Badan Anggaran menyatakan akan dibutuhkan tambahan anggaran negara senilai Rp200 miliar jika MPR melakukan penambahan pimpinan MPR menjadi 11 orang. Perkiraan kebutuhan anggaran itu disampaikan Wakil Ketua Badan Anggaran MPR, Asri Anas menanggapi wacana penambahan pimpinan MPR menjadi 11 orang.

Asri mengingatkan bahwa saat ini kepercayaan masyarakat terhadap parlemen di Senayan masih sangat rendah. Di sisi lain kondisi keuangan negara saat ini sedang susah. Saya melihat kesan bagi-bagi kekuasaan itu sangat kental," ujarnya kepada wartawan, Rabu (24/5).

Ia memaparkan hitung-hitungan anggaran bila  jumlah pimpinan MPR ditambah dari 5 pimpinan MPR menjadi 11 orang, kemudian jumlah pimpinan dari DPR 5 menjadi 7 dan jumlah pimpinan DPD dari 3 menjadi 5. Dia menyebut anggaran pimpinan MPR RI mencapai sebesar Rp46.474.000.000 di luar gaji dan tunjangan.

"Jika tambah 6 maka asumsi kami bisa melebihi Rp100 miliar. Itu di luar tunjangan dan kegiatan sosialisasi pimpinan yang asumsi kami bisa sampai Rp160 M," ungkap anggota DPD asal Sulawesi Barat ini.

Jumlah itu menurut Asri belum termasuk biaya penambahan ruangan pimpinan baru hingga belanja barang. "Asumsi kami, dampak penambahan pimpinan bisa menyentuh angka Rp200 miliar di tahun 2018 khusus membiayai 11 pimpinan MPR RI," jelasnya.

Ia memastikan anggaran serupa juga akan terjadi di DPR dan DPD ketika jumlah pimpinannya ditambah.

Ia pun menyayangkan proses pembahasan revisi UU MD3 yang justru tidak membahas substansi ketatanegaraan seperti misalnya soal formula hubungan DPD dan DPR. Bahkan revisi UU MD3 sama sekali tidak berusaha mengakomodir hasil judicial review Mahkamah Konstitusi tentang penguatan DPD.

"Menurut saya, sekali lagi revisi ini hanya hanya menjadi kedok untuk penambahan pimpinan," ungkap Asri.

Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang juga melihat usulan penambahan kursi pimpinan MPR  sebagai ekspresi kerakusan partai.

"Ini soal kekuasaan karena revisi UU MD3 salah satu poinnya mengakomodasi salah satu partai pemenang pemilu. Padahal sebelumnya pemenang pemilu berhak menjadi pimpinan DPR, lalu revisi dilakukan tetapi berkembang seperti sekarang," ujarnya, Rabu (24/5).

Ia juga menilai usulan tersebut, hanya sebagai pemborosan APBN. Alasannya, setiap pimpinan pasti memerlukan fasilitas tambahan.

"Efek dari penambahan jumlah kursi berdampak pada anggaran dana yang sangat besar. Belum lagi fasilitas seperti pengawalan protokol dan lain sebagainya. Berikutnya, masyarakat semakin muak dengan parpol," ujar Sebastian.

Menurut sebuah lembaga atau organisasi yang efisien adalah organisasi yang ramping dan setiap struktur memiliki fungsi yang jelas. Ia melihat usulan penambahan kursi pimpinan dewan tidak dipertimbangkan secara rasional. (dtc/rm)

BACA JUGA: