GRESNEWS.COM - Wacana Pemilu dipercepat dinilai lebih banyak menjanjikan mudarat ketimbang manfaat. Tradisi demokrasi bisa layu sebelum berkembang.

"Kalau kita berpikir subjektif, maunya memang begitu. Perubahan hanya bisa ada, jika pemimpinnya segera diganti, salah satunya lewat pemilihan umum yang dipercepat. Sekali lagi, ini jika kita berpikir subjektif," ulas Indria Samego, pengamat politik dari LIPI.

Tapi kalau mencoba berpikir objektif, masih kata Indria, Presiden SBY dipilih oleh 60% penduduk Indonesia. "Suka atau tidak suka, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kalau Pemilu dipercepat dan mendapatkan pemimpin yang lagi-lagi tidak memuaskan, apakah akan ada percepatan lagi?" sergah Indria.

Sebagai negara yang sedang mengembangkan budaya demokratis, Indonesia berkepentingan memelihara tradisi memilih pemimpin secara teratur, lewat pemilu. Proses ini jangan dipotong. "Tinggal bagaimana membuat masyarakat lebih cerdas dalam memilih pemimpin," tandas Indria.

"Semua itu perlu, agar demokrasi kita naik kelas. Kalau dipotong terus, kapan naik kelasnya?" ucap Indria kepada Gresnews.com, Jumat (22/3).

Punya Tujuan Proporsional

Satu suara dengan Indria, Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia, dalam siaran persnya yang dikirim kepada Gresnews.com siang ini (22/3) juga menentang Pemilu yang dipercepat.

Menurut Girindra Sandino, Koordinator Kajian KIPP Indonesia, Pemilu adalah agenda demokrasi lima tahunan untuk mencapai tujuan proporsionalitas yang utuh: keterwakilan rakyat, sirkulasi atau lebih tepat penyegaran elit politik, dan penggantian pemerintahan secara konstitusional. Apabila pemilu dipercepat, rusaklah jalan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

Percepatan Pemilu akan mengakibatkan rezim yang sudah rapuh namun masih menguasai sumberdaya politik berkuasa kembali. Juga naiknya bakal calon (balon) legislatif dengan dukungan finansial kuat – uang haram atau bukan – mewarnai pranata-pranata demokrasi di Pusat maupun Daerah.

KIPP melihat, tanpa melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan strategis, percepatan pemilu bisa menjadi "mutilasi demokrasi", bahkan dapat menjadi arena politik lahirnya rezim otoriter, serta bangkitnya kekuatan-kekuatan politik kontra-demokrasi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sendiri dalam jumpa pers setelah melakukan pertemuan dengan para pimpinan Lembaga Negara di Istana Negara, Jumat (22/3), juga tegas menolak wacana Pemilu dipercepat. Lantaran merasa dipilih dalam Pemilu yang bebas dan sesuai dengan konstitusi.

SBY menambahkan, "Kalau lembaga-lembaga negara oleh konstitusi diatur untuk jalankan tugas selama lima tahun, ya tentunya itu dijalani sampai akhir masa baktinya."

Sebelumnya, dalam pertemuan sejumlah tokoh di Gedung Joeang ´45 kemarin (21/3), muncul wacana pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dipercepat bila rakyat menginginkan Susilo Bambang Yudhoyono berhenti memerintah. Pandangan itu diungkapkan advokat senior Adnan Buyung Nasution saat menanggapi isu soal buruknya kondisi Indonesia 1,5 tahun terakhir. (GN-02)

 

BACA JUGA: