JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kecelakaan yang menimpa pesawat Hercules bernomor seri A-1334, di Wamena, Papua, kembali memunculkan pertanyaan terkait kehandalan alat utama sistem senjata (alutsista) milik TNI, khususnya TNI Angkatan Udara. Terlebih, pesawat berjuluk "Herky" itu merupakan barang lawas hasil hibah dari AU Australia yang sudah berdinas sejak tahun 1980-an.

Meski sudah direkondisi dan dilakukan perbaikan, terutama pada sistem navigasi, air frame dan mesin, tetap saja usia tua alutsista TNI menjadi persoalan. Apalagi, khusus pesawat Hercules, terhitung merupakan pesawat TNI yang paling sering terlibat kecelakaan. Sejak tahun 2000-an saja, ada 4 kali kecelakaan yang melibatkan pesawat jenis ini.

Dua yang paling fatal adalah peristiwa jatuhnya pesawat Hercules dengan nomor registrasi A-1325 pada 20 Mei 2009 lalu, di Magetan, Jawa Timur. Pada kasus ini, 98 penumpang pesawat meninggal dunia. Kemudian, pada 30 Juni 2015, pesawat Hercules, kembali jatuh di Jalan Jamin Ginting, Medan, Sumatera Utara, sesaat setelah lepas landas dari Lanud Soewondo Polonia Medan. Dalam kecelakaan ini, 141 orang tewas.

Panjangnya daftar kecelakaan pesawat milik TNI ini membuat banyak pihak mulai menyuarakan agar pemerintah segera menghentikan pola pembelian alutsista, khususnya pesawat bekas pakai negara lain, termasuk menerima hibah. Alasan mendasarnya adalah pesawat bekas pakai itu kinerjanya sudah tidak sempurna dan berisiko untuk dipergunakan dalam operasi militer.

Pengamat Politik-Militer Muradi menyatakan, walaupun pesawat-pesawat militer tersebut berstatus hibah, bukan berarti Indonesia tidak mengeluarkan uang untuk memiliki pesawat tersebut. Diperlukan uang yang tidak sedikit untuk mereparasi untuk membuat pesawat tersebut layak terbang.

Ditambah lagi pesawat-pesawat hibah biasanya memiliki suku cadang yang terbatas. Alhasil hampir seluruh pesawat hibah yang dimiliki TNI menggunakan suku cadang hasil "kanibalisasi" dari pesawat sejenis yang sudah afkir. "Memiliki pesawat hibah sama sekali tidak gratis itu sama saja kita membeli pesawat rekondisi," ujar Muradi, Senin, (19/12).

Lebih lanjut ia menjelaskan, usia sebuah pesawat tidak dapat dibohongi. Walaupun seluruh mesinnya sudah diganti, tetapi bagian-bagian lain yang cukup penting seperti struktur sayap dapat mempengaruhi kemampuan pesawat untuk terbang dan melawan cuaca buruk serta berbagai permasalahan lainnya.

Bahkan ia menyebut, menerima pesawat hibah sama saja dengan memindahkan permasalahan yang ada di negara asal ke Indonesia. "Hibah memang murah, tapi akan terus dihantui kecelakaan," tegasnya.

Ia juga menyebutkan, ada beberapa kondisi yang harus diperhatikan saat membeli pesawat baik hibah maupun baru. Pertama adalah maintenance alias perawatan, lalu service dan yang terakhir adalah ketersediaan suku cadang. Dari ketiga komponen tersebut, rata-rata pesawat hibah yang dimiliki negara ini tidak memenuhi kualifikasi tersebut. Ketidakmampuan maintenance karena minim biaya dan ketidakadaan suku cadang, karena pesawat hibah tersebut sudah tua menjadi masalah yang paling sering dijumpai.

Muradi juga mencontohkan, pada waktu Indonesia membeli pesawat hibah F-16 dari Amerika berjumlah 24 unit, biaya yang dikeluarkan sama dengan apabila membeli 6 sampai dengan 8 unit pesawat baru dengan teknologi yang lebih mutakhir dan tentunya terjamin kemampuan terbangnya.

"Ada maintenance, servis dan ketersedian sparepart. Sudah maintenance terbatas, sparepart sudah tidak tersedia dan melakukan kanibalisme atau membuat yang mirip dengan kualitas yang rendah, pemerintah Indonesia masih harus mengeluarkan biaya hampir US$500 juta untuk mengupgrade pesawat tersebut agar layak terbang," kata Muradi.

Kemudian, walau sudah di-upgrade, ternyata sistem radar ke-24 pesawat jet F-16 hibah tersebut, masih terbelakang dibandingkan dengan jet-jet tempur milik tetangga. Akibatnya, sebagai pesawat patroli wilayah NKRI, F-16 hibah juga tidak bisa dioptimalkan walau biaya terbangnya murah hanya US$3.000/jam.

Sisa pakai jam terbangnya hanya tinggal 1500 jam terbang, maka F-16 tersebut hanya bisa dijatah terbang 10jam/bulan agar bisa dipakai selama mungkin. Selain karena sudah tua, pesawat hibah yang terus dipakai secara rutin akan mengalami penurunan grade kemampuan, Amerika sendiri diketahui masih mempergunakan pesawat pembom tua semisal B-26 Invader.

Akan tetapi, kata Muradi, itu hanya dipergunakan saat-saat tertentu yakni sekitar 5 sampai dengan 6 kali setahun. "Bandingkan dengan Hercules yang tiba bulan Februari, tetapi sudah keliling Indonesia. Saya kaget pesawat itu bisa sampai Papua," pungkasnya.

Tragedi jatuhnya Pesawat Hercules C-130HS milik TNI Angkatan Udara (AU) dengan nomor registrasi A-1334 di Wamena, Papua, menyebabkan 13 orang meninggal dunia. Sejumlah 12 orang diantaranya adalah prajurit TNI dan seorang lainnya adalah petugas radar. Marsekal Muda TNI Hadiyan Sumintaatmadja memperkirakan kecelakaan ini diakibatkan oleh cuaca buruk.

TNI AU sendiri mengaku sudah mengirimkan tim investigasi guna menelusuri penyebab kecelakaan pesawat Hercules tersebut. Investigasi yang dilakukan menurutnya tidak akan berlangsung cepat dan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Pesawat Hercules C-130 tersebut jatuh dalam penerbangan dari Timika menuju Wamena dan ditemukan di Gunung Lisuwa, Distrik Minimo, Kabupaten Jayawijaya.

DORONG INVESTIGASI - Wakil Ketua Komisi I DPR TB Hasanudin menyatakan rasa bela sungkawa atas terjadinya kecelakaan tersebut. Ia menyatakan, DPR sudah meminta Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Agus Supriatna untuk segera mencari tahu penyebab jatuhnya pesawat tersebut.

Apabila penyebab pesawat tersebut sudah ditemukan, maka DPR akan segera memanggil TNI AU setelah reses untuk membahas hasil investigasi tersebut. Rencananya pemanggilan akan dilakukan setelah masa reses DPR berakhir.

Hasanudin mengatakan, penyebab kecelakaan pesawat biasanya disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya keadaan alutsista, human error, maupun penyebab lain yang tidak terduga. "Hasil investigasi itulah yang nantinya akan digunakan untuk mencegah terjadinya kejadian serupa," ujarnya, Senin (19/12).

Apabila nanti hasil dari investigasi tersebut dikarenakan pesawat TNI sudah tidak layak terbang, maka DPR akan meminta kepada TNI agar memberhentikan seluruh pesawat jenis tersebut yang saat ini ada. Hasanudin menyatakan, walaupun berstatus hibah, pesawat tersebut membutuhkan pengeluaran biaya yang tidak sedikit. "TNI AU seharusnya membeli pesawat baru," ujarnya.

Dia juga mengatakan, pada saat TNI AU memperoleh hibah pesawat F-16 sebanyak 24 unit, DPR sebetulnya lebih menginginkan agar TNI AU membeli pesawat baru F-16 sebanyak 6 unit. Tetapi, TNI AU lebih memilih untuk mendapat hibah pesawat F-16 sebanyak 24 unit. Padahal, DPR juga memperhatikan dampak yang mungkin timbul apabila pesawat TNI AU tersebut bermasalah nantinya.

Perihal anggaran, DPR menurut Hasanudin, menyetujui seluruh permintaan TNI selama permintaaan tersebut juga disetujui oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan. DPR, kata dia, tidak akan mengurangi satu rupiah pun anggaran pertahanan, termasuk anggaran pemeliharaan dan perawatan selama hal tersebut memenuhi prosedur yang ada sebab DPR sangat mengerti pentingnya alutsista khususnya pesawat tempur untuk negara Indonesia. "Kalau tank mogok bisa didorong, kalau pesawat mogok bisa diapain?" ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Dia menegaskan, DPR mendukung revitalisasi alutsista di institusi TNI. "Kami tentu sangat mendukung upaya untuk modernisasi dan revitalisasi Alutsista TNI. Karena kita adalah negara kepulauan yang terbesar, jangkauan juga luas dari Sabang sampai Merauke. Selain laut udara juga penting," kata Fadli di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (19/12).

Fadli mengatakan, perlu dilakukan evaluasi terhadap pengadaan Alutsista ke depannya. Hal itu untuk mencegah kembali terjadi jatuhnya pesawat Hercules di langit Indonesia.

"Kami sangat dukung modernisasi dan Alutsista ini sesegera mungkin. Yang terpenting tepat sesuai kebutuhan. Kami tentu sangat prihatin dan berduka cita atas musibah jatuhnya pesawat Hercules ini dan mudah-mudahan keluarga yang ditinggalkan bisa dikuatkan," ujar Fadli.

"Mungkin perlu dievaluasi. Kita mungkin kekurangan juga transportasi seperti Hercules. Tapi dicek kelayakannya. Kita kan belum tahu juga hasil investigasinya," sambungnya.

Lanjut Fadli, pengadaan Alutsista seharusnya bisa dilakukan dengan membeli barang baru. "Ini juga di masa yang akan datang perlu dipertimbangkan. Kan pesawat itu sudah berumur meski ada modernisasi, pergantian sparepart sana-sini, tetap pesawat-pesawat tua. Jadi sebaiknya kita jangan beli barang bekas lah. Saya kira kita bisa rencanakan dengan anggaran yang ada untuk membeli Alutsista yang terbaik," ujar Fadli.

HIBAH 9 UNIT - Sementara itu, KSAU Marsekal TNI Agus Supriatna menyatakan, rencananya pesawat Hercules C-130 HS yang didatangkan dari Australia sebanyak sembilan unit. Namun TNI baru menerima enam unit.

"Ini adalah pesawat kelima yang diterima dari Australia," kata Agus saat memberikan keterangan kepada wartawan di Skadron Udara 32 Lanud Abdulrachman Saleh, Kabupaten Malang, Senin (19/12).

Enam pesawat termasuk pesawat Hercules bernomor registrasi A-1334 yang nahas itu merupakan pesawat pengiriman kelima. Hercules A-1334 menambah kekuatan Skadron 32 sejak didatangkan dari Royal Australian Air Force (RAAF) Febuari 2016 lalu.

Kedatangan pesawat Hercules dari Australia memang dilakukan secara bertahap, terakhir Skadron Udara 32 menerima kembali Hercules A-130, pada Nopember 2016 lalu. Yakni Hercules bernomor registrasi A-1335.

"Untuk pesawat yang jatuh di Wamena ini, merupakan pesawat yang lebih muda usianya dari Hercules tipe B yang pernah dimiliki TNI AU," terang dia.

Meskipun dibuat sekitar tahun 1980, pesawat Hercules A-1334, masih dalam kondisi laik terbang. Dan kini masih menyisakan 64 jam, sebelum kembali dilakukan perawatan rutin

"Pesawat masih laik terbang, buatan sekitar tahun 80-an, ini lebih muda usianya dibandingkan tipe B. Kita memang sudah berupaya keras untuk mencegah terjadinya kesalahan maupun permasalahan," jelasnya. (dtc)

BACA JUGA: