GRESNEWS.COM - Parpol di Indonesia punya seabrek persoalan. Ada pengabaian suara anggota, AD/ART, hingga ideologinya sendiri. Alhasil, setiap kali perpecahan menumbuhkan partai baru. Partai harus demokratis dulu secara internal jika ingin menyumbang sesuatu buat perjalanan demokrasi negara ini.

Bila dikaji, terlihatlah di era reformasi ini begitu banyak Partai Politik berwajah kusam. Parpol tidak mampu melakukan fungsi sebagaimana mestinya, kecuali hanya sarana untuk mencapai kekuasaan. Hal itu disampaikan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), I Made Leo Wiratma di Jakarta, Selasa (2/4) di Jakarta. Persoalan apa yang menyandera mereka?

Aksi Memecah Kongsi

"Di samping masih kuatnya budaya antipartai politik atau curiga terhadap Partai Politik, kendala utama yang ditemukan justru muncul dari dalam Partai Politik itu sendiri. Kendala internal tersebut adalah pengabaian suara-suara anggota partai sebagai pemegang kedaulatan dan pengabaian konstitusi partai (AD/ART)," jelasnya.

Muncullah ketidakpuasan dari warga Partai Politik yang bersangkutan, sehingga memicu konflik, dan ujung-ujungnya menimbulkan perpecahan. Mereka yang tidak puas bisa menjadi apatis (tidak aktif lagi meski tetap anggota), atau keluar dari keanggotaan, atau bahkan mendirikan Partai Politik baru.

PDI-P sebagai pemenang Pemilu 1999 misalnya, pecah menjadi beberapa parpol. Partai Indonesia Tanah Air Kita (PITA) pimpinan Dimyati Hartono (mantan salah satu Ketua DPP PDI-P) dan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) diketuai oleh Eros Djarot (mantan fungsionaris PDI-P). Pascakongres PDI-P di Bali akhir Maret 2005, muncul Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang digagas Laksamana Sukardi yang dikenal dekat dengan Ketum PDI-P, Megawati Soekarnoputri.

Partai Golkar pun mengalami nasib sama. Pada Pra-Pemilu 1999 atau tepatnya pasca-Munaslub 1998, Jenderal TNI (Purn) Edi Sudradjat mendirikan Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) yang kemudian berubah nama menjadi PKPI. Mien Sugandhi membentuk Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong/MKGR yang kemudian berubah menjadi Partai Gotong Royong. Bambang W. Suharto mendirikan Partai Demokrat Bersatu, serta Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang dipimpin oleh Jenderal TNI R. Hartono.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga mengalami perpecahan, ketika K.H. Zainuddin MZ mendirikan Partai Persatuan Reformasi yang kemudian berganti nama menjadi Partai Bintang Reformasi menjelang Pemilu 2004. PBR ini pun pecah yang ditandai dengan lahirnya Partai Penyelamat Perjuangan Reformasi pimpinan Saleh Khalid. Seusai Muktamar 2005, PBR pecah lagi menjadi dua, yakni PBR pimpinan KH Zainuddin MZ dan PBR versi Zainal Maarif.

"Masih ada perpecahan dalam tubuh partai-partai lain, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB), dan Partai Bhineka Tunggal Ika. Di samping itu, labilnya suatu parpol ditandai oleh "kutu loncat" atau menyeberangnya kader suatu partai ke partai lainnya," urai Leo.

Terlalu Mikir Kekuasaan

Carut-marut Partai Politik ketika itu membuat banyak pihak cemas dan miris, reformasi yang digulirkan ternyata tidak melahirkan parpol yang mumpuni. Karena tidak adanya tobat nasional, kini gambaran parpol kita semakin kusam, kotor, bahkan sudah tercabik-cabik tidak karuan. "Perpecahan terus terjadi, kutu loncat pun tetap asyik meloncat dari satu partai ke partai yang lain," kata Leo.

Perbedaan pendapat di alam demokrasi wajar-wajar saja. "Persoalannya, perbedaan pendapat sering dibuat besar dan dalam mempertahankan pendapatnya tidak disertai argumen yang kuat, bahkan untuk mencapai tujuannya dilakukan dengan melanggar rambu-rambu partai," tandas Leo. Mereka hanya memperjuangkan kepentingan sempit, yakni kekuasaan politik dan keuntungan politik. Ideologi partai dalam konstitusi partai (AD/ART) hanya menjadi kumpulan huruf tak bermakna.

"Hal ini, tercermin dari kolaborasi partai politik dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilukada (Gubernur, Bupati/Walikota). Partai politik yang bertentangan secara ideologi dengan tidak malu-malu mengusung suatu pasangan calon dengan satu tujuan, yakni meraih kekuasaan," katanya.

Salah satu fungsi Partai Politik adalah sebagai pengendali konflik. Namun fakta yang terjadi sekarang justru Partai Politik menjadi produser konflik. Pertanyaannya, bagaimana Partai Politik mampu menjadi pengendali konflik, sedangkan Partai Politik itu sendiri asyik berkonflik. "Perlu suatu langkah untuk mendorong dan mengingatkan agar Partai Politik mampu mengemban fungsinya dengan baik," jelas Leo.

Dalam masa transisi demokrasi di Indonesia, belakangan ini ditandai oleh apa yang dikonseptualisasikan dengan istilah "demokrasi yang mengalami defisit", ketika salah satu bagian terpenting yang menjadi indikatornya adalah ketidakseriusan Partai Politik menjalankan agenda reformasi untuk tujuan demokrasi. Bagaimana untuk sampai pada tujuan demokrasi itu?

Harus Demokratis Dulu

Sebagai salah satu pilar demokrasi, Partai Politik harus demokratis terlebih dahulu. Artinya partai politik juga harus menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kegiatan dan kehidupannya. Paling tidak harus ada lima prinsip agar sebuah partai dapat dikatakan demokratis. Pertama, mengakui adanya kebebasan, setiap anggota partai mempunyai kebebasan namun dalam koridor tidak mengganggu kebebasan orang lain.

Kedua, kesetaraan, setiap anggota partai memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Ketiga, prinsip musyawarah dalam memutuskan setiap persoalan, baik atas dasar mufakat atau suara terbanyak (mayoritas) tetapi hak-hak minoritas tetap terlindungi. Keempat, prinsip rule of law, setiap kegiatan partai dilaksanakan berdasarkan aturan main yang sudah disepakati bersama. Kelima, tata kelola yang baik atau good governance.

Kelima prinsip ini sangat penting bagi partai politik dalam menjalankan fungsinya, termasuk fungsi pengendali politik. Partai politik tidak bisa tidak harus melibatkan seluruh anggota partai sebagai pemilik kedualatan yang sesungguhnya. Selain karena mempunyai hak dalam menentukan kebijakan, hak memilih dan dipilih, juga karena setiap anggota partai politik wajib berpartisipasi dalam kegiatan partai politik.

Lebih dari itu, keterlibatan seluruh anggota partai justru memberikan dan menentukan legitimasi atau keabsahan dari setiap proses kegiatan partai. Hal ini menjadi penting bukan hanya supaya keputusan dapat segera diambil, melainkan agar setiap keputusan dapat menghasilkan kebijakan yang menjadi milik, dijalankan, dan ditaati, serta ditanggung-gugat bersama. (DED/GN-02)

BACA JUGA: