JAKARTA, GRESNEWS.COM - Fenomena politik nasional sepanjang 2016 menampakkan sisi gelap demokrasi. Salah satu kasus yang menonjol adalah kasus-kasus intoleransi yang cukup marak terjadi. Pengamat Etika dan Komunikasi Politik Benny Susetyo mengatakan, menguatnya gerakan dan praktik intoleransi serta konservatisme tak bisa dianggap remeh.

"Menguatnya politik intoleransi bisa saja menjadi momen bagi kalangan tertentu khususnya militer untuk mengambil perannya di pemerintahan yang menurutnya juga melihat peluang itu," kata Benny, dalam diskusi publik "POLITICS OUTLOOK 2017: Janji Berpolitik, Janji Demokrasi", di Jakarta, Jumat (13/1).

Karena itu, menurut Benny, penting untuk menguatkan barisan politik civil society untuk mengontrol kebijakan pemerintah. "Sayangnya pemerintah sendiri tidak memberikan ruang yang baik agar gerakan sipil berjalan dengan baik untuk membangun sistem dan nilai demokratis," tambahnya.

Protes dan kritikan publik memang ditanggapi negatif oleh pemerintah. Kasus beberapa aktivis yang dijerat dengan tindakan pidana merupakan pertanda pemerintah tidak memberikan ruang publik untuk menyuarakan aspirasinya. "Budaya tanding yang harus dibangun publik. Tapi ini tidak juga berjalan. Kritik juga sekarang dilawan dengan represif," ujar Romo Benny.

Karena itu, dia mengaku pesimis terhadap perkembangan demokrasi yang tengah dihadapi Indonesia. Sistem politik sekarang, menurut Benny, menunjukkan fakta yang tidak menggembirakan. Fenomena menguatnya praktik intoleransi dan politik ujaran kebencian contoh yang mengafirmasi adanya pergeseran politik belakangan ini. "Demokrasi telah mengalami kebangkrutan, karena demokrasi tidak bisa menyelesaikan masalah," ujarnya.

Hal ini juga terjadi di level internasional. Benny merujuk kepada kemenangan Donald Trump dalam Pemilu di Amerika Serikat. Figur yang cukup kontroversial lantaran banyak mengampanyekan nilai intoleransi dan rasisme itu, malah bisa memenangkan pemilu Amerika. "Ini menjadi contoh demokrasi sedang digerogoti oleh kekuatan kapital yang pragmatis," kata Benny.

Kemenangan itu, imbuh Romo Benny, mengafirmasi adanya pergeseran bagaimana demokrasi disetir oleh kapitalisme dan kekalahan demokrasi karena demokrasi dibajak sehingga tidak berhasil membangun sistem dan nilai. "Ke depan itu adalah kekuatan ekonomi yang pragmatis. Misalnya hubungan antara AS dan Rusia. Ini menjadi ideologi mereka adalah kepentingan dagang," kata Benny.

Hal yang sama juga diungkap Direktur Eksekutif PARA Syndicate Ary Nurcahyo. Ary mengungkapkan, menguatnya gerakan jalanan merupakan dampak dari rendahnya peran legislatatif untuk mengontrol kebijakan pemerintah. Melemahnya peran lembaga politik seperti partai politik yang juga memicu menguatnya gerakan massa (politik popularisme). "Politik populisme ini kan karena kekecewaan terhadap elit politik," kata Ary Nurcahyo.

Ary menambahkan, dalam politik populis, perdebatan soal pembangun politik yang instrumen (yang tampak) lebih menarik dibanding pembicaraan pada penguatan-penguatan identitas memang belum digarap dengan baik. "Karena politik itu yang disenang oleh pemerintah," imbuh Ary.

ANCAMAN DEMOKRASI - Masalah intoleransi memang bisa menjadi ancaman bagi demokrasi. Hal ini juga menjadi bahasan utama dalam pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, di Istana Merdeka, Jumat (13/1).

Persoalan toleransi dan intoleransi, menurut Haedar, bukanlah masalah yang sederhana. Terlebih di negara yang memiliki kemajemukan dalam bermasyarakat.

"Dalam masyarakat majemuk, baik agama, suku, ras, dan golongan, prinsipnya kan non komplementer. Masyarakat majemuk itu ibarat air dan minyak. Karena itu, kalau ada gesekan, itu hal yang alamiah. Nah tinggal semua pihak mencoba untuk lebih matang, lebih dewasa dalam menyelesaikan masalah. Persis seperti rumpun bambu, tidak ada yang tidak gesekan," katanya.

Haedar juga mengatakan aksi ekstrem ataupun radikal sangat rentan terjadi di negara yang masyarakatnya majemuk. Untuk itu, yang paling penting adalah bagaimana menyikapi suatu persoalan secara dewasa.

"Peluang dan potensi ekstremitas, itu selalu ada di setiap agama, golongan, ras, suku, dan tempat. Yang paling penting adalah kita harus semakin dewasa menjadi sebuah bangsa dan tugas kita adalah mendewasakan semua dan menyelesaikan masalah secara bermartabat," kata Haedar.

Meski situasi saat ini memang tengah memanas akibat bakal digelarnya Pilkada Serentak pada Februari mendatang, namun situasi panas ini dinilai belum menjadi cerminan akan runtuhnya sistem demokrasi di Indonesia. Berbeda dengan Benny dan Ary, pengamat politik dan Keamanan Kusnanto Anggoro justru menanggapi optimis terhadap perkembangan Indonesia ke depan.

Dia menilai, dibandingkan dengan tahun 2016, politik dalam 2017 menunjukkan tren yang lebih baik lantaran adanya penguatan politik pemerintahan dengan indikasi membaiknya hubungan eksekutif dan legislatif. "Kalau saya lebih optimis karena reshuffle yang belakangan ini menunjukkan politik terkonsolidasi dengan baik," kata Kusnanto Anggoro.

Pada tahun awalnya pemerintah memang sedang fokus untuk menata politik negara, tahun selanjutnya pada penguatan ekonomi dan sekarang pada politik hukum dan keamanan. Dia optimis jika pemerintah berhasil menyelesaikan regulasi terkait dengan politik hukum maka pemerintah menjadi lebih terkonsolidasi.

"Kalau ini bisa selesai dengan baik sampai pertengahan tahun nanti, saya rasa pemerintah akan semakin kuat," pungkas Kusnan. (dtc)

BACA JUGA: