JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penolakan atas pengesahan revisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) terus meluas. Kalau sebelumnya hanya dilakukan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dengan walk-out.

Penolakan serupa kini dilakukan oleh sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil. Juga secara perorangan yang dilakukan warga DKI Jakarta bernama Melany Tedja lewat petisinya situs Change.org.id.
 
Hingga Minggu (13/7) pukul 10.00 WIB, petisi online berjudul "Tolak Revisi RUU MD3! Ajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi" didukung lebih dari 40.426 dukungan. Dalam petisi yang ditujukan kepada bagian Humas dan Sekretariat Mahkamah Konstitusi (MK) ini, Melany mendesak Fraksi dan Pimpinan PDIP, Fraksi dan Pimpinan PKB, Fraksi dan Pimpinan Partai Hanura, dan Pimpinan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) untuk berkonsolidasi dan memperjuangkan penolakan atas Revisi UU MD3 melalui judicial review di Mahkamah Konsititusi (MK).
 
“Kita tidak bisa berhenti bersuara hanya karena Pemilu Legislatif dan Presiden 2014 sudah kita lewati. Kita tidak bisa lagi bersikap acuh tak acuh pada politik. Sudah saatnya kita membuka mata dan turun tangan dalam mengawal Indonesia,” tulis Melany seperti dikutip dari laman change.org.id, Minggu (13/7).
 
Alasannya, demokrasi, bukan hanya pesta yang dilakukan lima tahun sekali, tetapi harus dijaga setiap saat. “Kembali ke Orde Baru bukan pilihan buat kita semua. Menatap ke depan dengan prinsip keterwakilan dan demokrasi yang sehatlah yang seharusnya menjadi masa depan kita,” tulis Melany.
 
Menurutnya, setidaknya ada dua poin penting yang harus dikritisi dari  revisi UU MD3 tersebut. Pertama, wakil partai yang menjadi pemenang suara terbanyak tidak lagi otomatis menjadi Ketua DPR. Melainkan ketua DPR akan dipilih dengan suara terbanyak berdasarkan paket yang bersifat tetap. Kedua, dihapusnya ketentuan yang menekankan pentingnya keterwakilan perempuan, khususnya terkait Alat Kelengkapan DPR (AKD).
 
Kedua poin itu, ia sebut, bermasalah karena melanggar prinsip keterwakilan rakyat di DPR RI. Sebab DPR mengganti ketentuan yang mengatur keterwakilan rakyat untuk menentukan posisi pimpinan DPR RI setelah pelaksanaan pemilihan legislative (Pileg) 2014. Dengan dasar UU MD3 versi sebelum direvisi, kata dia, wakil dari partai pemenanglah yang akan menjabat ketua DPR dan posisi pimpinan DPR lainnya.
 
Prinsip keterwakilan ini, tegasnya, sudah pernah dimenangkan di Mahkamah Konstitusi pada 2011 karena dinilai sejalan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang mempersamakan kedudukan semua warga negara sehingga penentuan komposisi kepemimpinan DPR/DPRD secara proporsional berdasarkan urutan perolehan kursi masing-masing Parpol peserta Pemilu di seluruh Indonesia maupun daerah yang bersangkutan.
 
“Prinsip keterwakilan ini ketentuan yang adil, karena perolehan peringkat kursi juga menunjukkan konfigurasi peringkat pilihan rakyat Indonesia,” ujarnya.
 
Ia berpendapat, revisi UU MD3 justru mengubah prinsip keterwakilan rakyat menjadi musyawarah mufakat. Ketika  musyawarah mufakat tidak terpenuhi, maka dilakukan sistem voting berdasarkan paket yang bersifat tetap. Kondisi ini dikhawatirkan memperbesar peluang politik transaksional yang selama ini dilawan.
 
Akibat lain dari hilangnya prinsip keterwakilan juga berimbas pada semakin sempitnya peran perempuan di posisi strategis DPR. Sebagai catatan, dengan adanya ketentuan kewajiban keterwakilan perempuan, maka perempuan dapat melawan stigma dan diskriminasi dalam kehidupan masyarakat dan mendapatkan tempat yang strategis di Alat Kelengkapan DPR (AKD).
 
“Revisi UU MD3 justru menghapus ketentuan ini sebagai akibat dari hilangnya prinsip keterwakilan, dan ini berarti mengurangi keterwakilan dan peranan perempuan dalam proses politik di parlemen,” jelas Melany.
 
Dengan sistem yang diatur dalam Revisi UU MD3 ini, suara rakyat menjadi tidak berpengaruh dalam keterwakilan dalam komposisi kepemimpinan DPR hingga ke level AKD yang sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan di DPR RI.
 
Ia menilai revisi UU MD3 dipaksakan untuk disahkan DPR RI lewat Sidang Paripurna karena dilaksanakan pada malam menjelang Pilpres 2014 (8 Juli 2014). Sementara pada saat itu, media tengah disibukkan dengan isu Pilpres
 
Sementara Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3 yang terdiri dari Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) berpendapat sikap DPR tersebut didominasi kepentingan politik sesaat. Ada delapan poin penting yang menjadi sorotan Koalisi dan harus segera direvisi, diantaranya penambahan kewenangan MPR, mekanisme pemilihan pimpinan DPR, keterwakilan perempuan, hak imunitas, proses penyidikan, mahkamah kehormatan dewan, dan hak mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan.

"Anggota dewan diproteksi begitu luar biasa dalam undang-undang MD3 yang baru ini, terutama saat menjalani penyelidikan sebuah kasus oleh penegak hukum," kata peneliti dari Yappika Hendrik Rosdinar di kantor ICW, Kalibata Timur Jakarta, Selatan (13/7).
 
Karena itu, mereka mendesak DPR merevisi 8 poin tersebut. Mereka mengancam akan mengajukan judicial review ke MK jika delapanpoin itu tidak direvisi.
 
Sebelumnya DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 menjadi UU dalam sidang paripurna DPR, Selasa (8/7). Revisi itu mengubah antara lain mekanisme pemilihan pimpinan DPR, dari sistem proporsional menjadi sistem paket. Sebelumnya sistem proporsional memberikan mandat kepada partai pemenang Pemilu Legislatif (Pileg) otomatis mendapat kursi pimpinan. Sedangkan sistem paket adalah setiap anggota DPR memilih pimpinan berdasarkan partai politik.
 
Perubahan sistem ini menimbulkan perseteruan antara kubu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemenang Pemilihan Umum Legislatif 2014, dengan partai politik pesaingnya. PDIP menyoal Pasal 84 UU MD3 yang menegaskan kursi pimpinan tak lagi otomatis menjadi hak partai pemenang Pileg 2014. Melainkan dipilih oleh anggota DPR. Tak terima dengan mekanisme baru ini, PDIP berencana melakukan uji materi sejumlah pasal dalam UU MD3 ke MK.
 
Karena itu kata Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PDIP Ahmad Basarah, PDIP akan menempuh jalur hukum guna membatalkan revisi UU MD3 yang baru ini. "Setelah kami pelajari lebih lengkap, kami akan melakukan judicial review melalui MK," ujarnya di Gedung DPR, Senayan.
 

BACA JUGA: