JAKARTA, GRESNEWS.COM - Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan bisa mengabaikan rekomendasi Panitia Kerja (Panja) outsourcing Komisi IX DPR-RI yang ditandatangani langsung oleh Ketua Komisi IX Ribka Tjiptaning. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Ketua Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu Arief Poyuono ketika dihubungi Gresnews.com, Selasa (24/12). "Rekomendasi Panja tidak punya kekuatan hukum untuk dieksekusi atau dijalankan oleh Dahlan Iskan," katanya.

Menurut Arief, dalam hirarki peraturan dan perundang undangan tidak dikenal Rekomendasi Panja. Dia bilang, sumber masalah bagi pekerja outsourcing adalah UU 13/2003 yang dihasilkan pada era Presiden Megawati Soekarnoputri dan Menteri Tenaga Kerjanya adalah Jacob Nuwa Wea yang sama-sama berasal dari PDIP. UU itu bagi dia melegalkan adanya tenaga kerja outsourcing yang saat ini diperjuangkan buruh khususnya di lingkungan BUMN agar dihapuskan.

Hasilnya adalah keluarnya 12 poin rekomendasi Panja Outsourcing DPR-RI. Salah satu poin rekomendasi itu mengharuskan dihapuskannya praktik penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain, melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh (outsourcing) di perusahaan BUMN seluruh Indonesia

Masalahnya, kata Arief, rekomendasi itu tidak mengikat dan tidak dikenal dalam hirarki hukum di Indonesia sehingga jika diabaikan oleh Dahlan Iskan pun, hal itu tidak akan membawa konsekuensi hukum. "Justru jika Dahlan Iskan menindaklanjuti hasil panja DPR tentang outsourcing bisa dikatakan melanggar hukum," ujarnya. Sebab UU tersebut hingga kini belum direvisi. Karena itu ke depan buruh harus mengantisipasi agar tidak terbentuk pemerintahan dan DPR yang menghasilkan peraturan yang merugikan buruh.
 
Arief bilang, pada 2014 nanti, buruh harus cerdas untuk mendukung partai politik dan calon presiden (capres) yang bersedia melakukan kontrak politik dengan serikat buruh untuk mencabut sistem kerja outsourcing dan menolak upah murah. "Apalagi saat ini PDIP terkesan pro buruh dan lupa akan dosa dosanya terhadap kaum buruh," ujarnya.

Untuk diketahui, praktik pekerja outsourcing sendiri memang umum dikenal pada era globaliasi ini. Dalam persaingan ketat, perusahaan dituntut untuk meningkatkan kinerja usaha dengan melakukan efisiensi salah satunya terkait tenaga kerja. Karena itu beberapa perusahaan termasuk BUMN menyerahkan beberapa pekerjaan yang sifatnya menunjang (bukan inti) kepada pihak lain atau outsourcing. Hal inilah yang dianggap merugikan buruh karena hubungan kerja hanya berdasarkan kontrak dalam jangka tertentu dengan upah lebih rendah dan tidak ada jaminan sosial atau kalaupun ada sangat minim.

Sejatinya UU 13/2003 disahkan untuk mengatasi beberapa masalah dalam urusan tenaga kerja outsourcing ini. Sebab sebelum itu tak ada beleid yang mengatur masalah ini selain Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 2 Tahun 1993 tentang Kesempatan Kerja Waktu Tertentu (KKWT). Namun lahirnya UU tersebut malah menjadi petaka bagi buruh karena meski niatnya baik, namun ternyata malah jadi melegalkan tenaga kerja outsourcing yang dianggap merugikan posisi buruh. Sementara Rekomendasi Panja Outsourcing yang mengamanatkan penghapusan sistem outsourcing terancam mandul karena tidak punya kekuatan hukum.

Koordinator Gerakan Bersama Buruh dan Pekerja (Geber) BUMN Ais ketika dihubungi secara terpisah mengatakan untuk mengatasi masalah hukum ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus segera mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) dengan merujuk kepada Rekomendasi Panja Outsourcing. Menurut Ais, Presiden SBY harus segera turun tangan menyelesaikan persoalan ini. "Proses menunggu dari para pekerja di BUMN saat ini sudah mencapai titik klimaks," katanya.

BACA JUGA: