisi UU Migas alot karena RUU Migas memang merupakan sektor yang kompleks.

" Tapi sesungguhnya tidak ada kendala. Pembahasan terus berlangsung. Mudah-mudahan dalam masa sidang ini, bisa kami ajukan ke Baleg. Atau paling tidak di masa sidang berikutnya di awal Tahun 2017, dapat diselesaikan," ujar Gus Irawan kepada gresnews.com, Jumat (25/11).

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sendiri menjadwalkan revisi UU Nomor 22 Tahun 2001 akan di bahas bersama pemerintah tahun depan. Namun revisi UU itu merupakan bentuk upaya memperbaiki tata kelola migas ke arah yang lebih baik. Hanya saja dalam pembahasannya  tidak kunjung menemui titik terang.

Gus Irawan mengatakan penyusunan revisi UU  membutuhkan proses panjang. Diakuinya terdapat poin-poin penting dalam menyusun draft revisi UU Migas yang masih menjadi perdebatan hingga  pembahsannya menjadi lambat  di fraksi di DPR.

Menurutnya,  poin penting yang masih belum bisa disepakati antar fraksi DPR, diantaranya terkait Keputusan MK Nomor 36/2012 soal pembubaran BP Migas, karena dinilai kurang sesuai dengan UUD 1945. Namun setelah putusan MK itu, pemerintah mengganti BP Migas menjadi SKK Migas yang di bawah Kementerian ESDM. Menurutnya, SKK Migas seharusnya berlaku sementara, hingga disahkannya UU Migas baru.

"Urgensi lainnya adalah soal perbaikan tata kelola migas termasuk kontrak-kontrak migas, hak partisipasi wilayah, perpajakan dan cost recovery," ujarnya.

PERKUAT PERTAMINA - Pengamat Ekonomi dan Energi dari UGM Fahmi Radhi mengatakan, revisi UU Migas yang tengah dibahas di DPR, hendaknya didukung untuk memperkuat posisi Pertamina (Persero) sebagai National Oil Company (NOC). Sebab sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dimana 100 persen sahamnya dimiliku negara, maka Pertamina adalah representasi negara dalam penguasaan dan pengusahaan lahan migas.

"Jadi revisi UU Migas harus memberikan privilege kepada Pertamina. Privilege tersebut meliputi, pemberian hak utama dalam penawaran lahan migas yang baru maupun hak mengelola lahan yang kontraknya telah berakhir," kata Fahmi kepada gresnews.com, Jumat (25/11).

Untuk menguatkan Pertamina, ia juga menyarankan agar  RUU Migas secepatnya mengubah kelembagaan SKK Migas, agar sesuai dengan amanah konstitusi UUD 1945 dan keputusan MK. Untuk mendukung penguatan tersebut, opsi yang terbaik adalah dengan skema dua kaki, diantaranya menyerahkan fungsi dan kewenangan SKK Migas kepada Pertamina

Opsi dua kaki ini, kata dia,  mempunyai beberapa kelebihan yakni, Pertamina menjadi tulang punggung negara dalam mengembangkan  fungsi pengelolaan sumber daya alam migas. Sementara opsi kedua, Pertamina sebagai pengemban utama privilege yang diberikan pemerintah di sisi upstream (hulu).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan sebelumnya, mendesak revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang minyak dan Gas Bumi (Migas) agar secepatnya  dirampungkan.

"RUU Migas dan Minerba inisatif DPR,jadi tidak mungkin tersendat, kalau drafnya sudah sampai di DPR, dikirim dan diberitahukan kepada  Presiden, dan presiden akan menugaskan kepada kami," jelasnya. Di Gedung DPR RI, Jakarta,Kamis (20/10).

PENYEBAB ALOT PEMBAHASAN - Seperti diketahui UU Migas ini beberapa dari  pasalnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Pasal-pasal UU 22/2001 yang telah dibatalkan MK; diantaranya, Pasal 28 Ayat (2) dan ayat (3) soal menyerahkan penentuan harga BBM dan gas pada mekanisme persaingan. MK berpendapat harus ada ‘campur tangan’ pemerintah dalam kebijakan penentuan harga BBM maupun gas. Sebab, keduanya merupakan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak.

Juga ada revisi terhadap Pasal 12 Ayat (3) yang mengatur kewenangan Menteri ESDM dalam menetapkan badan usaha yang berhak melakukan eksplorasi maupun eksploitasi. Serta Pasal 22 Ayat (1) yang mewajibkan badan usaha menyerahkan seperempat bagian hasil produksinya untuk kebutuhan dalam negeri.

Pasal 11 ayat (2) UU Migas, yang mengatur pemberitahuan kepada DPR atas kontrak kerja sama yang telah disepakati pemerintah dan investor. Pasal ini dinilai bertentangan dengan Pasal 20A dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. MK berpendapat proses kesepakatan kontrak kerja sama bukan mendapat persetujuan, melainkan harus dikonsultasikan terlebih dahulu kepada DPR RI.

Selain pasal-pasal itu MK juga membatalkan 18 ketentuan terkait
kedudukan, fungsi, dan tugas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP migas) dalam UU tersebut. Sehingga BP Migas harus dibubarkan.

Kendati banyak pasal yang harus direvisi. Namun upaya revisi itu seperti mati suri. Padahal sudah sejak tahun 2010 revisi UU tersebut masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) namun pembahasannya tak kunjung kelar.

Anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa sejak tahun 2009-2014 DPR telah melakukan kajian dan riset untuk penyusunan revisi UU Migas. Namun draf hasil kajian tersebut tak bisa langsung digunakan, karena harus ada proses politik yang lebih dalam.

Menurutnya parlemen cukup sulit merespons harapan publik yang menyangkut berbagai aspek. Seperti aspek sosial, isu otoritas daerah, juga masalah mineral dan tambang, seperti PT Freeport, juga isu-isu soal teknologi. Sementara bagi investor yang terpenting adalah soal kepastian hukum dan kemudahan operasional.

Untuk mengatasi berbagai kebutuhan itu, pihaknya harus menentukan sikap. Namun menurutnya yang harus diutamakan adalah kedaulatan negara, disamping harus mengakomodasi fleksibilitas dan kepentingan investor, serta memberikan stabilitas sekaligus ruang untuk negosiasi.

Yudha sendiri menilai alotnya revisi UU Migas, disebabkan oleh beberapa hal di antaranya, migas sebagai sumber daya alam strategis tidak terbarukan merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sehingga harus dicari formulasi aturan agar pengelolaannya bisa optimal untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

Alotnya revisi itu, kata Yudha, juga berkaitan dengan pengaturan dana hasil migas. Selama ini, hasil migas yang mencapai Rp100 triliun lebih itu, hanya sekitar Rp14 triliun yang kembali ke Kementerian ESDM.  Sisanya untuk mendanai sektor-sektor lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor migas seperti dianggap bisa berjalan sendiri tanpa perlu alokasi anggaran yang semestinya.

Selain itu kegiatan usaha migas cenderung mengarah kepada liberalisasi. Akibatnya, penggodokan aturan migas menjadi bersinggungan dengan banyak aspek ekonomi. "Sektor migas harusnya tidak hanya sebagai sumber pendapatan negara, tapi harus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional," ujarnya.

BACA JUGA: