JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materi atas Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang diajukan Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) dan Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jawa Barat (Aljabar). Dalam permohonannya, para buruh mempersoalkan kekuatan hukum atas tindak lanjut dikeluarkannya rekomendasi atau nota dari Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan terhadap penetapan status karyawan kontrak menjadi karyawan tetap untuk perusahaan.

Selama ini, dalam praktiknya, jika perusahaan tak mau melaksanakan putusan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan untuk mengangkat buruh kontrak atau outsourcing menjadi pegawai tetap, maka buruh bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namun gugatan itu harus dilakukan pemerintah dalam hal ini PPK. Jika pemerintah tidak melakukan gugatan, maka buruh tak bisa berbuat apa-apa.

Nah, para buruh ingin, keputusan PPK ini bisa di bawa buruh ke pengadilan jika perusahaan tak mau melakukan pengangkatan karyawan tetap sesuai putusan PPK. Dalam hal ini, buruh meminta agar diberikan hak konstitusionalnya untuk menggugat ke Pengadilan Negeri.

Beruntung bagi para buruh, MK akhirnya mengabulkan permohonan itu. Dalam amar putusannya, Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menyatakan bahwa pertimbangan yang diajukan dalam permohonan uji materi para pemohon dalam UU Ketenagakerjaan memiliki landasan hukum yang kuat. "Amar putusan mengadili, menyatakan, mengabulkan permohonan para pemohon," kata Ketua MK Arief Hidayat dalam pembacaan putusan uji materi UU Ketenagakerjaan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (4/11).

Dalam pertimbangannya, Hakim Mahkamah Suhartoyo mengatakan, pokok permohonan para pemohon adalah Pasal 59 Ayat (7), Pasal 65 Ayat (8), dan Pasal 66 Ayat (4) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal-pasal tersebut mengatur ketentuan tentang perubahan status dari perjanjian kerja dari waktu tertentu (PKWT) menjadi perjanjian kerja dari waktu tidak tertentu (PKWTT) yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan atau pengusaha terhadap para pekerja/buruh dalam kurun waktu tertentu.

Ia menambahkan, dalam Pasal 3 Konvensi ILO Nomor 81 menyatakan bahwa fungsi sistem pengawasan ketenagakerjaan, antara lain menjamin penegak hukum mengenai kondisi kerja dan perlindungan tenaga kerja serta peraturan yang menyangkut waktu kerja, pengupahan keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan, tenaga kerja anak serta orang muda dan masalah-masalah lain yang terkait.

"Mahkamah menilai pegawai pengawas ketenagakerjaan berwenang untuk menentukan terpenuhi atau tidak terpenuhinya persyaratan. Dan PPK juga berwenang mengeluarkan nota pemeriksaan dan/atau penetapan tertulis," ucap Suhartoyo di muka persidangan.

Selain itu, lanjutnya, untuk menegakkan pelaksanaan ketentuan ketenagakerjaan serta memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pekerja/buruh, pengusaha, dan pemberi pekerjaan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, pekerja/buruh dapat meminta pelaksanaan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan dimaksud kepada Pengadilan Negeri setempat.

"Dengan mendasarkan pada pertimbangan tersebut maka frasa ´demi hukum´ dalam Pasal 59 Ayat (7), Pasal 65 Ayat (8), Pasal 66 Ayat (4) UU Ketenagakerjaan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai pekerja/buruh dapat meminta pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan kepada Pengadilan Negeri setempat dengan syarat, pertama, telah dilaksanakan perundingan bipartit namun perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak untuk berunding. Kedua, telah dilakukan pemeriksaan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan berdasarkan peraturan perundang-undangan," ucap Suhartoyo.

Dengan dikabulkannya gugatan uji materi tersebut, maka perusahaan tidak lagi dapat menunda-nunda menjalankan rekomendasi atau nota dari PPK terkait perubahan status karyawan atau pekerja dari pegawai kontrak atau outsourcing menjadi pegawai tetap. Sebab, putusan tersebut telah memberikan ruang bagi Pengadilan Negeri untuk mengeksekusi pengesahan nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan terhadap perusahaan-perusahaan yang memberlakukan para pekerja/buruh tidak sesuai dengan ketetapan perundang-undangan.

KEMENANGAN KAUM BURUH – Menyikapi putusan MK tersebut, Ketua Umum Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) Komarudin mengatakan, putusan MK tentang uji materi yang diajukan oleh pihaknya ini adalah kemenangan bagi pekerja atau kaum buruh di seluruh Indonesia. "Putusan MK ini merupakan jalan panjang bagi kami. Dan ini adalah kemenangan bagi kaum buruh di seluruh Indonesia," kata Komarudin usai menghadiri persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (4/11).

Sebab, selama ini buruh seringkali dibingungkan dengan tindak lanjut dari penetapan karyawan kontrak menjadi karyawan tetap oleh Pegawai Pengawasan Ketenagakerjaan kepada perusahaan. Menurutnya, nota yang dikeluarkan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan terkait nasib kerja buruh tidak memiliki kekuatan hukum yang dapat ditindaklanjuti oleh para pekerja atau buruh.

Komarudin menilai, selama ini permintaan kepastian kerja yang dilakukan oleh buruh tak jarang diabaikan oleh perusahaan bahkan berakhir dengan pemecatan. "Selama ini para buruh hanya bisa pasrah karena Pengadilan Negeri merasa tidak memiliki kewenangan menetapkan perusahaan untuk melaksanakan penetapan tertulis itu. Sementara Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) tidak mengurusi perpindahan status kerja," ujarnya.

Saat ini, kata dia, hampir semua tenaga kerja di perusahaan berstatus tenaga kontrak dan outsourcing. "Selama ini pemerintah mungkin sudah berupaya tapi tidak bisa membendung maunya perusahaan. Sebab nota dari Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan hanya nota dan tidak ada sanksi hukum apa-apa kalau tidak dilaksanakan," ujar Komarudin.

Dengan adanya putusan itu, kini pekerja bisa meminta agar penetapan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan bisa dilaksanakan perusahaan dengan meminta pengesahan nota pemeriksaan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan pada Pengadilan Negeri setempat. Komaruddin menambahkan, putusan Majelis Hakim MK telah memberikan kepastian hukum bagi nasib buruh ke depan.

Menurutnya, selama ini jarang sekali perusahaan mau dengan segera mengubah status kerja buruh dari karyawan kontrak menjadi karyawan tetap. Tidak hanya itu, menurut Komarudin, rekomendasi nota pengawasan dari Dinas Pengawasan Ketenagakerjaan pun selama ini sering kali tidak diindahkan oleh perusahaan yang mempekerjakan karyawan kontrak.

"Putusan MK yang mengabulkan gugatan kita ini berarti telah mengatur eksekusi terhadap nota yang dikeluarkan oleh Pengawas Ketenagakerjaan yang akan dilakukan oleh Pengadilan Negeri setempat," ujarnya.

Ditemui pada kesempatan yang sama, Ketua DPC Persatuan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Karawang Wahidin mengaku gembira dengan adanya putusan MK yang mengatur agar Pengadilan Negeri dapat memberikan sanksi bagi pengusaha atau perusahaan yang membandel dan menggantung status kerja para karyawannya. Menurutnya,hasil keputusan ini bisa memberikan kepastian hukum atas nasib pekerja di seluruh Indonesia.

"Tinggal kita lihat bagaimana nanti keseriusan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Mahkamah Agung, serius nggak mereka memberikan tindak lanjut terhadap putusan MK ini," tegasnya.

Ia pun berharap putusan MK ini dapat dijalankan oleh pemerintah dengan pihak perusahaan. Hal ini dianggap penting, sebab, putusan MK ini dapat berdampak pada diskriminasi kaum buruh dari perusahaan. Selain itu, putusan yang bersifat final dan mengikat ini diharapkan dapat segera disosialisasikan kepada masyarakat luas, khususnya kaum buruh dan pihak pengusaha.

"Jadi kalau ini benar-benar berjalan, maka perusahaan juga tidak akan berani mempermainkan nasib karyawan buruh. Karena kasus seperti ini banyak banget ya, dan penegakan hukum tidak ada selama ini, karena memang tidak ada undang-undang yang bisa mengenakan perusahaan dengan sanksi pidana. Makanya kita berharap putusan ini dapat memberikan kepastian hukum untuk menindak perusahaan," tegasnya.

TEROBOSAN HUKUM BARU – Pada kesempatan berbeda, Sekertaris Jenderal Serikat Pekerja PT PLN (SP PLN) Eko Sumantri mengatakan, putusan hakim MK pada perkara nomor 7/PUU-XII/2014 ini merupakan terobosan hukum baru yang menyerap aspirasi serikat pekerja/buruh. Menurutnya, putusan MK ini sangat berarti bagi para pekerja khususnya pekerja kontrak.

"Putusan MK ini adalah terobosan hukum baru dalam memperjelas status karyawan kontrak dengan legitimasi Pengadilan Negeri," kata Eko Sumantri kepada gresnews.com di Gedung Mahkamah Konstitusi, Rabu (4/11).

Menurutnya, selama ini perubahan status karyawan dari karyawan kontrak menjadi karyawan tetap memang kerap kali menjadi persoalan bagi serikat pekerja. Perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan karyawan kontrak tampak lebih leluasa dan senang menjadikan status karyawannya sebagai karyawan kontrak atau outsourcing, dibanding mengangkatnya sebagai karyawan tetap.

"Status karyawan outsourcing di PLN misalnya, seringkali menjadi polemik, sebab ketika terjadi persoalan pada karyawan outsourcing, PLN akan melemparkan persoalan itu ke vendor. Nanti vendor juga akan lempar tanggung jawab lagi ke PLN. Walaupun ada surat sakti dari Kementerian Tenaga Kerja dan lain sebagainya polemik itu kerap kali terjadi," ujarnya menjelaskan.

Lebih jauh, ia katakan, SP PLN menilai PT PLN juga mengalami kerugian finansial ketika melibatkan vendor untuk mempekerjakan karyawan outsourcing. "Karena PLN harus kembali membayar vendor yang tidak murah juga kan. Lebih baik direkrut sebagai pegawai PLN itu lebih jelas," kisahnya.

Ia pun sangat mengapresiasi keputusan hakim MK yang mengabulkan uji materi serikat buruh aliansi Aljabar. Ia berharap, putusan MK ini dapat berjalan seiring seirama dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat pekerja atau buruh.

"Karena memang selama ini fungsi pengawasan Disnaker memang agak lemah. Dengan putusan MK ini, ini sangat adil untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh serikat buruh di Indonesia," pungkasnya.

Diketahui sebelumnya, Serikat Pekerja yang tergabung dalam Aliansi Buruh Jawa Barat (Aljabar) mempersoalkan sejumlah pasal dalam UU Ketenagakerjaan, diantaranya, Pasal 59 Ayat (7), Pasal 65 Ayat (8), dan Pasal 66 Ayat (4). Pasal 59 Ayat (7) berbunyi: "Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), Ayat (2), Ayat (4), Ayat (5), dan Ayat (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu".

Pasal 65 Ayat (8) berbunyi dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dan Ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

Adapun Pasal 66 Ayat (4) berbunyi dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), Ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf disertai Ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara buruh dan perusahaan penyedia jasa buruh beralih menjadi hubungan kerja antara buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan. (Gresnews.com/Rifki Arsilan)

BACA JUGA: