JAKARTA, GRESNEWS.COM - PT Pertamina (Persero) telah meluncurkan bahan bakar minyak (BBM) jenis baru, Pertalite, pada Jumat (24/7), di Jakarta. Mulai hari itu juga, BBM RON 90 itu mulai uji pasar serentak di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Untuk harga Pertalite, BUMN migas itu mematok harga Rp 8.400 per liter. Harga tersebut lebih mahal Rp 1.000 dari harga Premium RON 88 dan lebih murah Rp 900 dari harga Pertamax RON 92. Peluncuran Pertalite ini menandakan datangnya masa baru yakni zaman dimulainya menghilangkan subsidi BBM.

Sejatinya sudah sejak dari awal tahun 2015 Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said meminta agar masyarakat mulai membiasakan diri menghadapi fluktuasi harga BBM. Soalnya, Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 sudah mengatur bahwa bahan bakar yang disubsidi pemerintah hanya solar dan minyak tanah. Sementara itu, premium bukan lagi barang subsidi sehingga penentuan harganya mengikuti mekanisme pasar.

Tentu saja banyak yang menentang kebijakan pemerintah tersebut. Kebijakan pemerintah dalam melepaskan harga BBM subsidi melalui mekanisme pasar dinilai tidak sesuai dengan UUD 1945. Di satu sisi, kebijakan tersebut juga tidak membawa manfaat bagi PT Pertamina (Persero).

Ketua Komisi VI DPR RI Hafisz Tohir mengatakan kebijakan pemerintah salah karena telah mencabut subsidi BBM dan menyerahkan kepada mekanisme pasar. Ia menegaskan pemerintah wajib mengevaluasi kembali harga BBM dari harga yang ditetapkan saat ini.

Menurutnya, saat ini harga minyak dunia mengalami fluktuasi hingga mencapai US$50 per barel. Dia menilai harga minyak dunia kembali akan mengalami penurunan diikuti dengan masuknya kembali minyak asal Iran ke pasar global.

Dia menambahkan hal itu terjadi karena adanya kesepakatan bersejarah nuklir antara Iran dengan enam negara-negara besar setelah perundingan yang alot selama 10 tahun diselingi embargo minyak Iran pada 2012. "Bila perlu saat ini juga menurunkan kembali harga BBM sesuai dengan harga keekonomian saat ini yang menunjukkan harga minyak turun. Ini mendesak dilakukan pemerintah untuk membangkitkan ekonomi nasional yang sedang lesu," kata Hafisz kepada gresnews.com, Jakarta, Senin (3/8).

Menurutnya, jika pemerintah kembali menurunkan harga BBM, maka dapat merangsang daya beli masyarakat yang sempat menurun. Sebab, daya beli atau sektor konsumsi masyarakat menjadi salah satu andalan di sektor ekonomi untuk menekan laju inflasi. "Pemerintah seharusnya hadir di tengah masyarakat," kata Hafisz.

MEMPERUMIT TATA NIAGA BBM - Pengamat dari Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean menilai kebijakan pemerintah dengan menyerahkan harga BBM kepada mekanisme pasar akan memperumit tata niaga dan tata kelola BBM. Sebab, saat ini Pertamina terus mengalami kerugian hingga puluhan triliun.

Menurutnya, pemerintah sudah mengetahui bahwa Pertamina sering mengalami kerugian dengan menjual BBM subsidi, tetapi justru malah menyerahkan harga BBM melalui mekanisme pasar. Pertamina menderita kerugian cukup besar dari bisnis penjualan bahan bakar minyak (BBM), jumlahnya mencapai Rp 12,517 triliun selama 2015.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja merinci, kerugian Rp 12,517 triliun tersebut paling besar berasal dari penjualan bensin Premium. "Jumlah kerugian tersebut terdiri dari Premium sebesar Rp 12,091 triliun, dan solar Rp 425,19 miliar," kata Wiratmaja.

Ia mengatakan, kerugian tersebut muncul akibat pemerintah tidak menaikkan harga BBM solar dan premium ketika harga keekonomian kedua jenis BBM tersebut naik. Pemerintah terakhir melakukan penyesuaian harga BBM pada 28 Maret yaitu solar Rp 6.900 per liter dan Premium Rp 7.300 per liter. Di sisi lain, harga minyak dunia yang meningkat pada beberapa bulan terakhir, juga berpengaruh terhadap perhitungan harga BBM.

Namun pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan harga BBM dengan tujuan menjaga stabilitas ekonomi masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan Pertamina menderita kerugian. Seharusnya harga BBM seperti Premium pada April sudah naik jadi Rp 8.150 per liter. Bahkan pada Juni harusnya harga solar Rp 9.200/liter dan Premium Rp 9.350 per liter.

Artinya, sejak April harga Premium harusnya Rp 8.150/liter, tapi pemerintah menetapkan Rp 7.300/liter. Artinya Pertamina rugi Rp 850/liter. Kemudian sejak Juni, harga Premium harusnya Rp 9.350/liter, tapi pemerintah menetapkan harganya tetap Rp 7.300/liter. Artinya Pertamina rugi jualan Premium Rp 2.050/liter.

Ferdinand mengusulkan agar pemerintah dengan Pertamina segera menghentikan mekanisme pasar, kemudian mengganti dengan mekanisme penentuan harga jual BBM secara flat yang berlaku hingga akhir tahun. Menurutnya saat ini Pertamina dan pemerintah sebaiknya menetapkan harga jual untuk premium sebesar Rp 7.500 per liter. Dia menilai masyarakat dapat menerima harga keekonomian tersebut.

"Kenapa harga BBM tidak turun? Karena selama ini Pertamina jual rugi, rugi hingga puluhan triliun karena mengimpor minyak lebih mahal dari harga jual ke pasar, sementara BBM sudah tidak disubsidi. Ini tentu mengacaukan Pertamina," kata Ferdinand.

TUTUP KERUGIAN - Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menjelaskan alasan pemerintah belum menurunkan harga BBM ditengah kondisi harga minyak dunia menurun dikarenakan untuk menutupi kerugian yang ditanggung oleh Pertamina. Menurutnya saat harga minyak dunia naik, pemerintah juga tidak menaikan harga BBM akibatnya Pertamina harus menelan kerugian.

Pemerintah memutuskan untuk tidak melakukan penyesuaian (naik atau turun) harga bahan bakar minyak (BBM), baik itu Premium maupun Solar. Padahal saat ini harga minyak sedang turun di level US$ 50 per barel. "Harga minyak memang sedang turun, tapi keuntungan (Pertamina jual BBM) masih pada batas aman ya," katanya.

Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 39 tahun 2014 Tentang Perhitungan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (BBM), badan usaha hanya mendapatkan margin usaha 5 persen-10 persen. Tetapi, mekanisme pembelian minyak mentah dan BBM Pertamina adalah tiga bulan sebelumnya, jadi walau saat ini harga minyak turun, tapi Pertamina membeli minyak dan BBM pada saat harga masih tinggi.

Apalagi, PT Pertamina (Persero) tercatat kerugian Rp 12 triliun lebih dari penjualan Premium dan Solar. "Pertamina selama ini defisit karena menjual BBM di bawah harga keekonomian. Ini yang akan kita pelajari," tutupnya.

PEREMAJAAN KILANG - Proses menuju liberalisasi harga BBM semakin kentara. Pertamina saat ini sedang melakukan peremajaan kilang-kilang minyaknya dalam program Research Development Master Plan (RDMP), ditargetkan selesai pada 2020. Sehingga, nantinya baik bensin Premium atau Pertalite sudah tidak lagi dijual di SPBU, yang ada hanya RON 92 alias Pertamax.

Sudirman mengatakan, hadirnya Pertalite juga sejalan dengan rekomentasi dari Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi, di mana tim yang dulu dipimpin Faisal Basri merekomendasikan agar masyarakat mengkonsumsi BBM yang lebih bersih dan oktannya lebih tinggi.

"Masyarakat bisa mengonsumsi BBM lebih bersih bukan bersubsidi. Kan memang rekomendasi Tim Reformasi itu menggunakan BBM yang lebih bersih, oktannya lebih tinggi," katanya.

Namun, Sudirman menegaskan, begitu peremajaan kilang Pertamina selesai, maka BBM yang tersedia di Indonesia hanya akan tersedia RON 95. "Sambil menunggu ke RON 92, kalau kilang selesai dan Pertamina punya blending facility yang lebih baik, kita akan ke sana," ungkapnya.

Hal yang sama juga diungkapkan Menko Perekonomian Sofyan Djalil. Secara berkelanjutan, bensin jenis Pertalite juga akan dihapus dan diharapkan oktan paling rendah yang disediakan di Indonesia adalah RON 92 atau setara Pertamax. Seperti yang juga tersedia di banyak negara.

HARGA TERJUN BEBAS - Harga minyak kini terjun hingga 5 persen sepanjang perdagangan Senin (3/8), ke titik terendahnya sejak Januari 2015. Minyak jenis Brent turun ke bawah US$ 50 per barel, karena pelemahan aktivitas pabrik-pabrik di China. Penurunan harga minyak ini juga didorong oleh melimpahnya pasokan dunia, sementara permintaannya melemah.

Minyak produksi Amerika Serikat (AS), harganya sudah turun 21 persen sepanjang Juli, ke tingkat terendahnya sejak 2008 di tengah peningkatan pasokan, dan jatuhnya bursa saham China, selaku konsumen energi terbesar dunia. Kemarin, data memperlihatkan, pertumbuhan pabrik manufaktur di China turun, dan belanja konsumen di AS juga melambat.

Dilansir dari Reuters, Selasa (4/8), harga minyak jenis Brent turun US$ 2,69 (5,2 persen) ke US$ 49,52 per barel. Sementara harga minyak produksi AS turun US$ 1,95 (4,1 persen) ke US$ 45,17 per barel.  "Ini karena pelemahan ekonomi," kata analis Matt Smith.

Produksi minyak dari negara anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) juga diprediksi bakal mencapai titik tertingginya di Juli ini. Harga minyak di perdagangan hari ini turun signifikan, ini terjadi karena adanya kekhawatiran kelebihan pasokan minyak dunia dan stok minyak Amerika Serikat (AS), serta pelemahan dolar AS terhadap mata uang lain seperti euro.

Investor Asia memperkirakan produksi minyak negara-negara OPEC mencapai sekitar 3 juta barel per hari. Angka ini lebih tinggi dari permintaan harian di kuartal-II 2015. "Kata kuncinya, kelebihan pasokan" kata Kepala Analis Pasar di MCM Markets di Sydney, Ric Spooner, seperti dilansir CNBC, Rabu (29/7).

Berdasarkan data Reuters yang dikutip CNBC, OPEC memproduksi minyak sebanyak 31.250.000 barel per hari pada kuartal II-2015, padahal permintaan minyak dunia hanya 28.260.000 barel per hari. Apalagi, harga minyak Brent berdasarkan kontrak pembelian untuk pengiriman September turun US$ 14 sen menjadi US$ 53,16 per barel. Sebelumnya harga minyak Brent juga anjlok US$ 17 sen pada sesi sebelumnya US$ 52,28 per barel atau terendah sejak 2 Februari, saat itu harga minyak jatuh akibat kekhawatiran jatuhnya pasar saham China. Sedangkan harga minyak mentah AS untuk pengiriman September turun US$ 12 sen menjadi US$ 47,86 per barel, setelah mengakhiri sesi sebelumnya naik 59 sen.

Investor juga menunggu hasil dari pertemuan Federal Reserve AS pada Rabu yang berencana menaikkan suku bunga AS pada awal September. Hal ini akan membuat dolar AS makin menguat. Hal ini akan membuat harga minyak bakal lebih mahal bila menggunakan mata uang selain dolar AS.

Ric Spooner mengharapkan, The Fed segera merealisasikan rencana menaikkan suku bunga tahun ini. "Tapi tingkat kenaikan akan sangat sederhana," katanya.

Seperti diketahui, dolar AS tergelincir terhadap enam mata uang utama di perdagangan Asia pada Rabu, sementara euro menguat terhadap dolar. Indeks dolar turun menjadi 96,505, atau 0,27 persen, setelah penutupan di 96,745 pada sesi sebelumnya. (dtc)

BACA JUGA: