JAKARTA, GRESNEWS.COM - Revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi kembali menjadi pertanyaan hangat di kalangan para pengusaha sektor energi. Dalam pertemuan antara pengusaha sektor energi, khususnya migas dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, Kamis (3/11), masalah revisi UU Migas kembali dipertanyakan.

Dalam pertemuan yang berlangsung di kantor Kementerian ESDM itu, Wakil Ketua Kadin Bidang Energi dan Migas Bobby Gafur meminta pihak pengusaha dilibatkan dalam revisi UU tersebut. "Mohon dalam finalisasi revisi UU Migas, kami siap untuk berdiskusi," kata Bobby.

Menanggapi permintaan itu, Jonan menegaskan, revisi UU Migas adalah inisiatif DPR. Pihaknya masih menunggu undangan dari DPR untuk membahas revisi UU Migas bersama-sama. "Revisi UU Migas ini inisiatif DPR, kami masih menunggu dari DPR," ujarnya.

Sebelumnya, para pengusaha mengeluh karena mandeknya revisi UU Migas membuat para pengusaha nasional mengalami kesulitan mengembangkan bisnisnya. Bobby Gafur mengatakan, revisi UU Migas memang penting karena investor dan perusahaan-perusahaan di sektor ini sangat mungkin akan menunda atau bahkan mengurungkan niat investasi mereka karena ketiadaan regulasi yang pasti.

Padahal, kata Bobby, pemulihan industri migas sendiri, selain bergantung pada harga minyak, juga akan sangat ditentukan belanja modal perusahaan-perusahaan migas. Dalam konteks inilah, regulasi terkait industri migas akan menjadi faktor kunci penentu masa depan bisnis migas.

UU Migas dibutuhkan sebagai payung hukum yang akan menjadi acuan dan panduan bagi industri di sektor ini untuk memutuskan berbagai hal yang strategis. "Karena itu, sependapat dengan banyak kalangan, kami pun berharap agar pembahasan atas Rancangan UU Migas yang saat ini masih digarap di DPR dapat segera selesai," ujar Bobby.

Kadin sendiri, menurut Bobby, telah memberikan masukan masukan yang diharapkan dapat bermanfaat dalam proses pembahasan revisi UU Migas tersebut. Namun, dirinya heran kenapa pembahasannya sampai sekarang belum tuntas.

"Kami juga telah menyampaikan rekomendasi tersebut kepada Kementerian ESDM, mencakup enam aspek, kelembagaan, kerjasama, kapasitas nasional, fiskal dan keekonomian, tata kelola minyak, dan aspek tata kelola gas. Tapi kenapa belum selesai padahal sudah dibahas sejak 2008," ujarnya.

Meski begitu, revisi UU Migas diharapkan juga tak ikut merombak aturan yang sudah bagus, misalnya terkait insentif dan cost recovery. "Banyak juga kebijakan yang bagus di dalam negeri kita, maka jangan sampai UU Migas direvisi malah mematikan pengusaha dalam negeri," tegasnya .

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, pemerintah harus berhati-hati dalam melakukan pembahasan UU Migas. Alasannya, karena pemerintah tidak ingin revisi UU Migas kembali di uji materi di ke Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran melanggar UUD 1945. Arcandra mengatakan, MK sebelumnya sudah tiga kali melakukan uji materi terhadap UU Migas yang lama.

Karena itu pihaknya tidak ingin kejadian yang sama terulang lagi, sebab akan memberikan citra buruk bagi investor. "Jika melihat dari pengalaman UU No 22/2001 tentang Migas, maka kita tidak ingin hasil revisinya mengalami nasib yang sama seperti adanya judicial review, hingga tiga kali, karena dengan begitu akan membuat buruk bagi dunia usaha dan kondisi migas di dalam negeri," kata Arcandra.

Arcandra ,menjelaskan,pasca putusan MK tersebut sampai saat ini belum ada pengaturan definitif soal tata kelola migas baik di sektor hulu ataupun di sektor hilir. Karena itu diharapkan revisi UU Migas ke depanya akan menjadi aturan definitif yang memberikan kepastian bagi investor di sektor migas.

"Hal ini membuat kepastian berusaha di sektor hulu menjadi berpengaruh terhadap minat investor dalam melakukan investasi di Indonesia, salah satunya terkait kepastian hukum keberlakuan kontrak, fiskal, pengurusan perizinan dan pembebasan lahan," jelasnya.

Dalam proses judicial review yang lalu, dia menyebutkan, MK sudah memberikan pedoman, tata kelola migas harus sesuai semangat pasal 33 UUD 1945, sehingga bentuk kelembagaannya merupakan ada wakil negara yang akan berkontrak dengan pihak lain, dari perusahaan asing ataupun perusahaan lokal. "Wakil negara harus berbentuk perusahaan atau B to B, agar dalam langkah strateginya adalah menyusun tata kelola sesuai semangat keputusan MK," ujarnya.

PERKUAT PERTAMINA - Selain itu, Arcandra juga menyatakan keinginannya agar revisi UU Migas dapat memperkuat BUMN perminyakan, yaitu PT Pertamina (Persero). Caranya dengan mengalihkan cadangan migas nasional yang saat ini dikuasakan kepada SKK Migas kepada Pertamina.

Cadangan migas nasional akan dijadikan leverage alias aset yang dapat digunakan Pertamina untuk mencari pinjaman. Dengan begitu, keuangan Pertamina bisa lebih kuat, lebih gesit, bisa berinvestasi untuk melakukan eksplorasi migas, membangun infrastruktur-infrastruktur migas, dan sebagainya. "Masalah aset, bisa kita monetisasi sebagai leverage. Sementara ini aset migas kita dikelola oleh SKK Migas yang bukan lembaga bisnis. Sekarang bagaimana agar aset-aset ini bisa kita manfaatkan agar NOC kita kuat," ujar Arcandra.

Penguatan NOC ini, sambungnya, bertujuan untuk memperkuat kedaulatan energi nasional. Arcandra ingin Pertamina bisa seperti Saudi Aramco di Arab Saudi, Petrobras di Brasil, atau Petronas di Malaysia.

Meski begitu, langlah ini dinilai juga berisiko. Pasalnya, jika investasi yang dilakukan mengalami kegagalan, negara bisa kehilangan aset. Terkait hal ini, VP Corporate Communication Pertamina Wianda A Pusponegoro, menyatakan 70% investasi Pertamina adalah untuk bisnis hulu, yakni eksplorasi dan produksi migas.

Kalau nantinya cadangan migas nasional jadi leverage Pertamina, 70% pinjaman yang diperoleh akan dialokasikan ke hulu, khususnya untuk mengakuisisi blok-blok migas di luar negeri. Pertamina memang harus ekspansi ke luar negeri karena cadangan migas di dalam negeri sudah tinggal sedikit. Tapi agar terhindar dari risiko kehilangan uang banyak, Pertamina akan lebih banyak menginvestasikan dana untuk mencaplok blok-blok yang sudah berproduksi, bukan blok yang cadangannya belum terbukti dan masih perlu dieksplorasi.

Blok-blok yang diakuisisi pun tak sembarangan. Paling tidak Pertamina harus bisa membawa pulang migas sebanyak 30.000 barel setara minyak per hari (barrel oil equivalent per day/boepd) ke Indonesia. Ini untuk menjamin kebutuhan di dalam negeri, supaya ketahanan energi nasional terjaga.

"Investasi kami 70% untuk hulu. Kami bisa meningkatkan cadangan dan produksi minyak. Kami akan fokus pada blok-blok yang sudah berproduksi, kami rencana masuk ke Iran, Rusia, kami akan benar-benar mengkaji blok-blok produksi, minimal kami bisa membawa pulang migas 30.000 boepd. Kami harus fokus di lapangan-lapangan yang produksinya sudah relatif stabil," ujar Wianda, Kamis (3/11).

Kalau pun yang diakuisisi adalah blok yang statusnya masih eksplorasi, cadangannya harus cukup besar. "Jadi blok produksi adalah prioritas kami. Memang kami punya blok-blok yang masih berstatus eksplorasi, tapi punya cadangan terbukti cukup menjanjikan. Kami punya target terus meningkatkan produksi," Wianda menambahkan.

Untuk investasi hulu migas di dalam negeri, terutama untuk blok-blok lepas pantai (offshore) di laut dalam Indonesia Timur yang risiko dan tingkat kesulitannya tinggi, Pertamina akan mencari mitra sehingga risiko bisa dibagi. "Kalau memang kami harus ada mitra, kami harus bermitra untuk sharing risk, dan itu hal yang wajar dalam bisnis migas yang padat modal dan padat teknologi," pungkasnya.

TAK BOLEH BERTENTANGAN DENGAN UUD 45 - Apapun langkah yang akan dilakukan pemerintah dan DPR terkait revisi UU Migas, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia Yusri Usman mengatakan, prinsipnya UU Migas itu tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Khususnya Pasal 33 terkait pengelolaan sumber daya alam dikuasai dan dikelola oleh negara  untuk kepentingan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

"Kepastian hukum adalah menjadi jaminan bagi pihak investor nasional dan asing untuk berinvestasi," kata Yusri kepada gresnews.com, Kamis (3/11).

Selain itu, birokrasi yang bersih menjadi faktor utama dalam segala proses bisnisnya menjadi transparan dan akuntabel. Selanjutnya, sudah saatnya perusahaan BUMN Migas diberikan kepercayaan yang besar dalam mencapai ketahanan energi nasional.

"Sehingga tidak lah salah semangat UU No 8 tahun 71 dengan memberikan kepercayaan yang besar kepada Pertamina adalah suatu keniscayaan," ujarnya.

Yusri mengingatkan agar proses revisi UU Migas yang sedang dibahas di komisi VII DPR-RI harus benar-benar dikawal oleh rakyat agar UU tersebut tidak pro asing dan merugikan kepentingan nasional. Dia menilai, lahirnya UU Migas Nomo 22 tahun 2001 adalah sebuah "kecelakaan" sejarah.

Pasalnya pembentukan UU tersebut melibatkan pihak asing dalam hal ini USAID yang memberikan bantuan dana sebesar US$20 juta untuk proses pembahasan UU. Wajar saja jika kepentingan asing banyak masuk dalam beleid migas yang dibentuk era Menteri ESDM Kuntoro Mangkusubroto itu.

"Ini fakta, dapat ditemukan pada archive di kantor Kedubes Amerika Jakarta, pada tanggal 29 Agustus 2008 Kedubes AS telah mengeluarkan pernyataaan bahwa keterlibatan USAID terhadap proses reformasi sektor energi yang menjadi produk UU Migas nomor 22 tahun 2001," tegasnya. (dtc)

BACA JUGA: