JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pasca amandemen ke-4 Undang Undang Dasar 1945 pada 2003 lalu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) praktis lumpuh, dinilai tidak berguna, serta tidak lagi dapat membuat produk perudangan yang mengikat. MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. Kedudukan MPR lebih dominan hanya sebagai joint session (sidang gabungan) dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) daripada menjadi lembaga permanen (permanent body).
 
“Pasca amandemen konstitusi peran MPR memang menjadi tidak signifikan, praktis tinggal mengangkat dan memberhentikan Presiden,” kata Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC) Sulastio kepada Gresnews.com, Rabu (8/10).
 
Kewenangan itu pun, kata Sulastio, hanya dapat dilakukan melalui sidang istimewa jika diminta DPR. Hal ini diatur dalam Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan tentang Sidang Istimewa.
 
“Ini yang tidak sejalan dengan prinsip check and balances antar lembaga tinggi negara. Dengan kondisi ini, MPR sebenarnya hanya merupakan joint session DPR dan Dewan Perwakilan Daerah,” tegasnya.
 
Pendapat serupa disampaikan Institute for Strategic and Indonesia Studies (ISIS). Menurut ISIS, MPR telah kehilangan kewenangan membuat Ketetapan MPR (TAP MPR) yang dulunya merupakan keputusan tertinggi negara dan mengikat semua lembaga tinggi negara. MPR juga tidak lagi memiliki kewenangan menetapkan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dulu merupakan strategi negara  yang harus ditaati semua lembaga tinggi negara.
 
Bahkan MPR kehilangan kewenangan meminta pertanggung-jawaban presiden, menolak atau menerima pertanggung-jawaban presiden atas pelaksanaan GBHN tersebut. Tidak sampai disitu, MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengangkat presiden dan memberhentikan presiden di tengah jalan. Pemberhentian presiden harus melewati proses yang panjang.
 
“Proses panjang itu harus melewati DPR hingga  putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak mudah,” kata Direktur Eksekutif ISIS Kisman Latumakulita kepada Gresnews.com, Rabu (8/10).
 
Pelumpuhan kewenangan MPR itu, lanjut Kisman, ditandai dimulainya  demokrasi liberal, demokrasi pemilu langsung, demokrasi voting, demokrasi 50%+1, demokrasi yang berakar pada nilai nilai individualisme. “MPR sekarang tidak lain adalah macan ompong. MPR bukan lagi manifestasi kedaulatan rakyat,” jelasnya.
 
Seperti diketahui, pemilihan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sudah usai. Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali resmi melantik lima pimpinan MPR terpilih periode 2014-2015, Rabu, (8/10) sekitar pukul 05.30 WIB.
 
Kelimanya adalah Zulkifli Hasan dari Partai Amana Nasional (PAN) menempati posisi Ketua MPR. Sedangkan wakil ketua masing-masing diberikan kepada Mahyuddin dari Fraksi Golkar, Hidayat Nur Wahid dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), EE Mangindaan dari Fraksi Partai Demokrat (PD) dan Oesman Sapta dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
 
 

BACA JUGA: