JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mendatangi Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (24/8) pagi untuk melihat fisik helikopter Agusta Westland 101 (AW-101). "Kasus heli AW, besok direncanakan pemeriksaan cek fisik. Rencana besok akan kita lakukan cek fisik," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta, Rabu (23/8).

Dalam cek fisik tersebut, Febri menyatakan telah berkoordinasi dengan Polisi Militer (POM) TNI, termasuk pemeriksaan sejumlah saksi. Apalagi saat ini penyidik juga sedang mendalami pengadaan aliran dana proyek helikopter AW tersebut. "Kita koordinasi dengan POM TNI. Jadi, selain koordinasi pemeriksaan terhadap sejumlah pihak yang menjadi kewenangan POM TNI, kita melakukan koordinasi cek fisik heli tersebut di Halim," kata Febri.

Dalam kasus helikopter AW-101, penyidik POM TNI telah menetapkan lima tersangka. Tiga diantaranya terlebih dulu ditetapkan, yakni Marsma TNI FA, yang bertugas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pengadaan barang dan jasa; Letkol WW, sebagai pejabat pemegang kas; dan Pelda S, yang diduga menyalurkan dana-dana terkait dengan pengadaan kepada pihak-pihak tertentu.

Menyusul kemudian Kolonel Kal FTS, berperan sebagai WLP; dan Marsda SB, sebagai asisten perencana Kepala Staf Angkatan Udara. Sementara itu, KPK menetapkan Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM) Irfan Kurnia Saleh sebagai tersangka pertama dari swasta. Irfan diduga meneken kontrak dengan AW (Augusta Westland), perusahaan joint venture Westland Helicopters di Inggris dengan Agusta di Italia, senilai Rp514 miliar. Namun dalam kontrak pengadaan helikopter dengan TNI AU, nilai kontraknya Rp 738 miliar, sehingga terdapat potensi kerugian keuangan negara sekitar Rp224 miliar.

Terkait kasus ini, anggota Komisi I DPR RI Supiadin Aries Saputra mengatakan, dalam kasus kasus dugaan korupsi Helikopter AW 101 dengan nilai proyek pengadaan senilai Rp738 miliar, yang menjadi masalah utama adalah adanya soal selisih harga. Akibatnya terdapat potensi kerugian keuangan negara sekitar Rp224 miliar. Supiadin menilai, dari sisi prosedur, pengadaan helikopter itu sudah benar.

"Kalau prosedurnya tidak benar tidak akan mungkin ada disini pesawat itu. Kalau saya baca keterangan dari Danpuspom dan Panglima TNI, disitu terjadi selisih harga. Hal itulah yang menjadi masalah," ucap Supiadin, seperti dikutip dpr.go.id.

Ia menegaskan bahwa kasus korupsi yang terjadi tersebut diluar sepengetahuan Komisi I DPR. Menurutnya, bila terjadi pelanggaran seperti itu, maka permasalahan tersebut seharusnya dikembalikan kepada Menhan sebagai pihak yang memberikan persetujuan.

"Pengadaan alutsista itu tidak sesederhana seperti yang kita bayangkan. Pengadaan alutsista melalui sebuah sistem, usulannya selalu dari tingkat bawah berdasarkan usulan user. Dalam proses itu Komisi I DPR tidak pernah ikut campur," tegasnya.

Komisi I DPR RI hanya tahu usulan anggaran dari TNI ataupun Departemen Pertahanan tentang kebutuhan sejumlah alutsista, lanjutnya. Pihak Dephan dan Kepala Staf Angkatan terkait yang melakukan kontrak kerja dengan para kontraktor.

"Untuk mengetahuinya, Komisi I DPR membentuk Panja Alutsista, yang tugasnya antara lain untuk melakukan pengecekan dilapangan alutsista yang sudah dibeli. Dari situlah kita akan menemukan temuan-temuan, yang kemudian dikembalikan lagi kepada pemerintah melalui rapat kerja dengan Menhan, panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan," jelas Supiadin.

"Kita tidak tahu harganya berapa, akan dibeli dinegara mana, dan segala macamnya. TNI dan Dephan yang mengatur itu. Dephan merupakan penentu kebijakan dibidang pertahanan, namun usulan-usulan tetap datangnya dari bawah. Ada yang pembeliannya melalui kredit ekspor atau langsung dari APBN, tergantung berapa besarnya harga," tambahnya.

Supiadin menyampaikan, Panja Alutsista Komisi I DPR biasanya akan meninjau ke pabriknya. Panja juga ingin mengetahui apakah pembelian dengan dana yang ada itu mampu membeli sebuah senjata dengan sistem yang lengkap.

"Menyangkut kasus-kasus dilapangan, hal itu diluar sepengetahuan dari Komisi I DPR. Seperti pada kasus helikopter AW, setelah terjadi barulah kita telusuri, dimana letak kesalahannya hingga sampai terjadi kasus seperti ini. Saya berharap persoalan ini tidak membawa efek kepada disintegrasi TNI," pungkasnya. (dtc/mag)

BACA JUGA: