JAKARTA, GRESNEWS.COM – Sejumlah partai politik seperti PDIP, Demokrat, dan PAN akan segera melakukan suksesi kepemimpinan. Partai-partai tersebut cenderung akan kembali mencalonkan ketua umum incumbentnya. Tanpa memberikan peluang kepada calon lainnya. Pengamat menilai iklim aklamasi yang didorong sejumlah partai ini berdampak buruk bagi iklim demokrasi saat ini.  

Pengamat politik dari LIPI Siti Zuhro mengatakan mendesak bagi partai politik untuk melakukan regenerasi kepemimpinan partai. Sebab ia menilai saat ini  terjadi kelambanan regerenasi dari partai-partai ini, akibat stagnasi yang terjadi selama era orde baru. Menurutnya, stagnasi tersebut menyebabkan antrian panjang yang tidak terakomodasi secara memadai. Puncaknya terjadi saat ini ketika ada keinginan kuat dari generasi penerus agar diberikan peluang yang luas.

"Peluang yang luas itu harus diberikan secara genuine atau tidak basa basi," ujar Siti pada Gresnews.com, Minggu (28/12).

Ia menambahkan di era demokrasi, partai politik juga harus dikelola secara demokratis. Sehingga kalau ada kader yang berkehendak untuk mencalonkan diri harus diakomodasi untuk kontestasi yang transparan dan akses yang sama serta adil. Sehingga kalau ada yang menang dengan jumlah dukungan suara yang lebih besar akan pengakuan dan penerimaan yang lebih rasional dari mereka yang kalah.

Menurutnya, tidak perlu sebuah partai memaksa terjadinya aklamasi jika ada kader lain yang tidak setuju. Karena ketika aklamasi terjadi iklim kontestasi akan hilang. Pasalnya walau ada satu tokoh yang dianggap sebagai perekat partai, tidak ada jaminan kader lain bisa berbeda paham.

Lagipula aklamasi ia nilai hanya membangun kecenderungan absolute yang jauh dari watak demokrasi. Demokrasi memiliki watak yang menghormati nilai-nilai dan trust building. Hal demikian yang menurutnya harus dibangun dalam kaderisasi di iklim demokrasi.  

Senada dengan Siti, pengamat politik dari Universitas Sriwijaya Joko Siswanto mengatakan jika dilihat dari sisi proses pengambilan keputusan maka aklamasi memang tidak akan menimbulkan konflik karena tidak ada kompetitor. Berbeda dengan mekanisme pemilihan melalui voting yang ada kompetisi dan persaingan tentu akan menimbulkan dinamika yang tinggi.

"Tapi kalau dari sisi pengkaderan ketua umum yang dipilih hanya itu terus, berarti partai tersebut tidak ada kader,"  ujar Siswanto pada Gresnews.com, Minggu (28/12). Hal itu menurut dia kedepannya tidak bagus, karena kalau ketua umum yang bersangkutan berhalangan tetap tidak ada yang menggantikannya.

Ia menilai mereka yang berkali-kali dicalonkan biasanya akan mengkader ‘putra mahkota’ atau kader yang berasal dari keturunan mereka. Sehingga putra mahkota tersebut bisa terpilih melalui aklamasi. Misalnya di PDIP seperti Megawati yang memiliki putra mahkota Puan Maharani dan d Demokrat ada Edy Baskoro Yudhoyono atau Ibas.

Permasalahannya perlu dipertanyakan sejauh mana putra mahkota tersebut dapat diterima semua kalangan. Sehingga ke depan solusi aklamasi sebaiknya tidak diambil oleh partai politik karena persaingan sehat cenderung terjadi.

BACA JUGA: