JAKARTA, GRESNEWS.COM – Konflik internal partai politik berakibat terbelahnya partai. Keterbelahan kubu partai juga berdampak pada pemecatan sejumlah kader partai yang telah duduk sebagai anggota DPR. Akibatnya kader yang dipecat berpotensi untuk di-recall partai dan digantikan dengan kader lainnya.

Namun Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti menilai recall anggota DPR tidak boleh dilakukan oleh partai karena perbedaan pemahaman pada partai yang mengalami konflik internal. Sebabnya anggota parlemen telah dipilih oleh masyarakat. Sehingga me-recall seseorang sama dengan melawan kehendak publik.

"Harusnya recall dilakukan oleh publik," ujar Ray usai diskusi soal Bincang Politik Akhir Tahun di Kedai Kopi Deli, Jakarta, kemarin.

Ia mencontohkan Partai Golkar yang sedang berkonflik, kalau Agung Laksono disahkan menjadi ketua umum maka ia tidak boleh me-recall anggota yang tidak mendukungnya. Sehingga partai politik tidak menjadi alat penentu. Apalagi pada pileg 2014 sistem yang digunakan adalah proporsional terbuka.

Hemat kata, masyarakat memilih langsung nama sesuai yang terpampang pada daftar calon anggota legislatif. Berbeda dengan pemilu lainnya yang menggunakan sistem proporsional tertutup. Melalui sistem tertutup, partai politik yang memilih urutan kader untuk dicalonkan menjadianggota legislatif. Sehingga mereka boleh me-recall kadernya. Hal ini berbeda dengan sistem proporsional terbuka.

Senada dengan Ray, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Lucius Karus mengatakan hak partai untuk merecall anggota DPR dianggap telah memasung hak anggota DPR untuk bersuara bagi kepentingan konstituen mereka. Hak recall menjadikan anggota DPR bekerja dengan sikap patuh buta pada kepentingan partai.

"Ini kemudian berdampak pada minimnya ruang bagi anggota DPR untuk menyampaikan secara leluasa aspirasi rakyat. Apalagi yang diduga bisa mengganggu kepentingan partai politiknya," ujar Lucius pada Gresnews.com, kemarin.

Menurutnya, partai politik menjadi bebas menekan kadernya di parlemen melalui ancaman recall ini. Tak mengherankan jika proses voting yang dilakukan DPR menjadi panggung pembuktian ketaatan kader terhadap partainya. Pada saat yang sama voting seperti ini menunjukkan matinya suara perorangan anggota yang mungkin saja berbeda dengan partainya. Membuat pilihan sendiri dan melawan sikap partai tentu akan berlanjut pada proses recall terhadap anggota yang bersangkutan.

Ia menjelaskan hak recall hanya menguntungkan partai saja dan dalam banyak hal merugikan kepentingan rakyat. Padahal eksistensi anggota DPR sejatinya merupakan perwakilan politik rakyat yang memilih pada saat pemilu. Ia mempertanyakan bagaimana rakyat itu bisa menaruh kepercayaan kepada anggota yang tunduk kepada partai karena takut direcall.

Hak recall partai terhadap kadernya menurutnya merupakan persoalan problematis. Ketika partai politik punya kekuasaan mengikat terhadap anggota DPR tanpa mengikutsertakan rakyat didalam pelaksanaannya maka kepentingan partai yang menjadi prioritas perjuangan anggota parlemen. Untuk mengefektifkan fungsi representasi anggota parlemen, ia menilai aturan tentang recall oleh partai politik ini harus diperbaharui.

"Rakyat harus diberikan ruang untuk mengontrol wakilnya selain partai politik. Kombinasi antara suara rakyat dan partai politik akan menguangi kesewenang-wenangan parpol merecall anggota DPR," katanya.

Sebelumnya, Golkar mengalami konflik internal. Salah satu kubu yaitu kubu Aburizal Bakrie memecat kadernya Nusron Wahid karena mendukung pemerintah. Padahal Golkar jelas bersikap untuk berada di luar pemerintahan. Akhirnya Nusron terancam di-recall sebagai anggota DPR. Tak hanya Nusron, Agun Gunandjar Sudarsa yang merupakan anggota DPR juga dipecat dari Golkar.

BACA JUGA: