JAKARTA, GRESNEWS.COM - PT Pertamina (Persero) menyatakan kenaikan harga gas Elpiji 12 Kilogram (Kg) berlaku sejak tanggal 10 Oktober 2014 pukul 04.00 waktu setempat. Langkah tersebut diambil Pertamina karena tingginya harga LPG di pasar internasional dan turunnya nilai tukar rupiah yang menyebabkan beban kerugian perusahaan akan semakin tinggi.
Hal itu sangat mempengaruhi harga produksi elpiji khususnya gas non subsidi yang dijual dalam kemasan tabung 12 kilogram.

Seperti dikatakan Vice President Gas dan Gas Domestik Pertamina Gigih Wahyu, saat ini Indonesia masih banyak mengimpor produk liquified petroleum gas (LPG/elpiji). Bahkan lebih dari setengah pasokan elpiji di dalam negeri adalah barang impor. "Impor elpiji kita sebanyak 58% dari total kebutuhan 6,1 juta MT (metrik ton)," ungkapnya, Rabu (10/9).

Dari total kebutuhan 6,1 juta MT per tahun, lanjut Gigih, yang dipasok dari dalam negeri hanya 2,5 juta MT. "Pasokan elpiji dalam negeri sudah kita serap semua dari KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) dan kilang Pertamina. Tapi belum cukup," katanya.

Harga yang dibayar untuk impor elpiji pun cukup mahal. Menurut Hanung Budya, Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina, saat ini harga pasar elpiji adalah Rp 12.192 per kg. Sementara Pertamina menjualnya dengan harga lebih murah. Untuk elpiji ukuran 12 kg, saat ini harga jualnya adalah Rp 7.959 per kg. Sementara untuk ukuran 3 kg lebih murah lagi, yaitu Rp 4.250 per kg, karena disubsidi pemerintah.

Akibat kenaikan ini, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan memprediksi akan banyak masyarakat beralih ke gas elpiji 3 kg. Hal itu, kata dia, bisa dibuktikan dengan munculnya beberapa berita yang menunjukkan adanya kelangkaan gas elpiji 3 kg dan juga 12 kg.

Peralihan ini kata Mamit terjadi karena kesalahan strategi pemerintah yang terlalu memudahkan masyarakat mendapat gas elpiji ukuran tersebut saat melakukan konversi minyak ke gas dahulu. "Di satu sisi dari pemerintah tidak memperkuat pengawasannya," kata Mamit kepada Gresnews.com, Rabu (10/9).

Oleh karena itu, saat ini Mamit mengharapkan pemerintah harus kekat melakukan pengawasan distribusi gas elpiji khususnya ukuran 3 kilogram agar tidak lari kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, Mamit meminta kepada pemerintah dan Pertamina untuk tetap waspada akan dampak terhadap kenaikan gas elpiji 12 Kg.

Menurutnya dampak dari kenaikan gas elpiji pasti akan ada praktek-praktek pengoplosan gas yang semakin besar. Untuk itu pemerintah dan Pertamina untuk tetap meningkatkan pengawasan. "Memang dampak daripada kenaikan ini pasti ada ke masyarakat karena hari ini Elpiji sudah menjadi kebutuhan. Tinggal bagaimana pengawasan yang harus kita tingkatkan lagi," kata Mamit.

Kendati demikian, Mamit mengakui Pertamina memang harus menaikkan harga gas elpiji 12 kg karena gas elpiji 12 kg bukanlah barang yang disubsidi oleh pemerintah. "Sebenarnya kenaikan elpiji 12 kg itu memang harus," kata Mamit.

Pada kesempatan terpisah, Vice President Corporate Communications Pertamina Ali Mundakir mengungkapkan, harga jual rata-rata Elpiji 12 kg nett dari Pertamina setelah kenaikan menjadi Rp7.569 per kg dari sebelumnya Rp 6.069 per kg. Apabila ditambahkan dengan komponen biaya lainnya, seperti transport, filling fee, margin untuk agen dan PPN, maka harga jual di tingkat agen menjadi Rp9.519 per kg atau Rp114.300 per tabung dari sebelumnya Rp7.731 per kg atau Rp92.800 per tabung.

Dia menambahkan apabila dibandingkan  dengan harga keekonomian LPG, harga jual tersebut masih jauh di bawah keekonomiannya. Berdasarkan rata-rata harga gas dari CP Aramco year on year per Juni 2014, harga gas sudah mencapai sebesar US$891,78 per metric ton. Jika dihitung dengan kurs Rp11.453 per US$1, ditambah komponen biaya seperti di atas maka harga keekonomian elpiji 12 kg saat ini seharusnya Rp15.110 per kg atau Rp181.400 per tabung.
 
Ali mengharapakan dengan penyesuaian tersebut dapat menekan kerugian bisnis elpiji 12 kg pada tahun 2014 sebesar Rp452 miliar. Dengan demikian kerugian total bisa ditekan ke angka Rp5,7 triliun dari prognosa semula sebesar Rp6,1 triliun dengan proyeksi tingkat konsumsi elpiji 12kg mencapai 907.000 metric ton. Kerugian ini masih melebihi proyeksi RKAP 2014 sebesar Rp5,4 triliun yang dipatok pada asumsi CP Aramco sebesar US$833 per metric ton dan kurs Rp10.500 per US$.

"Untuk itu Pertamina telah menyampaikan roadmap. Dimana penyesuaian tersebut dapat dilakukan secara otomatis setiap 6 bulan hingga harga keekonomian di tahun 2016," kata Ali, Jakarta, Rabu (10/9).

Ali mengatakan untuk menjamin kelancaran pasokan kepada konsumen, perusahaan memastikan ketersediaan suplai LPG di masyarakat baik untuk elpiji 12 kg maupun elpiji 3 kg. Caranya dengan meningkatkan stok LPG, dimana status hari ini dalam kondisi aman di atas 16 hari. Perusahaan juga melakukan optimalisasi jakur distribusi Elpiji melalui SPBU dan juga modern outlet.

Dia menambahkan Pertamina juga melakukan monitoring distribusi elpiji 3kg sampai pangkalan dengan aplikasi SIMOL3K (Sistem Monitoring Penyaluran Elpiji 3kg). Dalam penyesuaian harga ini, Pertamina juga telah melakukan sosialisasi kepada stakeholder dan pengguna LPG secara kontinyu.

Sementara itu, dari total proyeksi konsumsi LPG tahun ini sebesar 6,11 juta metric ton, hanya sekitar 2,5 juta metric ton yang dapat disediakan oleh total kapasitas produksi domestik, di mana seluruhnya telah diserap Pertamina. "Dengan demikian maka pemenuhan kebutuhan LPG harus diimpor sekitar 59 persen," kata Ali. (dtc)

BACA JUGA: