JAKARTA, GRESNEWS.COM - Isu pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran pasca lebaran, sempat berhembus kencang beberapa waktu menjelang Hari Raya Idul Fitri kemarin. Isu itu muncul dipicu terjadinya pelambatan ekonomi yang membuat beberapa industri di beberapa wilayah di Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur diisukan akan melakukan PHK massal.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama kuartal I 2015 ini memang lumayan mengkhawatirkan yaitu hanya mencapai sebesar 4,71%. Angka ini jauh lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama tahun lalu yang mencapai 5,14%.

Hal inilah yang membuat banyak perusahaan mengalami kesulitan terutama industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar Dedy Widjaja mengatakan, banyak perusahaan yang memiliki stok barang dan masih terkumpul di gudang. Sementara perusahaan harus tetap membayar pekerja karena masih menjalankan aktivitas produksi.

Hal inilah yang memicu banyak perusahaan merencanakan melakukan PHK. Hanya saja, kata Dedy, PHK merupakan jalan terakhir. "PHK itu jalan terakhir, sekarang industri mencoba memangkas jam kerja dulu. Jika pemangkasan jam kerja tidak efektif, baru PHK bisa dilakukan," ujarnya beberapa waktu lalu.

Isu PHK massal ini kemudian segera direspons Menteri Tenaga Kerja M Hanif Dhakiri begitu lebaran usai. Hanif meminta agar perusahaan menahan diri tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap para pekerjanya. 

Hanif optimistis perekonomian nasional akan segera membaik dan menguntungkan dunia usaha sehingga PHK tidak perlu dilakukan.

"Kita semua tahu bahwa ekonomi kita sedang mengalami perlambatan. Kita juga memahami apa yang dialami dunia usaha, tapi kita minta agar jangan melakukan PHK dulu," kata Hanif dalam siaran pers yang diterima gresnews.com, Kamis (23/7).

ANTISIPASI PHK MASSAL - Meski pemerintah mengimbau dunia industri menahan diri untuk tidak melakukan PHK massal, namun pemerintah sendiri sudah melakukan beberapa langkah antisipasi jika hal itu tidak dapat dicegah.

Hanif mengatakan, pihak Kemnaker telah koordinasi dengan dinas-dinas tenaga kerja di seluruh Indonesia. Hanif pun mengaku sudah meminta kepada jajaran Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI dan Jamsos) untuk memfasilitasi dan mediasi terhadap pesoalan PHK ini.

"Kalau masalah PHK massal ini kan memang sangat terkait dengan kondisi ekonomi kita secara keseluruhan. Pemerintah terus mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk membuat dunia usaha kita ini semakin kondusif, semakin baik kedepannya dan PHK tidak perlu terjadi," kata Hanif.

"Tugas kita di Kementerian Ketenagakerjaan karena ini terkait dengan masalah employment services. Nah kita tentu minta kepada perusahaan-perusahaan itu untuk bisa menahan diri dulu karena kita harus tetap optimis dalam beberapa bulan yang akan datang keadaan ekonomi kita Insya Allah akan lebih baik," kata Hanif menambahkan.

Oleh karena itu, kata Hanif, pemerintah meminta kepada perusahaan-perusahaan agar bisa menahan diri dengan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap para pekerjanya. Penundaan dan pembatalan rencana PHK dilakukan sambil menunggu membaiknya perekonomian nasional.

"Pada intinya, sebagaimana yang saya sampaikan tadi bahwa kita semua tahu bahwa ekonomi kita sedang mengalami perlambatan. Kita juga memahami apa yang dialami dunia usaha, tapi kita minta agar jangan melakukan PHK terhadap pekerja dulu. Tahan dulu lah," tegas Hanif

Hanya saja, kata Hanif, jika dalam keadaan tertentu suatu perusahaan harus melakukan PHK, pemerintah minta agar prosesnya disesuaikan dengan aturan yang ada dan hak-hak dari para pekerjanya harus dibayarkan penuh sesuai dengan aturan ketenagakerjaan.

"Jikapun terpaksa sekali terjadi PHK maka hak-hak dari para pekerjanya harus dibayarkan full sesuai dengan aturan ketenagakerjaan. Tapi ibaratnya kalau sekarang, ya puasa sedikit lah. Setelah keadaan ekonomi baik dan mudah-mudahan dunia usaha makin baik. Tahan jangan lakukan PHK," kata Hanif.

Sebelumnya, dalam acara buka puasa bersama Presiden Joko Widodo, pihak Kamar Dagang dan Industri (Kadin) juga menyerukan hak serupa. Kadin mengapresiasi langkah cepat pemerintah dalam menghadapi perlemahan ekonomi yang terjadi.

"Kadin mencermati, syukur bahwa pemerintah cukup tanggap dengan langkah preventif terhadap kondisi ekonomi kita. Saya yakinkan bahwa dunia usaha akan bantu tantangan ekonomi bangsa ini," jelas Ketua Umum Kadin, Suryo Bambang Sulisto dalam acara yang diadakan di JCC, Senayan, Jakarta, Jumat (10/7) lalu.

Suryo mengatakan, Kadin mengimbau kepada pengusaha untuk optimal membantu pemerintah melawan badai ekonomi yang terjadi. Sehingga, kondisi perekonomian bisa kembali sehat dan bangkit.

"Saya ajak untuk tingkatkan upaya investasi dan hindari langkah-langkah tak sehat di tengah kondisi sulit ini dengan menaikkan harga yang tinggi, atau pun lakukan langkah PHK," kata Suryo.

PHK SUDAH TERJADI - Sayangnya, imbauan agar para pengusaha menahan diri untuk tidak melakukan PHK itu sepertinya sedikit terlambat. Di beberapa daerah, perusahaan-perusahaan tertentu sudah melakukan PHK atas para karyawannya di bulan Ramadan kemarin.

Di Jawa Tengah misalnya, menjelang Hari Raya Idul Fitri, sebanyak 1.187 karyawan terkena PHK sebagai imbas pelemahan ekonomi dan juga kenaikan bahan bakar minyak serta melemahnya nilai rupiah terhadap dolar AS.

Kasus PHK di Jawa Tengah ini tersebar di beberapa kota yaitu Kota Pekalongan (111 orang), Kabupaten Pekalongan (46 orang), Kabupaten Batang (127 orang), Kota Semarang (390 orang), Kota Solo (11 orang), Kabupaten Sragen (151 orang), Kabupaten Sukoharjo (9 orang), Kabupaten Magelang (232 orang) dan Kabupaten Wonosobo (12 orang).

Sementara di Jawa Timur, sebanyak 1.220 buruh di-PHK menjelang lebaran. PHK paling besar terjadi di PT Panasonic yang bermarkas di Sidoarjo yang terpaksa mem-PHK 650 orang karyawannya. Berikutnya ada PT Yanaprima yang juga terpaksa memangkas karyawannya sebanyak 504 orang. Perusahaan-perusahaan tersebut mengaku terpaksa melakukan PHK karena mengalami kerugian.

Sementara itu, berdasarkan data Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), sebanyak 110 ribu karyawan di-PHK selama periode yang telah berjalan tahun ini. Setidaknya tercatat 27 perusahaan alas kaki di daerah Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Surabaya melakukan PHK terhadap 110 ribu karyawannya.

Terkait PHK yang terlanjur terjadi jelang dan pada bulan Ramadan ini, menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, terjadi bukan lantaran masalah perlambatan ekonomi maupun tingginya nilai dolar AS terhadap rupiah.

Said mengatakan, PHK semacam ini merupakan akal-akalan perusahaan agar tidak mengeluarkan biaya operasional yang besar mengingat sesuai aturan, para pengusaha wajib memberikan tunjangan hari raya (THR) bagi buruh saat Lebaran.

Said mengatakan, berdasarkan laporan dari beberapa serikat pekerja di seluruh Indonesia, hingga kini memang tidak ada perusahaan yang melakukan PHK karena perlambatan ekonomi. PHK yang terjadi di beberapa perusahaan lebih karena masa kontrak karyawan tersebut yang memang telah habis.

Hanya saja, kata dia, habisnya masa kontrak tersebut memang merupakan desain yang disengaja oleh pengusaha. Ironisnya, langkah tersebut dilakukan menjelang Idul Fitri. "Ada yang habis masa kontrak jelang Lebaran," kata Said beberapa waktu lalu.

Selain itu, menurut Said, pemutusan kontrak jelang Ramadan tersebut diduga merupakan trik pengusaha agar tidak membayar tunjangan hari raya (THR). Selain itu, langkah tersebut juga merupakan siasat agar pengusaha mendapat kelonggaran dari pemerintah untuk menerapkan kembali sistem outsourcing pada pekerja.

Secara jangka panjang, menurut Said, langkah tersebut dilakukan pengusaha agar kenaikan upah tak setinggi yang diinginkan buruh. "Jadi pas Lebaran putus kontrak, setelah Lebaran rekrut lagi. Cara itu untuk menekan kenaikan upah 2016. Itu akal-akalan untuk menekan kesejahteraan. Strategi tersebut dipakai berulang-ulang," ujarnya.

Terkait, perlambatan ekonomi saat ini, kata Said, banyak perusahaan memang belum melakukan PHK atau merumahkan pekerja. Sejauh ini yang dilakukan adalah pengurangan jam kerja. "Apa yang terjadi bukan PHK, tetapi pengurangan jam kerja, misalnya yang biasanya 8 jam per hari, jadi kerja 6 jam per hari. Dirumahkan pun kami belum dapat informasi itu," paparnya. (dtc)

BACA JUGA: