GRESNEWS - Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera terus dirundung malang. Bukan hanya elektabilitas keduanya menurun seperti tercantum dalam berbagai survei, namun mereka pun dibayangi konflik internal. Bahkan, grassroot (akar rumput) yang merupakan pemilik suara mayoritas telah meninggalkan PKS dan Demokrat.

Ridwan (40), pegawai swasta, salah satu simpatisan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari Bogor, mengatakan saat PKS masih bernama Partai Keadilan (PK), dirinya aktif dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh partai yang berdiri di era reformasi itu. "Saat ini saya tidak lagi mengikuti acara PKS, karena PKS menurut saya sudah tidak seperti dulu lagi," ujarnya kepada Gresnews.com, Sabtu (9/2).

Hal senada juga dikatakan Agus (49), wiraswastawan, simpatisan PKS lainnya yang menyatakan kader-kader PKS saat ini sudah banyak yang menyimpang. "Hal ini dapat dilihat dari penetapan Presiden PKS menjadi tersangka oleh KPK karena terlibat kasus suap impor sapi," terang Agus, Bogor, Sabtu (9/2).

Kekecewaan terhadap PKS juga datang salah satu dari penggagas PKS, Yusuf Supendi. Bahkan ia tak segan melakukan serangan terbuka yang ditujukan kepada para elite PKS. Dengan lugas, Yusuf membongkar borok di partai yang dibidaninya, terutama sejak berganti baju dari Partai Keadilan menjadi PKS.

Semua kritiknya pada elite PKS, terekam  dalam sebuah  buku yang berjudul ´Replik Pengadilan, Yusuf Supendi Menggugat Elite PKS´ yang diterbitkan Penerbit Komunitas Bambu, Jakarta, tahun 2011.

Tak hanya PKS, simpatisan Partai Demokrat juga memiliki Kekecewaan yang sama dengan partai berkuasa saat ini, seperti dituturkan oleh Anton (70), warga Bogor, Jawa Barat, yang berprofesi wiraswasta. Ia mengatakan pada 2004, dirinya adalah pendukung SBY dan simpatisan Partai Demokrat yang mendukung pencalonan SBY sebagai presiden.

Tetapi perubahan terjadi saat di tahun pertama kepemimpinan SBY yang saat itu berpasangan dengan Jusuf Kalla. "Di tahun pertama SBY mulai menampakkan ketidakkonsistenannya dengan apa yang pernah dijanjikan pada saat kampanye," ujarnya di Jakarta, Sabtu (9/2), kepada Gresnews.com.

Lebih lanjut dia mengatakan hingga menjelang akhir masa jabatan, SBY pun sama sekali tidak menunjukan keberhasilan dan prestasinya dalam memimpin bangsa ini. "Malah semakin buruk ketimbang presiden sebelumnya," tegasnya.

Berdasarkan data yang diolah Gresnews.com, pada Pemilu 2004, PKS mendapat suara sebanyak 8.325.020 (7,34 persen) pemilih. Sedangkan pada Pemilu 2009, PKS menggaet 8.206.955 (7,88 persen) pemilih. Meski persentasenya naik, dari data itu terjadi penurunan sebanyak 108.065 pemilih. Bahkan, dalam hasil survei terakhir yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting, PKS terpuruk ke posisi bawah dengan 2,7 persen suara.

Sedangkan Partai Demokrat yang pertama kali mengikuti Pemilu 2004 langsung mendapat 8.455.225 suara atau 7,45 persen suara keseluruhan. Sedangkan pada Pemilu 2009, Partai Demokrat mencapai lonjakan yang tidak rasional, yakni  mencapai 21.703.137 pemilih atau 20,85 persen. Kenaikan fantastik ini dinilai banyak pengamat di luar nalar atau ada dugaan mark up suara. Berdasarkan survei terakhir dari Saiful Mujani Research and Consulting, Demokrat memperoleh 8,3 persen

Demokrat Rentan Pecah
Pengamat politik Fadjroel Rachman yang dihubungi Gresnews.com, Sabtu (9/2), menilai, setidaknya ada lima faksi di dalam partai berlambang bintang mercy itu. Faksi Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Susilo Bambang Yudhoyono, Marzuki Alie dan Ruhut Sitompul Cs yang liar.

Adanya perpecahan dan faksi di internal Demokrat, membuat partai ini sangat mudah untuk digoyang. Ini sangat berbeda dengan Partai Keadilan Sosial (PKS), saat Presiden mereka, Luthfi Hasan Ishaaq ditangkap karena diduga menerima suap terkait kasus impor daging. "Kalau PKS terkena tapi tidak ada perpecahan. Mereka cepat sekali pulih. Walaupun tidak seutuhnya pulih, tapi konsolidasinya cepat," ujar Fadjroel Rachman.

Menurutnya, adanya faksionalisasi di Demokrat membuat apapun masalah yang dialami, Demokrat akan mudah rontok. Sebenarnya, semua faksi bisa saling sikut. Beruntung, faksi Marzuki tidak terlalu kuat, sementara faksi Andi bisa dibilang sudah hilang. Seperti Ruhut dan Andi juga melakukan perlawanan. Hanya saja faksi Andi lebih tenang dan lebih berhati-hati.

Pengamat politik dari Charta Politika Yunarto Widjaja menyatakan politisi tersandung kasus korupsi bukan hanya di Demokrat, hampir semua partai mengalaminya. Tapi di Demokrat ini justru para elitenya membuat masalah baru dengan memperkeruh suasana seperti Jero Wacik dan Syarief Hasan.

"Mereka justru melakukan konsolidasi di internal mereka hingga ke tingkat bawah. Faksionalisasi diberhentikan, itu yang dilakukan PKS, tetapi yang terjadi di Demokrat justru malah sebaliknya. Di Demokrat para elite justru jadikan krisis ini sebagai ajang menyerang dan menjatuhkan satu sama lain. Pernyataan Jero Wacik itu justru semakin membuat perpecahan di tubuh Demokrat. Pernyataan agar SBY turun tangan juga menegaskan Demokrat itu sangat bergantung pada SBY. Padahal SBY itu juga sibuk mengurusi negara. Negara bisa tak terurus nantinya.

BACA JUGA: