JAKARTA - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menjadi aktor negara yang menempati posisi pertama dalam hal melakukan pelanggaran terhadap prinsip kebebasan berkeyakinan di Indonesia. Padahal seharusnya pemerintah memposisikan aparatnya, khusus Polri dan pemerintah lokal (dari provinsi hingga desa/kelurahan), sebagai garda terdepan dalam penegakan hukum, perlindungan seluruh warga, serta pembelaan dasar dan konstitusi negara.

Direktur Riset SETARA Institute Halili menyatakan hal tersebut merupakan hasil survei yang dilakukan selama 12 tahun terakhir bertajuk Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KKB) di berbagai wilayah di Indonesia. "Dari aktor negara, lembaga kepolisian menempati posisi pertama, yakni 480 tindakan," kata Halili kepada Gresnews.com, Selasa (12/11).

Ia menjelaskan SETARA Institute telah mengeluarkan 12 Laporan KKB sejak pertama kali disusun pada 2007. Latar latar belakangnya adalah menilik kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan yang belum mendapatkan jaminan utuh dari negara dan praktik intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan yang masih terus terjadi. Padahal, secara normatif, negara telah meneguhkan komitmennya melalui Pasal 28E Ayat 1 dan 2, dan Pasal 29 Ayat (2) UUD Negara RI 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik.

Ia menegaskan KKB secara substantif merupakan hak individu yang tidak bisa dikurangi dan tidak bisa ditunda pemenuhannya (non-derogable rights). Oleh karena itu, kebebasan beragama/berkeyakinan baik untuk individu maupun kelompok harus dijamin pemenuhannya oleh negara. Prinsip non-derogable rights menegaskan hak yang bersifat mutlak/absolut, oleh karena itu tak dapat ditangguhkan atau ditunda dalam situasi atau kondisi apa pun.

Menurut dia, negara hendaknya mengarusutamakan pemerintahan inklusif (inclusive governance), sebagai pelaksanaan sasanti negara Bhinneka Tunggal Ika. Kepala Negara mesti mengeluarkan payung hukum agar seluruh kementerian/lembaga negara dan pemerintahan daerah menginklusi, mengakomodasi serta melindungi hak dan kepentingan seluruh unsur pembentuk kebinekaan Indonesia (suku, agama, ras, dan golongan), baik dalam bentuk prinsip, sistem, mekanisme, prosedur, maupun penganggaran. (G-2)

 

BACA JUGA: